Part 10 - Rage

143 21 11
                                    

Warning!

Some words may inappropriate for underage. Be wise!

***

"Kau menghindariku, Drew!" tangan Andrew tertahan ketika ia hendak menekan kode akses untuk membuka apartemennya. Ia menolehkan kepalanya dan mendapati Genandra berdiri sepuluh langkah darinya. Pelan Andrew mendengus.

Andrew berusaha mengabaikan Genandra. Tangannya kembali melanjutkan menekan kode akses dan pintu apartemennya terbuka. Tak ingin menoleh bahkan menyilakan Andra untuk masuk. Ia tidak ingin menerima tamu, terlebih itu Genandra.

"Kita perlu bicara!" tekan Genandra tanpa peduli. Langkah kakinya mengikuti Andrew memasuki apartemen pria itu. Persetan dengan pertengkaran yang mungkin terjadi –dan sepertinya tak terelakkan. Ia hanya butuh menjelaskan semuanya pada Andrew.

"Aku tidak ingin bicara. Dan aku tidak menerima tamu, kenapa kau masuk?" tegas Andrew. Rahangnya mengeras seketika. Ini rumahnya dan demi Tuhan ia tidak ingin ada keributan di rumahnya ini. Ia hanya ingin beristirahat tanpa gangguan dari Andra. Namun melihat apartemen sepi dan gelap ketika ia memasukinya, sepertinya anggota keluarganya yang lain sedang tidak di rumah. Ia bisa sedikit bernapas lega. Karena rasanya kedatangan Andra mustahil tidak menimbulkan pertengkaran diantara keduanya.

"Kita butuh bicara Drew. Kau tidak bisa terus-terusan menghindariku ataupun Thalia. We need to talk!"

"Oh ya? Lalu menurutmu aku harus seperti apa, huh? Tetap menemuimu seolah semuanya tidak terjadi? Begitu? Dan kau bilang apa? Bicara? Apa yang harus dibicarakan? What you did is not something to be talked about. "

"Tapi ini tidak menyelesaikan masalah!"

"Lalu kau mau aku seperti apa, huh?" geram Andrew. Genandra menghela napasnya.

"Ayo kita bicarakan dengan kepala dingin, Drew!" Andrew hanya mendengus menanggapi ucapan Genandra.

"Kepala dingin? Hal seperti apa yang bisa diselesaikan dengan kepala dingin ketika kau mendapati kekasihmu berselingkuh dengan sahabatmu? Itu yang harus kita bicarakan dengan kepala dingin? Woah!"

"Aku minta maaf, okay? Aku tidak pernah berniat untuk melakukan ini padamu, tapi –"

"Dan pada kenyataanya kau tetap melakukannya. Katakan, Dra! Apa yang salah dengan diriku hingga kau melakukan ini? Aku berdosa sebesar apa padamu hingga kau membalasku seperti ini?"

"I'm sorry, Dude! Kau tidak salah, hanya saja aku yang tidak sanggup menahan rasa cintaku untuknya."

"Bullshit!" Andrew menggeram marah. Matanya berkilat menunjukkan emosinya yang kental. Dan Genandra berani bersumpah, sejauh keduanya bersahabat baru kali ini ia melihat mimik emosi itu pada wajah Andrew. Sahabatnya itu memang terkenal pandai menahan emosinya. Tapi kini tidak.

"Kau sebut itu cinta? Terus saja kau salahkan rasa cinta itu, Dra! Kau pikir hanya dengan alasan kalian saling mencintai akan meleburkan kesalahan kalian? Akan melenyapkan rasa sakit yang brengseknya aku alami sekarang? Kau pikir aku ini apa, huh?"

"Aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Aku brengsek, iya. Tapi kumohon dengarkan –"

"You make me like a complete idiot, Andra! Kupikir persahabatan kita bisa menahanmu untuk melakukan penghianatan itu. Nyatanya tidak. Aku pikir seorang sahabat akan melindungi perasaan sahabatnya. Aku tidak tahu aku yang terlalu bodoh karena mempercayaimu atau kau yang terlalu brengsek hingga membodohiku seperti ini. You were saying bro before hoes once in college. That is a complete bullshit!" seru Andrew geram. Laser tajam serasa bersinar dari kedua mata Andrew.

The Supporting RoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang