Kembali Seperti Semula

219 23 5
                                    

Ellen tidak bisa melupakan hari itu di hari-hari selanjutnya. Tugasnya di kantor mulai normal. Tidak banyak lagi yang perlu dia kerjakan. Bahkan pekerjaan memang berkurang jauh lebih banyak. Konsentrasi lebih difokuskan pada pembukaan kantor cabang. Sementara pesanan gaun sedikit menurun, barangkali karena kebanyakan customer menahan diri. Mungkin mereka memilih menanti peluncuran koleksi terbaru di runway saat pembukaan besok. Benar saja, sekardus undangan itu kebanyakan memang ditujukan untuk nyonya sosialita yang jadi pelanggan setia L'Amora Boutique.

Namun begitu, Ellen tidak terlalu bernafsu untuk online, atau numpang online di kantor Hamdan, atau sekadar merebahkan diri di atas meja, seperti biasanya. Ellen justru sibuk memikirkan apa yang akan dia lakukan nanti bila bertemu Satya. Ellen masih tetap pada pendiriannya: tidak ingin menjadi seseorang yang istimewa bagi siapapun, termasuk Satya. Dan kalimat kalimat yang diucapkan Satya kemarin masih saja mengganggu pikirannya.

Burung-burung terbang merendah dan hinggap di sepanjang kabel yang melintang di depan jendela. Ellen memegang secangkir kopi susu hangat. Dia bisa melihat burung burung itu saling berbincang. Mungkin tentang aroma langit yang semakin apek, atau tentang ranting kering yang bau cat kimia. Tidak ada rumah yang sehat untuk saat ini, bahkan untuk sekawanan burung. Ellen menyisip minumannya sedikit, sambil menyandarkan punggungnya di pojok balkon. Hanya ada serumpun bunga gelombang cinta di sampingnya. Juga pagar teralis berukir bunga. Selain itu hanyalah kesepian yang setia membersamainya.

Kabarnya Mila dan Rosi sedang diperbantukan di kantor cabang Galunggung. Mereka bisa menambah kemeriahan di sana. Sementara Ellen, entah kenapa dia tidak diminta datang ke sana. Barangkali di sana juga tidak sedang butuh bantuan seorang admin. Tetapi Ellen bisa melihat sesuatu dari tempatnya berdiri saat itu. Satya keluar dari kantor dengan wajah serius. Dia mengenakan helmnya dan segera pergi dengan motor matic model retro warna merah hitam kesayangannya. Semua orang pergi. Itu lebih baik. Setidaknya Ellen tidak perlu menghindari siapapun.

Sementara sebelum itu...

"Sat, kamu tuh kenapa sih? Sumpek tau!"

Bu Siska mendorong dorong punggung Satya. Wajahnya kegerahan.

"Buk, plis... "

Satya berjongkok di hadapan Bu Siska.

"Nggak!"

"Plissssss"

Wajah Satya tampak sangat-sangat-sangat memelas. Sementara Bu Siska, seperti biasa, bila sudah memutuskan sesuatu maka tidak akan bisa diubah lagi.

"Hiks... Plis bu Siska... Saya salah... "

"Nggak! Udah deh. Kamu itu benar! Dan stop bertingkah kayak gini!"

"Bu Siska..."

Wajah Satya sangat buruk saat itu: mewek dan tangannya bertangkupan, seperti belalang sembah.

"Sudah sana kamu tata mejamu di sana. Aku nggak mau tahu apa apa, aku lagi stres tahu nggak!" Bu Siska mencak mencak.

"Kalau sampai ada satu kerutan muncul di sudut mataku, kamu yang tanggung jawab!" Bu Siska mengancam.

Satya jadi takut. Dia nggak sanggup beli krim wajah berharga jutaan. Lagipula sayang juga duitnya cuma buat menahan titah alam yang ga akan mungkin bisa dicegah.

Dengan bersungut sungut Satya naik ke atas untuk mengambil tasnya. Di sana dia bisa melihat punggung Ellen dari balik jendela. Jantungnya berdebaran tak tentu sekarang tiap kali bertemu gadis itu. Satya ingin sekali bicara padanya, namun tidak sanggup. Ellen tampak sedang asyik menikmati secangkir kopi dan cericit burung yang bertengger di hadapannya.

"Maafkan aku, mbak." bisik Satya, lirih. Tidak pernah sebelumnya Satya tampak sesedih itu di kantor. Seolah dia sedang menanggung dosa ribuan umat.

***

Pembukaan kantor cabang tinggal dua hari lagi. Aneh rasanya bagi Ellen. Mengapa tidak ada perubahan yang berarti untuknya? Apakah dia baru akan pindah ke sana tepat setelah pembukaan? Atau beberapa hari kemudian? Duh. Nggak enak rasanya harus bertanya tanya dalam penantian yang nggak jelas. Ellen ingin sekali bertanya pada Bu Siska, namun dia tidak berani. Jadi dia memilih sabar dan menunggu, walau tak tahan.

Sementara Satya mulai jarang muncul. Dia hanya sesekali datang ke kantor. Seperti orang sibuk saja. Bahkan Ellen tidak sesibuk itu. Bu Siska juga tampak lebih sibuk. Dia lebih sering di jalan galunggung dari pada di jalan soekarno-hatta, alamat butiknya sendiri. Rosi dan Mila apalagi. Mereka sudah nggak pernah muncul sejak empat hari yang lalu. Konon mereka bahkan kena lembur.

Otomatis Ellen sendirian saja di kantor itu. Sendiri. Tanpa sinyal. Ellen kembali merasa hampa. Sepi. Mau mengajukan cuti tentu tidak mungkin, lagipula untuk apa? Tidur tiduran saja di rumah sambil online? Duh. Sayang banget. Biasanya Ellen mengambil cuti di akhir tahun untuk berkunjung ke rumah ayahnya di Jakarta. Walau di sana dia juga menghabiskan waktu dengan online, setidaknya dia bisa menikmati suasana yang berbeda: rumah ayah yang artistik.
"Kenapa butik nggak tutup aja?" tanya Hamdan saat makan siang bareng. Elen mengangkat bahu.

"Hus. Pamali!" jawab Tiwi, pelayan warung bakmi langganan Ellen.

Ellen meringis. Tiwi juga. Hamdan nggak peduli. Hamdan sebisa mungkin menghindari mengobrol dengan pelayan itu. Ellen tahu. Hamdan pernah curhat padanya di suatu waktu tentang Tiwi. Dan Ellen tidak sedang ingin mengingatnya saat ini.

"Dan, aku mau numpang online."

"Pake hapeku aja, ya?"

"Lha kenapa?"

"Sekarang password wifinya cuma buat karyawan. Tiap pagi password diketikkan mbak Maya. Yang lain nggak tahu passwordnya apa. Kamu bisa online dari sini. Tapi cuma sejam."

"Kok sekarang kantormu kayak warnet." sela Tiwi. Hamdan mendengus.

"Eh, iya aku lupa. Aku tadi dapat tugas sih dari bu Siska. Nggak jadi numpang online deh. Makasih ya, Dan." Ellen kabur meninggalkan mereka berdua. Hamdan pun segera menyusul balik ke kantornya.

Dan beginilah akhirnya. Ellen kembali tidur tiduran, merebahkan separuh tubuhnya di atas meja kerja.

"Aku harus kuat dan sabar. Dua hari lagi, ya, dua hari lagi." bujuk Ellen pads dirinya sendiri.

Bersambung

There's Something Wrong in the OfficeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang