Perdebatan

20 1 0
                                    

Hati: Besok ia pergi.

Logika: Siapa? Oh! Aku tau. Si Lelaki Berpunggung Tegap?

Hati: Hm..

Logika: Lalu, memangnya kenapa?

Hati: Aku.. merasa... entahlah. Ini terasa tak benar.

Logika: Kau tau bahwa kau tak berhak, kan?

Hati: Ya, aku tau. Bahkan merasa sedih saja aku tak berhak, apalagi merasa kehilangan. Tapi sesak yang kurasakan ini sungguh nyata.

Logika: Kau terlalu naif, Hati. Rela menyakiti dirimu sendiri untuk orang yang bahkan mungkin tidak memikirkanmu.

Hati: Aku harus bagaimana? Itu di luar kendaliku.

Logika: Jika aku jadi kau. Maka aku akan melepas kepergian lelaki itu dengan senyum dan doa kesuksesan untuknya.

Hati: Tak bisa. Yang kulakukan nanti kurasa hanya merasakan diriku teriris seiring kakinya melangkah pergi.

Logika: Kau tau, wahai Hati? Kau bercerita pada orang yang salah. Aku logika. Dimana semua hal terlihat sangat realistis dan tidak rumit bagiku. Yang penting aku senang dan tidak tersakiti.

Hati: Yeah.. kau benar. Dan aku adalah Hati. Dimana hal paling realistis sekalipun bisa dipatahkan oleh argumenku. Lebih mementingkan kebahagiaan orang lain daripada diriku sendiri. Akibatnya aku sering terluka.

Logika: Kita tidak akan pernah bisa selaras.

Hati: Bagaimana dengan Lelaki Berpunggung Tegap itu?

Logika: Kenapa aku harus repot-repot memikirkannya?

Hati: Ck! Yeah. Kau Logika dan aku Hati. Aku bersikap seolah-olah kita adalah sepasang sahabat yang sering minum kopi  bersama. Lupa kenyataan bahwa kita tidak bisa sepemikiran.

Logika: Ralat, Hati. Kita tentu tidak akan bisa sepemikiran. Karena aku menggunakan pikiran, sementara kau menggunakan perasaan. Kita tidak akan pernah bisa bersatu.

________________________________________________________________________________

Setelah sekian lama, hujan kembali jadi perantara.

-ArFa

PelarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang