Aku segera mundur begitu melihat pria itu duduk diatas kasurku. Bagaimana bisa? Darimana ia bisa melacak jejakku? 10 tahun... Betapa aku berharap dalam 10 tahun ini, dia sudah mati. Entah kelaparan, atau karena apa. Kenapa bisa dia disini?
"Mau kabur kemana pelacur kecil?", pria itu menyeringai. Menyeramkan. Lari, lari, pikirku. Namun kakiku tidak mau digerakkan. Aku mulai panik. Aku tidak mau disiksa lagi, tidak mau. Pria itu semakin mendekat ke arahku. Aku pun mundur dan segera lari, berniat keluar dari apartment ini.
Namun terlambat, pria ini segera menjambak rambutku.
"Sama seperti ibumu, tidak tau berterimakasih! Saya yang besarkan kamu! Kasih kamu makan! Ini balasan untuk saya?!" teriaknya. Bibirnya begitu dekat dengan telingaku. Samar aku dapat mencium bau alcohol dari mulutnya. Aku teriak minta tolong, hal yang percuma, mengingat apartment ini kedap suara.
"Lepaskan saya!!!", teriakku, memberanikan diri.
"Hah! Saya hidup susah tiap hari. Taunya kamu hidup senang menjadi pelacur! Pelit sekali kamu, tidak mau berbagi pada ayahmu.", balasnya seraya mengencangkan jambakannya.
"Anda bukan ayah saya!!!"
Dia menamparku, yang aku yakin, akan meninggalkan bekas. Aku berusaha meraih handphone ku didalam tasku, dan menekan speed dial yang terhubung ke nomor Randy. Aku butuh Randy. Aku sangat takut sekarang.
"Siapa yang kau telpon? Pria beristri itu? Kamu pikir kamu seberapa berharga di matanya hah?! Jalang bodoh!", teriaknya seraya merampas handphone ku dan membuangnya. Dia memukulku hingga aku jatuh terjerembab di lantai. Tuhan.. mengapa aku harus mengalami siksaan ini lagi?
"Berapa uang yang Anda mau? Katakan!", teriakku. Dia tidak pantas disebut sebagai ayah. Aku membencinya. Sangat sangat membencinya.
"Hah. Bagaimana jika saya bilang, saya mau menjadi direktur di perusahaan priamu?", katanya culas. Aku membelalakan mataku. Sejauh apa dia memata-mataiku?
"Anda gila!", makiku. Tatapannya menggelap marah. Dia menendang perutku dan kembali menjambak rambutku.
"Kamu harus kabulkan permintaan saya!", teriaknya. Aku memejamkan mata, menahan rasa sakit yang mendera tubuhku.
Tiba-tiba saja, handphone ku bordering. Aku berharap itu Randy. Dengan kekuatan yang tersisa, aku menendang pria itu hingga jambakannya pada rambutku terlepas. Aku segera merangkak menuju handphone ku yang berada beberapa meter dariku.
+62851234XXXXX is calling....
Bukan Randy.. hatiku mencelos. Namun aku segera menerima panggilan itu, berharap siapapun pemilik nomor itu bisa membantuku. Belum sempat aku berkata apa-apa, kakiku segera ditarik.
"Kamu tau, kamu dan Ibumu, sama-sama pelacur. Tidak berharga!", katanya lagi seraya menendang nendang tubuhku.
"Anda boleh hina saya. Tapi jangan hina Ibu!", balasku dengan susah payah. Aku sudah tidak punya kekuatan untuk melawan. Entah sudah berapa menit dia memukulku dan menendangku. Entah sampai kapan dia akan puas. Makiannya mulai terdengar kabur di telingaku.
Tenagaku mulai habis. Pandanganku mulai mengabur. Akankah aku mati hari ini? Aku tidak takut mati. Namun haruskah di tangan pria ini? Tangan yang sama yang membunuh Ibu? Dengan cara seperti ini?
Tepat saat aku berpikir aku sudah akan mati, pintu apartment ku digedor dan dibuka secara paksa. Sosoknya samar-samar ku lihat, tapi aku tau, dia bukan Randy.
Dan tiba-tiba saja, semuanya gelap
Niel POV
Ah, Nina. Mengingatnya membuatku tersenyum. Entah mengapa, ada perasaan kuat untuk melindunginya. Dari apapun, termasuk dari Randy. Sebagai seorang teman, tentunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Third Person ( completed☑)
RomanceTidak ada satupun wanita di dunia ini yang menginginkan menjadi orang ketiga. Begitu pula aku. Aku memimpikan menikahi pria yang mencintaiku dan menatapku lembut penuh cinta. Namun takdir berkata lain. Nyatanya aku hanyalah orang ketiga Hingga akhir...