Melewati Batas

284 23 4
                                    

"Mbak... Plisss... "

Satya masih berusaha. Dia tidak peduli dengan teriakan bu Siska dari bawah tangga. Setidaknya dia berusaha keras agar tidak dianggap pengkhianat oleh Ellen, walau pada kenyataannya dia memang bisa dibilang mengkhianati teman barunya itu.

Dan entahlah. Entah apakah Satya memang pantas disebut sebagai teman. Dia sendiri tidak tahu siapa dirinya sebenarnya hari itu. Penyesalan selalu datang tepat di akhir, tidak pernah kepagian.

Awalnya Satya melamar bekerja di butik itu memang karena ingin menghasilkan uang yang banyak. Lowongan pekerjaan yang ia baca di koran menawarkan nominal yang cukup jauh di atas UMK. Ya. Siapa yang tidak tertarik dengan tawaran sebesar itu di tengah sulitnya mencari pekerjaan di kota besar? Satya merasa pantas mendapatkannya. Dan dia benar-benar berusaha memantaskan diri: mengecat rambut, memakai lensa kontak biru kehijauan, dan berdandan a la boyband. Bukankah perempuan paruh baya menyukai segala sesuatu yang mirip artis Korea? Dengan dandanannya yang seperti itu, ditambah keluwesannya berbicara, tentu Satya menang telak dari pelamar lainnya yang hanya mengandalkan ijazah.

Saat itu sebenarnya pikiran Satya sangat sederhana. Tepatnya saat diperkenalkan dengan rekan kerjanya. Baginya Ellen hanyalah seorang perempuan, dan Satya seorang laki-laki. Sudah kodrat setiap lelaki untuk menghidupi. Dan perempuan? Tidak ada kewajiban mencari nafkah dalam klausul hidup mereka. Perempuan cukup bekerja dengan gaji seadanya, karena mereka hanya bekerja untuk urusan aktualisasi diri. Lagipula sekarang Satya sudah berusia duapuluh lima, mau sampai kapan dia akan memikirkan dirinya sendiri? Satya harus memikirkan banyak hal, mempersiapkan banyak hal, mempertanggung jawabkan banyak hal. Jadi sikapnya sesungguhnya tidak seratus persen salah.

Satya terus mencoba memanipulasi dirinya sendiri, berusaha membenarkan semua sikapnya.

Ya. Sayangnya Ellen ternyata memiliki keterikatan dengannya di masa lalu. Entah mengapa saat tahu bahwa Ellen adalah gadis yang dulu sering mengisi ruang kosong dalam pikirannya, Satya jadi terbuai untuk menceritakan segala kenangan manisnya di masa kecil. Kelemahan terbesar Satya adalah gampang keceplosan. Itulah yang akhirnya membuat ia merasa salah langkah. Semua langkahnya salah.

Seandainya dia tidak mendengar obrolan Bu Siska dengan Pak Ravi saat itu. Seandainya dia tidak mendengar nominal yang fantastis yang akan diberikan pada siapapun yang berada pada posisi tenaga administrasi di butik Pak Ravi. Ah... Seandainya Satya tidak mata duitan. Satya mengutuk dirinya sendiri.

Ini semua memang salah Satya. Seandainya dia mengerjakan semua tugasnya dengan baik, tentu dia tidak perlu membiarkan Ellen mengerjakan tugasnya. Tentu bila begitu Pak Ravi akan memilih dirinya, sehingga tidak akan ada salah paham seperti ini.

Duh.

Dan ya. Seandainya dia sudah membuat rute jauh-jauh hari, tentu dia tidak akan mengenal Ellen lebih jauh. Dan dia tidak akan bicara macam-macam.

Pluk.

Satya menepuk bibirnya pelan. Karena kalau terlalu keras juga sakit.

"Ini bibir memang payah, nggak bisa direm!"

Mata Satya agak berkaca-kaca. Entah karena menyesal. Atau karena lelah membujuk Ellen keluar dari kamar mandi.

Brak!

Tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka. Ellen keluar dari sana dengan wajah basah. Mungkin karena habis wudhu. Satya berharap begitu. Setidaknya agar setan di kepalanya hilang.

Tetapi sepertinya tidak. Ellen buru-buru turun dari tangga, meninggalkan Satya yang melongo.

***

There's Something Wrong in the OfficeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang