"Jangan paksakan dirimu, Michelle." Ucap Liam sambil mengelus rambut adiknya yang masih terbaring.
Sementara Yukio sedang mencari informasi tentang sakit Michelle, "seharusnya, kau tidak pergi hari ini. Apa karena kak Yukio tidak mengizinkanmu?" Perkataan Liam ada benarnya, Yukio jadi merasa bersalah karena tadi pagi memaksanya untuk tetap pergi.
"Tidak... Itu bukan salah kak Yukio." Lirih Michelle sambil menggenggam kedua tangan kakaknya. Dirinya benar-benar lemah dan suhu tubuhnya tinggi, "maaf, jika aku merepotkan kalian."
"Tidak ini bukan salahmu. Jangan salahkan dirimu itu." Liam membantah perkataan adiknya, kalau penyakit ini adalah salahnya. "Itu tidaklah benar."
"Biarkan dia berisitirahat. Jangan menekannya," kata Yukio sembari mengecek suhu Michelle dengan punggung tangannya. "Panasmu terus menaik, apa kau merasakan sesuatu? Dan apa selama ini kau pernah mengalami ini?"
Michelle hanya menggelengkan kepalanya, "entahlah. Aku merasakan seperti seseorang sedang memasukan sebuah cairan." Yukio langsung mengecek bukunya dan memastikan bahwa bukunya memiliki sebuah petunjuk.
"George sedang mengirim beberapa dokter, jadi tenanglah." Michelle mengangguk dan mencoba untuk menahan rasa sakitnya yang masih menjalar ke seluruh tubuhnya. Jantungnya benar-benar berdetak kencang dan kedua kakaknya dapat mendengar itu, "kakak berapa lama lagi?"
Pintu kamar Michelle terbuka dengan paksa dan George membawa beberapa dokter. "Maaf sudah menunggu lama tuan." Liam dan Yukio langsung memberi jarak dan membiarkan para dokter mengecek kondisi Michelle.
"Sebaiknya, tuan keluar dulu. Kita biarkan mereka menangani nona Michelle." Lanjut George yang di ikuti oleh anggukan keduanya dan mereka keluar dari kamar Michelle.
Mereka? Kenapa ada disini? Dimana Yukio dan Liam? Tiba-tiba saja ia merasakan kalau kepalanya berdenyut dan Michelle merasakan pusing yang luar biasa, menelusuri setiap kenangan yang sudah ia kubur di sana. Perlahan memori yang lama telah dia lupakan kini perlahan muncul, siluet kejadian waktu itu mulai tergambar di hadapannya saat ini.
"Cepat! Suntikan semua itu." Suara berisik membangunkannya dan membuat dirinya sadar, ia terkejut karena tangan dan kedua kakinya diikat dan beberapa orang yang mengenakan jas putih mengelilinginya. "Naikkan tegangan listrik, itu akan membuat obatnya beraksi." Ucap pria yang sama dan di ikuti oleh anggukan orang lain.
Rasa sakit mulai menjalar ke seluruh tubuhnya, kedua tangan dan kakinya diikat. Sementara mulutnya dibekap begitu saja agar tidak mengeluarkan suara jeritan ketika beberapa cairan masuk kedalam tubuhnya.
"Dia benar-benar bahan yang sesuai." Gumam seseorang yang ia yakini mirip dengan pamannya.
***
Michelle baru membuka matanya. Didapatinya kedua kakaknya sedang tidur dipinggir ranjangnya. Kepalanya terasa berat dan sakit sekali ketika bangkit duduk.
Dia hendak membangunkan kedua kakaknya, tapi pikirannya kembali melayang pada saat semua memorinya yang sudah ia timbun. Michelle baru akan bangkit berdiri ketika Yukio bangun, "kau sudah sadar? Bagaimana? Apa masih ada yang sakit?" Yukio memberikan gelas untuk menenangkan pikiran adiknya.
"Aku baik-baik saja. Apa ada yang aku lewatkan?" Dadanya sempat sesak. Dia menggigit bibirnya untuk menahan sakit.
"Tidak ada. Kau hanya perlu istirahat yang cukup, tidak ada yang perlu di khawatirkan." Suara Yukio mulai melemah dan sorot redup terlihat dari kedua matanya. Michelle yang menyadarinya merasa ada yang kakaknya sembunyikan.
Michelle bertanya cemas, "ada apa kak? Jangan menyembunyikan sesuatu di belakangku."
"Tubuhmu yang asli dijadikan sebagai bahan percobaan manusia oleh pamanmu sendiri." Bisik Yukio. Michelle memejamkan matanya lagi, dan merasakan cairan bening mengalir membasahi pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Alterego [End]
FantasyAlterego. Apa yang kalian bayangkan ketika mendengar atau melihat kata tersebut? Jiwa baru? Gangguan mental? Manusia yang baru? Double personality? Atau yang lainnya? Satu kata untuk menjelaskan seorang remaja perempuan yang baru saja ditinggal oleh...