Prolog: Kehidupan Baru

4.6K 214 24
                                    

Salju turun dalam keheningan. Menghiasi seluruh jalanan di Britania raya dengan kecantikan bernuansa putih dan anggun. Suasana tahun baru akan berlangsung beberapa hari lagi. Hanya saja, hal ini tidak berlaku bagi seorang remaja perempuan yang mengenakan gaunnya berwarna hitam. Tidak hanya remaja itu, semua orang yang menghadiri acara tersebut mengenakan pakaian yang sama. Yaitu berwarna hitam.

Suasana duka tidak membuat gadis ini bergerak dari tempatnya, tidak peduli salju sudah turun dan mengenai kepalanya. Semua pelayat, membuka payung mereka dan berlindung dari salju. Suasana hening membuat acara pemakaman tersebut berlangsung begitu saja, tidak ada suara isak tangis yang keluar dari mulut remaja perempuan itu ataupun dari pelayat lainnya. Satu persatu para pelayat mulai berpamitan meninggalkan pemakaman tersebut, pihak yang berduka tidak bisa berbuat apa-apa.

"Michelle. Ayo pulang, tidak lama lagi badai salju akan turun." Remaja perempuan yang dipanggil Michelle itu tidak menggubris sama sekali perkataannya. "Jangan biarkan ayah dan ibumu sedih." Rahang Michelle mengeras ketika mendengar kalimat tersebut, tidak ada salahnya jika pamannya menyebutkan itu. Tapi, ia tidak suka seseorang mengganggunya.

"Dengar kata pamanmu, dear. Ayo pulang dan beristirahat." Kali ini suara seorang wanita mencoba untuk membujuknya. Tetapi, hasilnya tetap sama. Ia masih tidak ingin beranjak dari makam tersebut, seolah-olah masih banyak yang ingin ia katakan.

Salju mulai turun dengan derasnya, membuat kedua pasangan tersebut pasrah untuk membujuk remaja yang bernama Michelle itu. Kalian meninggalkan aku sendirian disini, dan kakak sedang melawan sakitnya. Apa dunia ini terlalu kejam untukku?

Tatapannya yang kosong dan dingin menatap kedua batu nisan kedua orangtuanya, tidak menyangka kalau ia akan ditinggal secepat ini. Perlahan salju dijalanan sekitar pemakaman mulai menebal, tetapi ia tetap berdiri layaknya patung yang berdiri tegap. Tidak akan rubuh dengan angin, maupun badai salju seperti ini.

Untunglah, mereka dapat membujuk Michelle kembali kerumahnya. Seharusnya, ia bersyukur masih ada orang yang begitu peduli dengannya. Tapi, itu salah. Mereka tidak begitu peduli dengan keadaannya, "ganti pakaianmu, hangatkan dirimu di perapian lalu tidur."

Pria dewasa tersebut langsung membanting pintu dan menguncinya dari luar, ayah ibu lihat? Selama ini aku tidak berbohong soal paman dan bibi, mereka tidak peduli dengan kita.

***

Tanpa ia sadari, dirinya sudah duduk di kursi dekat dengan perapian yang hangat. "Seingatku, aku belum mengganti pakaianku." Gumamnya pelan. Kedua matanya hanya memandang silaunya dari perapian tersebut, sudah seharusnya ia melarikan diri waktu itu. Tapi, semua itu sudah terlambat. Semuanya gagal.

Tiba-tiba dirinya merasa sedikit aneh, seperti sesuatu memaksanya untuk muncul. Tetapi, ia sendiri tidak tahu apa itu. Ia putuskan untuk bercermin dan melihat dirinya dari pantulan kaca tersebut. Michelle melihat dirinya yang berbeda, matanya tampak begitu berkilat seperti siap akan menerkam siapapun yang berani mengganggunya. "Ada apa? Kau sendiri tidak menyadarinya? Dasar manusia aneh."

"Aku bisa mendengar suaranya terdengar begitu jelas di kepalaku." Ia masih melanjutkan untuk memandang dirinya walaupun tidak ada gunanya.

"Tentu saja kau bisa mendengarnya, karena kita sudah menjadi utuh." Michelle masih tidak percaya, ini benar-benar tidak masuk diakal. Selama ini, ia hanya tahu soal Double personality itu hanya sebuah film fiksi ataupun fantasi. "Ini bukan film, ini nyata. Apa perlu aku memaksakan diriku untuk keluar? Sementara kau diam didalam sana."

My Alterego [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang