Author POV
"Temani aku main basket"
"Tidak mau. Cuacanya panas sekali.", kilah Nina. Keduanya sedang duduk di balkon mansion Niel, menikmati angin pagi yang berhembus. Mereka berdua sejak tadi duduk berdampingan dalam diam. Kemarin, saat Pat menyinggung mengenai "menikah" dan "istri", keduanya sempat menjadi canggung. Namun pagi ini mereka kembali seperti semula dan seperti melupakan percakapan kemarin.
"Are you crazy or what? Sejuk begini kamu bilang panas", gerutu Niel. Dia tidak habis pikir dengan alasan Nina, pasalnya, London menunjukkan pukul 8 pagi dan matahari belum bersinar begitu terik.
"To be honest, aku ga pernah sentuh bola basket", desah Nina pada akhirnya. Niel mencondongkan tubuhnya yang semula bersandar di kursi malas.
"Repeat once again? Kamu belum pernah sentuh bola basket?"
Nina menggeleng.
"Lihat udah pernah kan? Tau bentuknya kaya gimana kan?"
Nina mendengus dan memukul pelan lengan Niel.
"Kamu pikir aku dari planet mana sampe ga tau bola basket."
"Maaf, setiap orang yang aku kenal dari planet ini pernah menyentuh bola basket. Well, justru karena kamu belum pernah menyentuh bola basket, kamu harus belajar hari ini. Ayo", Niel segera berdiri dan menarik Nina bersamanya.
"Ternyata selain jahil kamu juga pemaksa"
"I'll take that as compliment."
Nina yang mau tak mau mengikuti Niel hanya bisa memasang tampang masam. Pasalnya, dia tetap saja bawahan pria itu. Sebisa mungkin dia akan menuruti permintaan pria itu meski di luar pekerjaan. Lagipula, belajar bermain basket bukan hal yang buruk.
Niel menuntunnya menuju sebuah lapangan basket pribadi di bagian barat mansion. Jujur saja, Nina terpesona. Meski Pat sudah memberi tour singkat mengenai mansion itu, Nina belum pernah melihat bagian barat dari mansion. Selain lapangan basket, mansion ini juga memiliki lapangan bulu tangkis, volley, futsal, kolam renang, dan entah beberapa ruangan olahraga yang tampak asing di matanya.
"El, kalo sewaktu-waktu kamu jatuh miskin, aku yakin kamu bisa menghasilkan uang dengan menyewakan lapangan-lapangan di mansion ini. Kamu tidak akan menjadi gembel.", puji Nina. Niel mendengus.
"Nona, aku tidak akan jatuh miskin. Tapi terimakasih sarannya. Akan aku pertimbangkan."
Niel meminta Nina duduk di sebuah bangku yang tersedia di area lapangan basket. Pria itu berjalan menuju sebuah ruang, entah ruang apa, dan keluar membawa dua buah bola basket di tangannya. Niel sempat mengganti pakaiannya dengan baju basket bertuliskan "Nathaniel" dengan angka "10", merujuk pada nomor pemain, dan lambang oxford serta beberapa sponsor lain.
"Kamu kuliah di oxford?" tanya Nina penasaran.
"Hanya S2 dan S3. Aku baru saja menyelesaikan S3 ku sebelum kembali ke Indonesia."
"S1?"
"Di Indonesia. Well, aku kan pergi untuk menghindari Sasa. Sebenarnya aku sudah lulus S1 saat 22 tahun. Aku sudah masuk ke perusahaan saat itu, lalu saat 26 tahun aku mulai mengurus S2 ku di Oxford."
"Kamu ternyata pintar. Aku kira otakmu hanya mengenai wanita dan uang."
Niel memegang dadanya dengan ekspresi sakit hati yang dibuat-buat.
"Itu menyakitkan. Kamu melukai egoku. Tapi syukurlah, Nina yang sarkastis telah kembali. Sekarang nona malas, angkat pantatmu dari kursi itu dan perhatikan aku. I'm your coach today."
KAMU SEDANG MEMBACA
Third Person ( completed☑)
Storie d'amoreTidak ada satupun wanita di dunia ini yang menginginkan menjadi orang ketiga. Begitu pula aku. Aku memimpikan menikahi pria yang mencintaiku dan menatapku lembut penuh cinta. Namun takdir berkata lain. Nyatanya aku hanyalah orang ketiga Hingga akhir...