Awalnya Peka

81 6 3
                                    

Bukannya kepedean. Tapi aku mengakui kalau aku adalah pribadi yang peka. Dalam hal apapun itu, termasuk perasaan.

Aku tau ada seorang cowok yang lagi suka padaku. Sekali lagi aku tegaskan, aku ini peka--bukannya kepedean.

Aku tau ia selalu curi-curi pandang padaku. Setiap aku menangkap basah ia sedang mengamatiku, ia lalu mengalihkan pandangan dengan spontan. Teman-temanku juga sering melapor, kalau dia suka nanya-nanya tentang aku.

Cinta datang karena terbiasa. Kukira itu penyebabnya. Dulu saat awal-awal SMA, kami sering berada dalam kegiatan-kegiatan sekolah bersama.

Seperti kegiatan amal untuk korban bencana waktu itu. Aku dan dia dipilih menjadi perwakilan dari sekolah, hanya berdua. Atau seminar yang membahas tentang kenakalan remaja dua tahun lalu. Aku dan dia kembali terpilih untuk menduduki kursi seminar tersebut. Dan masih banyak kegiatan-kegiatan lain yang sepertinya sudah kulupa--sangking banyaknya.

Kami sebenarnya selalu beda kelas dari kelas sepuluh. Tapi intensitas pertemuan kami cukup sering. Beruntung aku tidak terdaftar dalam anggota OSIS. Bisa-bisa aku ketemu dia tiap hari.

Sudah kubilang kan, kalau aku peka? Jadi, saat aku tau ia punya perasaan padaku, aku sengaja tidak mengambil tindakan. Aku tidak mau memberinya harapan.

Bukannya aku tidak suka dia. Hanya saja kurasa waktunya belum pas. Aku sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan lelaki manapun saat ini.

Karena.. aku ingin satu untuk selamanya. Bukan satu untuk sementara.

Fyi, aku tidak pernah melakukan interaksi sosial apapun dengannya. Jika kontak dan komunikasi merupakan prasyarat terjadinya suatu interaksi sosial. Maka jawabannya, NO. Bahkan aku tersenyum padanya pun tak pernah.

Tapi, anehnya aku selalu ingat apapun tentang dirinya. Tanggal lahirnya, nama ibunya, cara berjalannya, dll.

Oh iya.. hari ini, hari wisudaku. Dan dia tidak ikut wisuda. Karena ia sudah terbang menuju benua Eropa dua hari yang lalu. Aku juga tak yakin mengapa aku bisa tau hal ini.

Ngomong-ngomong Eropa.. ia memang jenius-kelewat jenius malah. Aku jadi bingung mengapa ia tertarik denganku yang otaknya pas-pasan ini.

Ini dia.. waktunya aku maju ke panggung untuk menerima penghargaan siswa yang berprestasi. Well.. namaku dan dia yang tersebut. Karena dia tidak bisa hadir, diwakili oleh ibunya.

Sesudah aku dan Tante Esta menerima penghargaan, kami turun dari panggung --sebelumnya aku sudah bilang kan kalau aku tau nama ibunya?-- disaat yang sama, Tante Esta mencegat langkahku. Jelas ini membuatku bingung.

"Kamu yang namanya Ayla?"

Aku terdiam sedikit lama, masih bingung apa yang terjadi. "I.. iya Tan. Ada apa, ya?"

"Bisa kita bicara sebentar?"

Aku mengangguk setengah sadar. Jadilah saat ini aku dan Tante Esta duduk berdua di teras belakang gedung wisuda. Kurasa Tante Esta sengaja mencari tempat sepi.

"Selamat, ya. Kamu dapet penghargaan sebagai siswa berprestasi." Tante Esta membuka pembicaraan.

"Loh.. harusnya saya yang bilang selamat untuk anak Tante. Kalau dia mah emang pinternya kelewatan. Saya ga heran kalau dia yang terpilih. Nah.. saya sendiri malah heran kenapa saya juga terpilih. Perasaan otak saya biasa aja, deh." Serius. Aku tadi bingung saat aku diminta naik ke panggung.

Tante Esta hanya tersenyum.

"Maaf kalau sebelumnya bikin kamu kaget. Tapi Tante mau nyampein sesuatu."

Aku terdiam, bersiap mendengarkan.

"Anak Tante suka sama kamu."

Aku mematung.

Yeah.. meskipun aku sudah tau. Tapi jika seseorang menyebutkannya dengan gamblang terasa aneh.

"Attar sering cerita tentang kamu ke Tante. Dia bilang.. kamu itu cantik. Tapi kamu sendiri gak ngerasa kalo kamu itu cantik. Dan hal itu menambah nilai cantiknya kamu di mata dia. Kamu itu pinter, tapi lebih sering ga ngerasa pinter dan tetep mau berbagi ilmu sama yang lain. Kata dia kamu shalihah, tanpa perlu menunjukkan pada orang banyak kalau kamu itu shalihah. Tapi sikap dan perilaku kamu yang mencerminkan hal itu."

How sweet he is..

"Dan ternyata Attar bener. Tante kira itu cuma kata tanpa makna doang gara-gara lagi mabuk cinta. Ternyata.. kenyataan," ucap Tante Esta sambil tersenyum.

Aku membalas senyumnya dengan canggung.

"Sebenernya Attar mau nyampein sendiri tentang hal ini ke kamu. Tapi dia udah keburu pindah benua." Tante Esta terkekeh.

"Dia bilang, bukannya mau menyatakan perasaannya untuk kejelasan status. Tapi cuma sekedar supaya perasaannya lega. Karena sudah menyampaikan apa yang ia pendam selama ini."

Selama apa?

Setelah cukup lama terdiam, aku memutuskan untuk bersuara. "Aku cuma mau nyampein dua hal, Tante."

Tante Esta terlihat menyimak.

"Yang pertama, makasih. Dan kedua, permintaan maaf. Bilang makasih ke Attar karena pernah mau sama saya yang bukan siapa-siapa ini. Bilang makasih, karena diantara ratusan murid di sekolah, dia malah milih saya. Bilangin makasih ya, Tan."

Tante Esta mengangguk sembari tersenyum. Jika sedang seperti ini.. ia mirip sekali dengan Attar.

"Terus, saya juga mau minta maaf. Karena ga bisa ngebales perasaan dia. Bohong kalo misalnya saya bilang.. saya gak tertarik atau kagum sama dia, Tan. Tapi untuk jatuh cinta sama Attar itu di luar kemampuan saya."

"Iya. Tidak perlu minta maaf. Lagipula, Attar tidak menuntut balasan. Tante inget pernah bilang sama dia, kalau kamu sayang sama Ayla, jadilah temannya. Jagain kamu dan lindungi kamu sebagai teman."

Aku tersenyum hangat pada Tante Esta dan spontan memeluknya.

"Kamu harus sukses ya, Ayla. Semoga tetep pinter, tetep shalihah, dan tetep cantiiik." Tante Ayla mengusap kepalaku.

Kami beranjak berdiri dan berjalan pelan memasuki gedung dengan tangan bertautan.

"Aamiin. Oh iya, saya juga mau bilang makasih sama Tante. Makasih udah ngelahirin sosok lelaki kayak Attar."

Tante Esta tersenyum sampai matanya menyipit membentuk garis, kubalas senyumnya tak kalah hangat.

Kami berjalan berlawanan arah sampai tautan tangan kami terlepas. Aku kembali menuju kursi wisudawan-wisudawati berada dan kurasa Tante Esta kembali ke kursi tamu.

Sesampainya di kursi tempatku duduk. Teman-temanku langsung memberondongiku berbagai pertanyaan karena menghilang begitu saja seusai turun dari panggung.

Setelah kupikir-pikir, aku memilih menyimpan kejadian itu rapat-rapat. Biarkan hanya aku, Tante Esta, dan Allah yang tau.

By the way.. saat ibu dari cowok yang suka diriku mengajakku berbicara dan membahas hal seperti itu.. itu adalah pengalaman yang tak terlupakan.

Jika peristiwa itu terjadi pada dirimu, apa reaksimu?

______________The End_____________

Vote if you like this!

30/03-17

PelarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang