Bagian_3

20.7K 1.3K 19
                                    

_Teruslah tumbuh wahai bungaku. Tumbuhlah dengan kelopak yang mekar sempurna dan cantik. Dan ijinkan aku yang kesepian ini untuk menghirup wangimu, dan menempatkanmu di dalam jambangan hatiku_

🍒🍒🍒

"Ada hal penting apa sampai pak Maman datang lagi ke sini?" kedua tangan Nara bertumpu di atas pangkuan untuk menutupi yang 'terbangun' bawahnya sana.

Pertanyaan untuk kesekian kalinya yang Nara ajukan setelah ditinggal berdua dengan pak Maman tidak juga dapat membuat pria paruh baya itu buka suara. Pak Maman masih diam membisu. Menimbang baik buruknya berita yang akan ia sampaikan.

"Katakan saja pak Maman, saya tidak akan terkejut ataupun marah jika berita yang akan bapak sampaikan adalah berita yang tidak mengenakan untuk didengar." ujar Nara tegas. Pria itu berusaha mengendalikan anggota tubuhnya yang membandel.

"Ini mengenai nyonya Eleora, tuan." pak Maman akhirnya buka suara.

"Kali ini, apa lagi yang dia itu lakukan?" Nara menghela napas bosan.

Pak Maman memperhatikan majikannya yang sedang bersandar di kepala tempat tidur. Tidak ada lagi kesedihan dan kesepian di mata pria berhati baik itu. Bahkan sorot mata marahpun tidak ia temukan. "Nyonya menjual rumah peristirahatan yang ada di puncak."

Nara menghembuskan napas kasar. Jika ditanya apakah ia lelah menghadapi situasi yang sama selama 4 tahun terakhir? Nara akan menjawab, tentu saja ia lelah. "Kapan dia menjualnya?"

"Pagi tadi, tuan. Saya tidak tau bagaimana nyonya bisa mendapatkan surat-suratnya?!" kening pak Maman yang berkeriput semakin bertambah keriputnya.

"Mungkin dia mengambil surat-surat itu sewaktu saya sedang tidur," Nara memijit keningnya untuk mengurangi pening yang mendera. "Kalau begitu, tolong pak Maman beli lagi rumah peristirahatan itu, jangan sampai dibeli orang lain karena rumah itu adalah peninggalan kedua orang tua saya."

"Akan segera saya urus, tuan." pak Maman segera menyanggupi. "Jika boleh, saya ingin memberikan satu saran untuk tuan?!"

Mata Nara kembali terbuka. Merasa tertarik untuk mendengar ucapan pak Maman lebih lanjut. "Boleh." tandasnya langsung.

Pak Maman kembali terdiam. Pak Maman tahu, jika saran yang akan ia berikan bisa berdampak besar untuk ke depannya. Juga bisa mengundang pertengkaran dalam rumah tangga sang majikan.

"Katakan saja, pak Maman. Jika saran yang pak Maman berikan masuk akal untuk dijalankan, saya pasti menyetujuinya." desak Nara.

"Setelah membeli kembali rumah itu, tuan Nara langsung mengubah nama pemilik yang tertera. Tuan bisa menaruh nama siapa saja yang tuan inginkan di atas surat kepemilikan rumah peristirahatan itu. Jadi, jika suatu waktu nyonya mempermasalahkan ataupun menuntut hak atas rumah peristirahatan itu, tuan bisa dengan mudah mengatakan jika rumah itu sudah berada di luar aset yang tuan miliki." tutur pak Maman.

Nara terdiam sejenak. Menurutnya, saran pak Maman sangat masuk diakal. Andai memang hanya itu jalan keluar satu-satunya, maka Nara pasti mengikuti saran tersebut. "Saya setuju dengan saran pak Maman itu. Tolong pak Maman urus saja surat-suratnya, saya serahkan semuanya sama pak Maman."

"Kira-kira, nama siapa yang tuan inginkan untuk ditulis di atas surat-suratnya?"

Nara seketika tersenyum begitu satu nama terlintas di benaknya. "Khaira Wilda." ucap Nara mantap.

Meskipun sudah menduga jika nama Ira yang akan disebut oleh sang majikan, pak Maman tetap saja terkejut dibuatnya. "Apakah tuan sudah yakin?" tanyanya untuk memastikan.

"Saya yakin, pak Maman! Setelah surat-suratnya selesai, pak Maman simpan saja semua suratnya di tempat tersembunyi. Dengan begitu Ira akan aman dari amarah tantenya." sorot mata Nara terlihat sangat yakin dengan ucapannya.

Kumbang Dan Bunga [TTS #1 | TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang