Déjà vu

877 35 3
                                    

Aku Kinan. Yang ku tahu, setiap orang memiliki tujuh kembaran di dunia. Yang tidak ku tahu adalah, kembar dalam hal fisik ataukah kepribadiannya?

Izinkan aku menceritakan kisahku. Agar kau paham, akan kutarik mundur sang waktu pada lima tahun silam.

**Flashback, lima tahun yang lalu**

Aku sedang menunggu angkutan umum di halte sepulang kuliah. Suasana yang saat itu sedang mendung dan hujan, semakin terkesan menyeramkan karena sang surya bersiap kembali ke peraduannya di Barat sana. Tidak banyak orang yang menunggu angkutan umum sepetang ini. Hanya tersisa aku dan seorang laki-laki berjaket hoodie abu-abu yang berjarak dua meter duduknya dariku.

Aku sempat berpikir negatif tentangnya. Tapi setelah menunggu kurang lebih lima belas menit di halte ini, dia tidak bermacam-macam padaku. Lagipula, dari wajahnya, kurasa ia orang baik-baik. Aku tau, tidak seharusnya aku menilai seseorang dari fisiknya. Tapi saat ini, di petang yang mencekam ini, kurasa sugesti positif sangat menguntungkan.

Kulirik jam tanganku. Angkutan umum yang biasa kutumpangi baru datang kira-kira dua puluh menit lagi. Hujan semakin deras. Tapi aku suka. Suara air yang jatuh membentur aspal juga atap halte terdengar berirama. Juga bau petrichor yang semakin pekat. Ditambah angin semilir yang memeluk tubuhku. Aku memejamkan mata dan tersenyum kecil, merasakan angin dingin itu membelai wajahku.

"Kamu kenapa?"

Aku berjengit kaget. Astaga! Ternyata lelaki berjaket hoodie abu-abu tadi sudah duduk tepat di sampingku sembari menatapku aneh.

"Kamu waras, kan?" tanyanya lagi.

Aku melotot padanya. Aku sudah bersiap untuk menceramahinya tentang adab berbicara kepada orang asing, sekaligus menyemburkan amarahku karena ia membuatku kaget, sampai-

"Hei.. tenang. Haha.. maafkan saya. Tidak perlu melotot seperti itu. Saya hanya ingin memastikan, jangan sampai kamu adalah salah satu pasien rumah sakit jiwa yang kabur ke sini."

Aku melotot lagi mendengar ucapannya.

Lelaki itu nyengir. "Hehe.. bercanda. Makanya, kalo di tempat umum itu jangan senyum-senyum sendiri."

"Ya lagian, emang kenapa? Bibir ya bibir saya, kok. Terserah saya dong, mau senyum kek, cemberut kek, manyun kek. Emang apa urusannya sama kamu?" aku berkata ketus.

"Ada kok urusannya sama saya." Ia tersenyum jenaka.

Aku diam. Tak merespon. Dan tak peduli.

"Kalo kamu senyum, jadi kelihatan lebih manis di mata saya," ucap lelaki itu.

Ck, gombal! Sayangnya aku bukan tipe wanita yang gampang baper.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya.

"Pulang," jawabku singkat.

"Pulang ke mana?" tanyanya, lagi.

"Rumah."

Ia terkekeh. Apanya yang lucu? Aku benar kan?

"Maksud saya, kamu mau ke daerah mana?" jelasnya.

Oh.. seharusnya dari tadi ia bilang dengan jelas. Aku segera memberitahukan tujuanku. Dan, surprise! Ternyata kami sejurusan.

"Oh ya, nama kamu siapa?" tanyanya.

Kurasa lelaki ini diciptakan Tuhan dengan tingkat kepo yang tinggi. Sedari tadi bertanya terus. Atau aku yang terlalu pasif?

"Kinan," jawabku.

Ia bergumam pelan menyebut namaku, kemudian mengangguk-angguk.

"Saya Satrya. Satrya Aan Hanif. Terserah kamu mau manggil saya Satrya, Aan, atau Hanif," Ia tersenyum lebar. "tapi kebanyakan orang-orang manggil saya Satrya."

PelarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang