Part 7 - Revealed

138 27 12
                                    

"Kamu yakin tadi sudah meminta ijin, kan?" pertanyaan itu terulang tanpa bisa Shilla cegah. Pasalnya saat ini murid kesayangannya itu tengah mengunjungi rumahnya. Tadi saat sepulang sekolah Allene memang mengatakan ingin main ke rumah Dylan. Shilla menyetujui dengan syarat sudah mengantongi ijin dari ayah Allene.

"You already read my message with Daddy" jawab Allene. Shilla hanya mengangguk. Ia memang sudah membaca pesan yang Allene kirimkan untuk ayahnya. Dan ayahnya menyetujui. Meski memang sang ayah mengatakan jam 5 akan dijemput.

"Don't worry Miss! You want me to call Dad?" Allene bertanya lagi. Shilla terdiam sejenak sebelum menggelengkan kepalanya.

"Tak usah. Tidak apa" lanjut Shilla. Ia hanya khawatir. Pasalnya selama ini ia belum pernah membawa anak muridnya untuk ke rumah. Dan lagi Shilla hanya cemas jika nanti orang tua Allene mencari. Meski sejujurnya ia tak perlu mencemaskan hal itu. Allene sudah diijinkan oleh ayahnya untuk bermain ke rumah Shilla. Jadi apa yang ia cemaskan lagi? Tidak ada seharusnya.

"Allene! Sini!" teriak Dylan dari dalam rumah. Kaki kecil Allene sontak membawa tubuhnya untuk menghampiri Dylan yang kini tengah duduk di ruang tengah rumah itu. Anak lelaki itu bahkan kini sudah mengganti seragamnya dengan pakaian rumah. Shilla yang menyuruhnya tadi.

"Aku punya lego. Mau main?" kata Dylan. Allene menganggukkan kepalanya. Dan setelahnya keduanya larut dalam permainan mereka. Menyisakan Shilla yang terpekur mengamati kedua anak kecil itu.

Sudut bibir Shilla terangkat membentuk senyuman. Ia senang mengamati interaksi kedua bocah itu. Sepertinya Allene memang kesepian di rumah. Tak aneh sebenarnya. Untuk anak seusianya memang ia membutuhkan kasih sayang yang melimpah dari kedua orang tuanya. Dan mengingat sepertinya sang ayah juga sibuk dengan pekerjaanya menyisakan Allene yang harus diasuh sendiri oleh pengasuhnya.

Berbeda dengan Dylan. Meski kedua anak itu memiliki orang tua tunggal tapi setidaknya Dylan sepertinya tidak pernah kesepian. Setidaknya meski Shilla juga bekerja, tapi Dylan masih terus selalu berada dalam pengawasannya. Ditambah mereka tinggal dalam komplek perumahan yang memudahkan Dylan untuk bisa bersosialisasi dengan baik. Sedangkan Allene yang tinggal di sebuah apartemen tentunya membatasi jatah bersosialisasi bocah itu.

Rasa iba merambat pada hati Shilla. Anak sekecil itu sudah harus merasakan kasih sayang yang timpang dari orang tuanya. Seharusnya anak sekecil itu mendapat kasih sayang yang utuh. Tapi lihatlah kedua bocah yang tengah bermain itu. Keduanya bahkan tidak tahu torehan takdir mereka yang sedikit berbeda dari anak-anak lainnya. Mereka masih bisa tertawa bahagia tapi takdir mereka telah tertoreh seperti itu.

Jika bisa, Shilla rasanya ingin menuliskan takdir yang indah untuk keduanya. Tapi ia juga sama, hanya manusia biasa yang hanya bisa menerima takdir yang tertulis dengan ikhlas. Ia hanya berharap, meski kedua bocah itu memiliki orang tua yang tidak sempurna, tapi semoga kebahagiaan selalu mengiringi langkah mereka.

***

"Maaf ya Miss, Allene ngrepotin ya?" Bibi Ira tersenyum ketika wanita itu memasuki rumah Shilla. Shilla menggelengkan kepalanya.

"Allene anaknya baik kok. Tuh lagi main sama Dylan di dalam. Mari masuk, Bi" Shilla mempersilakan Ira masuk. Wanita itu tersenyum lebar ketika melihat anak yang diasuhnya dan Dylan terlihat begitu akrab.

"Saya pikir ayahnya Allene yang mau jemput" ucap Shilla. Ira menggelengkan kepalanya.

"Tadi Bapak telepon kalau belum selesai rapat jadi minta saya yang jemput non Al."

"Ayahnya Allene memang selalu sibuk, ya?"

Ira tersenyum tipis. "Bapak memang sibuk tapi biasanya selalu pulang cepat untuk jemput non Al. Cuma kadang-kadang memang suka pulang malam. Ya mau nggak mau saya yang temani non Al sampai malam"

The Supporting RoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang