Dikabulkan

496 45 5
                                    

Jam 11.30.

Ellen meregangkan ototnya. Dia memang selalu bekerja terlalu cepat hingga lebih banyak waktu harus ia habiskan tanpa melakukan apa apa. Ellen tidak bisa mengerem kecepatannya sendiri hingga harus bersabar dengan waktu. Dia jadi sering menumpukan kepalanya di atas lengan, tiduran sedikit, seperti sekarang.

"Aku duduk sini, ya."

Bruk! Seseorang menjatuhkan tas di atas meja. Tas warna khaki dengan lis merah menyala di tepi kanan menyenggol lengan Ellen.

Ellen mendongak dan melirik sedikit padanya. Dia cowok yang lumayan. Maksudnya walau pakaian yang dia kenakan khas anak SMK lagi PKL banget, tapi tatanan rambutnya nggak membosankan seperti Hamdan yang selalu klimis.

"Namaku Hiro. Hiro hiro kayak bahasa inggris gitu. Tulisannya sih hero ya, tapi kan kayak supermarket jadi lebih kece dipanggil hiro aja. Ehehehee... Gak gak becanda. Nama gue heru. Wakakakakkak... Masak heru ya, kayak nama om om. Yaudah nama gue heri. Hikikikik. Nurut lo lebih pantes mana tuh yang jadi nama gue?"

Ellen dan mata biru cowok itu saling melirik. Ellen melongo.

"Eh, enggak lucu, ya?" cowok itu meringis pada Ellen.

Seketika dengan wajah datar Ellen berdiri dan meninggalkannya.

"Eh, loh, kok gitu. Oi oi! Nama gue Satya, oi, ga usah nanya bu Siska, Oi!" cowok itu terus melambai lambai pada Ellen.

"Bu Siska... " Ellen berkata lirih.

"Eh, Len. Udah ketemu Satya? Itu rekan baru buat kamu biar kamu nggak banyak melamun aja. Tapi jangan ganjen sama dia. Dia brondong eikeh," Bu Siska langsung ngomong panjang lebar sambil mengelus-elus kain di badan manekin. Warnanya hampir mirip dengan motif cat kuku bu Siska.

"Oh, iya, Bu."

Ellen langsung mundur. Dilihatnya jam di atas kepala bu Siska. Jam 12 kurang 5 menit. Mungkin Ellen bisa diam di situ sebentar untuk kemudian kabur ke warung bakmi di sebelah.

***

Ellen mendengus. Rekan kerja? Mengerjakan sendiri saja Ellen merasa pekerjaannya kurang banyak. Apalagi butik Bu Siska tidak cukup ramai, bahkan saat mendekati lebaran. Di saat semua butik dan penjahit pinggir jalan sampai menolak pesanan, pegawai L'Amora Boutique tidak perlu sampai lembur. Bu Siska cukup pandai memanaj waktu hingga stok koleksi lebarannya tidak perlu kejar tayang. Lalu, bila ada rekan kerja, itu artinya Ellen harus berbagi dengannya. Bagaimana kalau Ellen semakin bosan? Bukankah tidak ada sinyal di kantornya?

"Eh, suka teh panas juga!"

Satya, cowok bermata biru tadi tiba tiba sudah duduk di samping Ellen. Ellen mendelik. Buru buru dia bergeser.

"Aku nggak najis kali, Mbak," Satya merengek.

"Eh, enggak maaf."

Ellen lanjut nyeruput tehnya. Suasana jadi canggung.

Ellen tidak biasa memulai pembicaraan. Dia tidak biasa melepas kata kata apapun dari bibirnya sebelum dipikirkan matang matang. Dia tahu, barangkali kehadiran Satya adalah akibat dari doanya tadi. Doa yang kelepasan.

"Mbak vudah loma keja di wutik?" pertanyaan Satya membuyarkan lamunan Ellen.

Cowok itu dengan santainya ngomong sambil mengunyah bakmi yang belum sepenuhnya masuk mulut. Bibirnya penuh minyak.

Ellen mengangguk. Tamie capcaynya sudah lembek. Ellen kehilangan selera makan.

"Werapa taon.. Sruuuppp..."

Satya adalah cowok yang tampan. Kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung. Rambutnya yang diwarnai agak pirang cukup membuatnya tampak seperti lelaki yang elegan. Tetapi makan sambil berbicara membuatnya tampak tidak seimbang dengan apa yang ditampilkan, termasuk minyak yang belepotan di pipinya sekarang. Membuatnya tidak ada bedanya dengan Hamdan.
Eh, ada apa dengan Hamdan?  Kenapa dia sering disebut sebut di sini? Memangnya satpam itu stereotip yang buruk ya? Uh, maap.

Ellen menghela napas.

"Aku balik ke butik dulu, ya. Maaf."

Buru buru Ellen pergi setelah membayar di kasir.
Satya menatapnya dari jauh, sambil melongo. Baru pertama kali inilah dia diabaikan. Tapi tak lama kemudian Satya tersenyum nakal.

Bersambung

There's Something Wrong in the OfficeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang