Sore itu...

268 28 7
                                    

Bepergian bareng hari itu banyak mengubah hubungan Ellen dan Satya. Awalnya, Ellen hanya ingin memberi kesan terakhir yang baik untuk Satya. Barangkali suatu hari nanti mereka masih dibutuhkan kerjasamanya secara profesional karena butik tempat mereka berdua, walau terpisah jarak, masih dalam satu manajemen yang sama. Namun, dia tidak menyangka bahwa kedekatan di antara mereka berdua semakin terbangun.

"Aku nggak menyangka, mbak, kalau kamulah dulu si anak perempuan manis yang suka berdiri di belakang jendela. Aku loh sering ngintipin kamu sambil naik pohon jambu."

Tentu saja saat itu Ellen sangat malu. Satya membicarakan dirinya di masa lalu dengan pilihan kata yang menciptakan debaran di jantungnya. Baiklah, jantung memang harus berdebar, tetapi tidak harus secepat ini.

"Masa lalu itu... Menyenangkan sekali, ya mbak? Aku ingin sekali kembali ke masa lalu."

Satya menyeruput es kopinya. Sementara Ellen hanya mengaduk aduk semangkuk es teler yang dipadu dengan es puter rasa tape ketan hitam di hadapannya. Di dalam hati dia membatin, "aku tidak."

"Kalau hidup ini seperti komputer, dan bisa diinstal ulang, mbak mau jadi apa?"

"Pertanyaan macam apa itu?" batin Ellen.

"Kalau aku ya, aku pengen tetap jadi diriku. Tetap dengan keluargaku. Dan tetap memiliki masa kecilku. Dulu ya, aku tuh bagian nyolong jambu di depan rumahmu, mbak. Anak anak mana ada yang bisa manjat sampai pucuknya. Aku aja. Lagipula dari pucuk pohon jambu itu aku bisa mengintipmu, hihi... Duh kamu tah cewek itu, hihihi... "

Ellen tersenyum. Hatinya geli melihat cowok yang sangat cerewet seperti Satya. Baru kali ini ada anak yang bangga dengan kehebatannya nyolong jambu. Asem.

Selama ini Ellen menganggapnya sebagai adik, karena dia selalu memanggilnya mbak. Sifat Satya yang kekanakan juga memantaskan dirinya untuk gelar itu.

"Jangan senyum, mbak. Aku nanti nggak kuat."

"Apa sih kamu?" Ellen mulai gusar. Satya ini memang hobi menggoda cewek, pikirnya.

"Mumpung kita lagi kayak gini, ngobrol lah sama aku. Apa sih susahnya? Mbak nggak pengen tahu nama lengkapku siapa? Aku ini dari mana? Mbak masak gak penasaran, kalau aku anak yakuza, piye?" Satya nyerocos terus. Baterainya sedang fully charge.

Ellen mendesah. Sudah ditemani duduk di cafe gini aja harusnya Satya sudah bersyukur. Dialah laki laki pertama yang sukses mengajak Ellen jajan bareng. Dulu? Boro boro. Mendekat saja sudah takut ditolak.

"Aku sudah tahu. Nama lengkapmu Satya Wiratama. Kamu dapat nama itu karena dilahirkan di Gorontalo. Ayahmu seorang anggota militer di kesatuan Batalyon infanteri Satyatama. Namamu adalah penanda bagi beliau ketika bertugas di sana. Gorontalo adalah kota yang paling dikenang ayahmu, karena di sanalah dia bertemu ibumu, dan mendapatkan kamu sebagai anak lelaki satu satunya kebanggaan beliau."

Ellen menjelaskan panjang lebar sambil merem melek, lalu memungkasinya dengan gemeletuk es batu di mulutnya.

"Looh tahu dari mana? Mbak ini ternyata yaaa... Diam diam jadi pengagum rahasiaku juga?"

"Dih" Ellen tertawa. Barangkali ini adalah tawa lepas pertamanya. Gigi taringnya sampai kelihatan. Dia sudah tidak bisa lagi menahan geli di hati.

"Terus ayo lanjut, apalagi yang mbak tahu tentang aku? Paling cuma itu aja," Satya malah menantang.

"Oke. Kamu pernah di DO sama kampusmu. Universitas Islam Negeri. Karena kamu nggak kerasan di asrama, nggak ikut jam pelajaran bahasa Arab, dan kamu sering berantem sama dosen wali."

"Ih enggak. Itu informasi yang salah. Aku nggak di DO. Tapi men-DO-kan diri." bantah Satya ketus.

"Ya udah tinggal hapus kata di aja. Alasannya kan bener."

"Ya, sih." Satya menunduk, wajahnya masam. Barangkali itu adalah sejarah kelam pendidikannya. Bagi Ellen, wajah Satya sangat lucu dalam posisi seperti itu.

"Mbak tahu dari mana betewe? Nggak semua orang kuceritain loh soal alasanku DO." Satya mendekatkan wajahnya pada Ellen dengan mata menyipit. Hangat napasnya terasa di pipi Ellen.

"Dari buku harianmu." Ellen menjawab santai.

"What? Mbak sampe berani nyolong buku harianku demi kepoin aku?" Satya setengah berteriak memegangi pipinya.

"Enak aja. Kamu yang sodorin buku harianmu sendiri waktu itu. Lupa? Waktu kamu disuruh bu Siska ngasih buku rekap harga."

Ellen menjelaskan dengan santai.

"Lho, iyo tah? Weees kesalahan ikiiii..." Satya mencak mencak. Lagi lagi Ellen tertawa ngakak.

***

"Dear diary, dear pinky,

Terima kasih sudah jadi sahabatku, jadi buku diaryku yang aman. Lucu rasanya melihat respon Satya hari ini. Kupikir dia akan marah dan menjauh setelah tahu bahwa aku tahu banyak tentangnya. Sayang bukan itu yang terjadi. Satya justru makin berani mendekatiku. Dia terus menyenggolku setiap ada kesempatan. Dan entahlah, rasanya sangat lucu.

Aku berharap dia nggak akan baca kamu. Aku nggak mau dia tahu apapun tentang aku.

Setidaknya aku bisa tenang, dia nggak akan tahu password handphoneku. Mungkin aku akan kesal padanya bila dia sampai berani buka buka handphoneku.

Nggak seperti dia. Aku nggak bisa seperti dia. Biarpun aku membuka semua rahasianya, dia justru mengantarku pulang. Dan curi curi menggenggam tanganku pula. Duh, Satya. Aku nggak tahu lagi harus gimanain dia."

Ellen menyimpan catatannya itu. Lalu mengganti password handphonenya.

Malam itu, Ellen tidak ingin membuka berbagai medsos yang ia punya. Dia hanya ingin memeluk bantal, dan mengingat lagi apa yang sudah dilakukan Satya tadi sore selepas mengantar semua undangan.

"Sini mbak helmnya biar aku yang kembalikan ke Hamdan. Aku mau balik sebentar ke kantor. Ada yang ketinggalan."

Ellen mencoba melepas kunci helm, tetapi macet.

"Sini."

Satya membantu melepasnya. Tangannya meremas punggung tangan Ellen yang lembut. Wajah mereka amat dekat ketika Satya mencoba mengintip kunci helm yang dikenakan Ellen.

Deg.

Dua jantung kini bergetar seirama. Dua wajah sama sama bersemu merah.

Satya berhasil melepaskan helm Ellen, lalu menggantungnya di cantolan bawah jok. Setelah menutup joknya, seketika Satya berbalik dan menggenggam tangan Ellen. Membuat Ellen terkesiap.

"Mbak... Ngg... "

Mereka berdua saling menatap, cukup lama. Satya seperti tidak ingin melepas genggaman tangannya yang erat. Wajah Ellen makin memerah. Waktu seperti berhenti. Bahkan angin ikut menyimak kedekatan mereka saat itu. Seolah semesta mengamini, bahwa sudah saatnya Ellen memiliki seorang teman.

Buk.

Satu buah jambu tiba tiba jatuh. Mengacaukan suasana. Burung burung yang tadinya seperti berhenti bersiul tiba tiba bercericit riang kembali. Buru buru Ellen sadar dan melepaskan tangan Satya. Satya seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi sesuatu yang lain menahannya, entah apa.

Ellen menerjemahkannya sebagai sesuatu yang lain.

"Aku masuk dulu."

Ellen berlari masuk. Meninggalkan Satya yang bengong di luar pagar.

"Sudah cukup. Harus berakhir." bisik Ellen lirih pada dirinya sendiri. Dia memejamkan mata.

Bersambung

There's Something Wrong in the OfficeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang