Part 13 - Young and Reckless

178 19 23
                                    

Shilla tersenyum ketika kepalanya ia tolehkan ke belakang. Melihat putranya tertidur sembari kepalanya ia sandarkan pada car seat, sementara di sebelahnya Allene tengah tertidur di pangkuan Bibi Ira. Andrew melirik Shilla sekilas kemudian matanya ia tuju pada spion guna melihat keadaan di jok belakang mobilnya.

"Mereka tampak kelelahan" gumam Andrew dan membuat Shilla kini melarikan tatapannya pada Andrew yang tampak fokus pada kemudinya meskipun sesekali pria itu melirik ke arahnya.

"No wonder. Mereka tidak bisa diam sedari tadi, bukan? Ini bahkan sudah lewat jam tidur Dylan" timpal Shilla. Andrew meringis singkat. Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan mereka masih berusaha menembus kemacetan kota Jakarta guna mengantar Shilla dan Dylan pulang.

"Maaf ya kalau aku membuat Dylan jadi pulang terlalu malam seperti ini. Aku hanya tidak tega melihat kekecewaan Allene kalau harus berpisah cepat dari Dylan."

Shilla tersenyum, "Tidak apa. Toh melihat wajah mereka berdua yang begitu bahagia sudah menebus semuanya. Lagipula besok mereka libur, bukan?"

"Mereka... di sekolah juga tak terpisahkan, huh?" tanya Andrew. Shilla menjawabnya dengan kekehan ringan.

"Seperti yang kau lihat. Meskipun mereka berbeda kelas tapi setiap jam istirahat pasti Dylan dan teman-temannya akan menghampiri Allene."

Andrew mengulas senyumnya. "Terima kasih. Allene has brighter smile these past few days, I guess it is all thanks to Dylan, hm? Aku tahu Allene cenderung pendiam apalagi di tempat baru. Jadi sebelumnya aku kerap khawatir kalau ia tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Tapi sekarang, kurasa aku tidak perlu khawatir untuk itu, kan?"

Shilla menggelengkan kepalanya. "Allene memang pendiam tapi bukan berarti dia tidak bisa didekati. Seperti katamu, dia hanya tidak terlalu mudah bergaul dengan lingkungan yang asing. Dan kau tenang saja, anakmu itu sekarang sudah lebih pandai bergaul kok."

"Thank you. Kalau dipikir kita ini lucu, ya? Sama-sama pernah berpikir bahwa satu sama lain adalah lajang tapi pada kenyataanya kita sama-sama sudah memiliki anak yang menggemaskan seperti mereka" ucap Andrew tiba-tiba. Shilla hanya terkekeh di sebelahnya.

"Ya, aku tidak pernah menyangka kalau kau memiliki anak, terlebih itu Allene. Kau sama sekali tidak mirip putrimu." Timpal Shilla. Andrew mengangguk membenarkan.

"Sudah kubilang kan, dia jiplakan ibunya sekali. Satu-satunya yang kuwariskan kurasa hanya darah dan lesung pipiku. Tapi sungguh dia benar-benar anakku," canda Andrew. Shilla tertawa pelan.

"Aku tidak menuduhmu! Hanya tidak pernah menyangka saja. Untuk pria sepertimu, yang pernah mengecam pendidikan di luar negeri, memiliki orientasi karir yang bagus, kupikir menikah dan memiliki anak di usia muda bukanlah prioritas. But you prove me wrong." Lanjut Shilla. Andrew mengangguk samar.

"Let just say, I was young and reckless. I was so in love with her and I can't bear the thought of living my life without her. Di pikiranku saat itu hanyalah aku ingin selalu hidup bersamanya, tidak peduli dengan anggapan orang lain. Saat itu aku beranggapan ini hidupku jadi aku berhak melakukan apapun yang aku mau dengan hidupku. So I married her once I graduated. Dan Allene lahir satu tahun kemudian. Semua tampak sempurna. We were so in love with each other, I had the job and the wife I love so much. Semua benar-benar tampak sempurna hingga Elle meninggalkan kami selamanya."

Keheningan mendadak tercipta. Suasana juga berubah muram ketika Andrew selesai menceritakan kisahnya. Bisa Shilla lihat gurat luka yang tercetak dari wajah Andrew ketika membicarakan mendiang istrinya. Tapi pria itu berusaha menutupinya. Ia kini tersenyum meski samar, berusaha menunjukkan pada Shilla bahwa ia baik-baik saja.

The Supporting RoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang