Part 8 - Pinky Promise

173 21 18
                                    

Kepalanya ia telungkupkan pada kemudi mobilnya. Ia memejamkan matanya berusaha menghalau desakan emosi yang sedari tadi serasa mencekiknya. Membuatnya sesak napas. Belum lagi rasa perih yang sedari tadi menggerogoti hatinya.

Ia mengepalkan tangannya erat. Memegang stir mobilnya seolah hidupnya bergantung pada benda mati itu. Nyatanya itu hanya salah satu caranya untuk menghalau sesak yang kian lama kian menyiksanya.

Masih tercetak jelas dalam ingatannya bagaimana skenario menyesakkan itu terjadi. Membuat Andrew merasa seperti orang bodoh, idiot atau apapun itu semua dengan konotasi negatif yang dapat menggambarkan situasi dirinya saat ini.

Nyatanya memang seperti itu kan dirinya saat ini? Hanya orang bodoh yang tak pernah sadar bahwa kedua orang terkasihnya mengkhianatinya. Hanya orang bodoh namanya jika selama ini masih memegang kepercayaan tinggi pada orang yang menusuknya dari belakang. Dan itulah Andrew. Andrew yang bodoh. Setidaknya itulah yang Andrew simpulkan dan rasakan saat ini.

"Argh!" teriakan itu ia keluarkan dengan harapan bisa membuang sesak hatinya. Nyatanya sesak itu hanya hilang sementara ketika dirinya berteriak kencang dalam mobilnya. Setelahnya sakit dan sesak itu kembali hadir tanpa bisa Andrew halau.

Sekeras apapun ia berteriak, memukul-mukul stir mobilnya, berteriak kembali tak akan meredakan sakit yang menderanya. Ia benar-benar merasa kacau saat ini. Rasanya ia butuh pelampiasan atas semua nestapa yang kini menderanya. Tapi ia bahkan tak tahu apa yang bisa ia lakukan. Metode apa yang paling tepat untuk menghilangkan sesak itu?

Andrew menghela napasnya keras. Ia memilih keluar dari mobilnya. Meraup udara sebanyak-banyaknya. Kembali berharap udara segar di malam itu bisa mengurangi sesaknya.

Tidak. Ia bahkan tidak bisa pulang dalam keadaan menyedihkan seperti ini. Ia tak akan membiarkan keluarganya menyaksikan kehancuran hatinya. Padahal sejujurnya ia butuh tidur. Setidaknya dalam tidurnya ia akan melupakan kejadian menyakitkan itu. Menyedihkan.

Ia melangkahkan kakinya menuju mini market 24 jam tempat di mana mobilnya terparkir. Kaki jenjangnya langsung menuju counter rokok. Ya dirinya butuh batangan sumber penyakit itu. Ia tidak bisa lari pada minuman keras karena memang ia sudah berhenti dari kegiatan buruk masa mudanya itu. Dan kini satu-satunya benda yang mungkin bisa membantu menghilangkan penatnya hanyalah rokok. Setidaknya inilah caranya melepas penat dan stress sejak beberapa tahun terakhir.

Setelah menyerahkan lembaran uang untuk membayar rokoknya, pria itu langsung duduk di depan mini market itu. Kelebihan mini market itu memang dilengkapi dengan meja dan kursi untuk sekedar istirahat atau mengobrol bagi pengunjungnya. Dan saat ini memang itulah yang Andrew perlukan.

Ditemani sebatang rokok di tangannya, pikiran Andrew menerawang. Ia bahkan tak tahu apa rasa dari rokok yang ia hisap sedari tadi. Sepertinya indra pengecapnya mati rasa karena suasana hatinya yang lebih mendominasi. Membutakan kelima indranya.

Dan kini pikiran Andrew bekerja keras untuk menemukan alasan di balik semua tragedi itu. Kenapa Genandra dan Thalia setega itu melakukan semua ini pada dirinya? Apa karena ia tidak cukup baik untuk Thalia? Apa karena ia tidak cukup baik sebagai sahabat Genandra? Apa karena ia melakukan kesalahan fatal hingga ini merupakan cara kedua orang itu untuk membalaskan dendamnya?Tapi sekeras apapun Andrew memaksa otaknya untuk berpikir ia tidak menemukan jawaban itu.

"Bodoh!" gumamnya mengumpat untuk dirinya sendiri. Hingga detik ini ia memang merasa sangat bodoh. Ia bahkan tidak tahu alasan di balik semua peristiwa itu, bukan? Apa namanya kalau bukan bodoh?

"Andrew?" panggilan itu menyentak Andrew dari pikirannya yang berkelana. Ia menarik pandangannya dan mendapati Shilla berdiri ragu di depannya dengan sekantong plastik berwarna putih dari mini market tempatnya kini.

The Supporting RoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang