Kepalang Basah

289 27 4
                                    


"Sugeng rawuh, badhe ngersaaken menopo? Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?"

Bapak tua itu menangkupkan dua tangannya menyilang di depan perutnya yang tambun, lalu menyodorkan pulpen dan lembaran hijau muda berisi kotak kotak menu. Ellen menerimanya, dan membaca dari atas sampai bawah, lalu balik lagi membaca dari atas sampai bawah. Tidak ada satu menu pun yang bisa dipakai untuk mabuk mabukan. Bahkan untuk dicampur aduk sekalipun semacam teh bunga kecubung misalnya.

Ellen membubuhkan tanda centang pada daftar menu itu dan menyodorkannya pada sang pelayan. Bapak itu tersenyum ramah.

"Dirantos sekedap, ditunggu sebentar."

Mungkin agar unik, pelayanan harus dilakukan dalam dua bahasa. Keunikan memang wajib di zaman seperti sekarang. Yang tidak unik dan biasa saja, pasti tersisihkan. Seperti apa yang sekarang Ellen alami. Barangkali kalau bule yang mampir makan di situ, bahasa jawa akan dialih bahasakan ke dalam bahasa inggris. Sugeng Enjing, good morning, selamat pagi. Entahlah. Itu bukan urusan Ellen. Ellen lebih memilih memijit dahinya sendiri. Sepagi ini dia sudah salah pilih dua kali. Atau barangkali tiga.

Cafe itu cukup sepi. Mungkin karena belum jam makan siang. Orang-orang masih asyik bekerja di kantor, atau para remaja sedang bersekolah. Entah dari golongan mana di antara mereka yang paling rajin mengunjungi cafe ini. Atau jangan jangan ini cafe tanpa pelanggan tetap. Yang artinya sekali orang datang maka mereka memutuskan untuk tak datang kembali. Wah... Bisa bisa masakannya kurang enak.

Ellen menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari seseorang yang barangkali salah masuk juga seperti dirinya. Tetapi tidak. Beberapa pelayan tampak sibuk mengelap meja, menata kudapan di etalase kaca, atau memeriksa layar komputernya. Pelayan tampak jauh lebih banyak daripada pengunjung. Ini bukan pertanda yang baik, pikir Ellen.

Tapi bisa saja ini pertanda baik untuknya. Pelanggan adalah raja. Dan hanya Ellen satu satunya pelanggan di situ. Jadi dialah rajanya.

"Monggo, silakan."

Pesanan Ellen datang. Ellen menatap pelayan itu agak lama.

"Tolong jangan ganggu saya, ya. Terima kasih."

Ellen menatap sungguh-sungguh pada bapak itu. Bapak itu pun mengangguk dan mengundurkan diri.

"Baiklah. Ini dia. Pokoknya aku harus mabuk!" Ellen melahap hidangan yang ia pesan.

Satu sendok, dua sendok, tiga sendok. Rasanya lumayan. Ellen menambah tiga sendok lagi dan kemudian meletakkan kepalanya di atas meja. Tangannya mengepal dan memukul meja.

"Haaaahhhh... Menyebalkan! Mereka semua menyebalkan!!!"

Ellen mulai mengoceh. Keinginannya untuk mabuk tercapai.

"Yang satu sok bossy. Yang satu penghianat. Haaahhh!"

Dak! Dak! Dak!

Ellen menggebrak meja dengan kepalan tangannya.

"Aku benciiii pada mereka... Aku benciiiii..."

Ellen terus saja mengomel. Dan menggebrak meja. Tidak ada yang berani mendekatinya. Saat ada seorang pelayan yang ingin mendekatinya, bapak pelayan tadi memintanya mundur sambil tersenyum.

"Sudah biarkan. Anak muda memang begitu," kata bapak itu.

Ellen sepertinya benar-benar puas mengoceh. Dia yang biasanya hanya menyimpan perasaan di dalam hati, saat itu bisa menumpahkan semuanya. Tentu saja dia melakukannya dengan mata terpejam.

"Bu Siska, Satya, semuanya menghianatiku. Aku tidak akan memaafkan mereka. Lihat saja!"

Suara Ellen seperti seseorang yang sedang diruqyah. Setengah ngerock dan setengahnya lagi melengking dan serak.

"Hei, nona. Kamu kenapa?"

Seorang pelanggan yang dari tadi merasa terganggu dengan ocehan Ellen akhirnya mendekatinya. Tadinya lelaki itu duduk santai sambil menikmati kopi. Ikan-ikan koi berenang berlalu lalang di bawah kakinya. Lelaki itu memilih duduk di gazebo belakang. Tempat yang tak dapat dijangkau mata Ellen. Konsentrasinya mengetik buyar karena ocehan Ellen.

"Hei, sana kamu! Jangan mendekatiku! Pergi!" Ellen bangun dari meja dan menunjuk ke sembarang arah.

Lelaki bersetelan rapi di depannya tampak sangat terkejut. Lalu menarik nafas panjang.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Bukan urusanmu! Pergilah!"

Ellen berteriak dengan suara cempreng. Tangannya menunjuk nunjuk. Matanya terpejam.

"Kenapa kamu berteriak?"

"Apa urusanmu? Aku sedang mabuk. Jadi wajar kalau aku begini. Pergilah!"

Lelaki itu makin mendekat.

"Mabuk? Ellen! Kamu cuma makan es cendol! Bagaimana bisa mabuk?!"

Deg.
Ellen terdiam. Dia tidak berani membuka matanya. Di saat seperti ini kenapa sih dia harus bertemu seseorang yang mengenalnya. Duh.

"Buka matamu!"

Sekarang Ellen mengingat suara itu. Pelan pelan dia membuka matanya, menyipit nyipit sedikit. Dan seketika menutup mulutnya yang melongo.

"Pak Ravi..."

"A... Apa... Apa yang bapak lakukan di sini?"

Siiiing... Wajah Ellen semerah mobil ferrari.

"Kamu yang ngapain di sini? Ayo ikut aku!"

Pak Ravi mencekal lengan Ellen. Namun Ellen bisa berkelit. Dia segera menarik ranselnya dan kabur berlari tunggang langgang keluar dari cafe.

"Hei, Ellen! Tunggu!"

Tahu Pak Ravi mengejarnya, Ellen segera melompat masuk ke sembarang angkot. Dan, ya. Dia salah naik angkot. Tapi tak apa. Di pojokan nanti dia bisa pindah angkot.

Sementara di cafe...

"Pangapunten, mohon maaf. Niku wau rencange? Tadi itu temannya? Niki bon ne... "

Bapak tua tadi menyodorkan selembar daftar menu yang tadi dicentang Ellen. Pak Ravi membaca kertas itu, lalu mendelik ke arah luar. Memalukan sekali. Masak lima belas ribu aja nggak mampu bayar?

"Ya. Jadikan satu dengan milik saya. Sial!" Pak Ravi mengumpat kesal.

Sementara Ellen yang sedang asyik melamun di dalam angkot matanya kedutan.

Bersambung

There's Something Wrong in the OfficeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang