(Part 7) Hug

208 13 3
                                    

Gue membuka mata pelan-pelan. Buram, lama-lama menjadi jelas. Gue terbaring lemas di kasur kamar dan nyokap gue ada disana, di kursi sebelah gue. Iya, ternyata itu adalah kamar gue sendiri.

"Alhamdulillah, Mela akhirnya kamu sadar juga sayang" ujar Nyokap sambil memeluk gue dengan erat.

Gue membalas pelukan nyokap gue sambil mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi, gue jadi bingung kenapa tiba-tiba gue ada disini. "Ma, gimana caranya Mela bisa ada di kamar?" tanya gue bingung.

Mama melepaskan pelukannya dan melihat ke arah gue dengan serius, "Tadi kamu ditolong sama temen kamu, terus dia nelfon mama suruh dateng buat jemput kamu di sekolah" jawab nyokap. "Mel, lebih hati-hati ya sekarang. Jantung kamu kambuh lagi kata dokter" lanjut mama dengan wajahnya yang sangat cemas.

"Iya ma" jawab gue sambil menundukkan kepala. "Ohiya, siapa yang udah nolongin Mela, ma?" lanjut gue bertanya.

"Nanti juga kamu tau sendiri" ucap mama sambil mengecup kening gue. Lalu dia menyuruh gue untuk istirahat kembali.

***

"Sesak. Sangat sesak rasanya sehingga menyulitkanku untuk bernafas. Berkali-kali kucoba untuk lari dari kenyataan hanya untuk melupakanmu. Namun apa daya, kisah ini seperti roda yang tidak memiliki ujung. Aku selalu kembali lagi kepadamu, tak peduli berapa kali kau menyakitiku."
-AmeliaP-


Hari ini kembali gue harus melangkahkan kaki gue masuk ke dalam sekolah. Gue cuma berharap hari ini gak bakalan ada masalah apapun yang menimpa gue. Gue cape dengan itu semua.

"Dasar cabe! Kita harus kasih dia peringatan!" ujar Wenda sambil menggebrakkan meja saat mendengar apa yang terjadi dengan gue kemarin Jumat.

"Sabar, Wen. Sabar" ucap gue menenangkan.

"Ayo ikut gue semuanya, mumpung lagi istirahat kita cari dia!" Tambah Wenda lagi tanpa menghiraukan larangan gue daritadi.

Padahal gue gak mau cari masalah lagi. Tapi apa daya, ternyata emosi yang meledak-ledak emang ngalahin semuanya.
Kita sampai di kantin dan Wenda langsung cepat menghampiri Sisilia dengan gengnya yang lagi duduk di bangku kantin.

"Woi! Tanggung jawab lo ya! Lo pikir lo bisa ngelakuin seenak jidat lo apa?" Ujar Wenda marah-marah dengan suaranya yang besar sambil mendobrak meja Sisilia.

Dengan tenang, Sisilia dan wajahnya yang sok polos itu berdiri, "Sahabat lo gak jadi nginep di sekolah? Yah sayang banget, padahal kuncinya udah gue buang tuh" jawab Sisilia dengan tampang sok sedih.

"Awas ya lo berani macem-macem lagi sama Mela! Dan inget! Lo harus inget, hargai kita dikit karna kita senior lo" timpal Driana yang melihat kelakuan Sisilia semakin melonjak.

"Jadi..., kalian takut gue ngelakuin hal buruk ke Mela lagi?" ucap Sisilia sambil berjalan mendekati gue, dengan wajah sinis, tangannya yang disilangkan, matanya yang tajam melihat tepat ke arah gue. "Gimana kalau gue ngelakuin ini ke dia?" Lanjut Sisilia sambil melayangkan tangannya ke wajah gue, dia hendak menampar. Namun, ada seseorang yang menahan tangannya dari belakang, membuat tangannya tersebut tidak jadi mendarat tepat di wajah gue.

"Lepasin! Lepasin gak?!" Paksa Sisilia sambil menarik tangannya yang dipegang kuat oleh cowo itu. Dia tidak tau siapa yang menahan tamparannya itu dari belakang.

"Tolong jangan ganggu Mela lagi" ucap cowo itu sambil mendorong Sisilia.

Sisilia terdorong ke belakang sehingga di dapat melihat siapa yang telah menghadang tamparannya itu, "Alfa?!" Ucapnya kaget sambil memegang tangannya yang terasa sakit karna dicengkeram terlalu kuat oleh cowo itu.

"Mela itu pacar gue jadi kalau ada apa-apa sama dia, lo yang bakalan gue cari duluan" ucap Alfa tersenyum sinis sambil mengancam.

Alfa menarik tangan gue menuju lorong. Menjauhi teman-teman gue serta Sisilia dan gengnya yang melongo mendengar ucapannya tadi. Gue pun masih memikirkan perkataannya itu, 'Pacar'? Apa gue gak salah denger kalimat yang baru aja keluar dari mulutnya. Gue segera melepaskan tangan gue dari cengkeraman Alfa yang membawa gue pergi dari kantin.

"Tunggu" ucap gue sambil memberhentikan langkah kaki gue.

Alfa membalikkan badannya dan melihat ke arah gue yang ada di belakangnya, "Kenapa, Mel?" tanya Alfa heran.

"Nggak, lo pasti becanda kan?" tanya gue sedikit gak yakin sambil menggelengkan kepala. "Lo inget apa yang lo lakuin ke gue dua minggu terakhir ini? Lo diemin gue, acuhin gue, lo bilang ke gue buat jauhin gue dan sekarang? Lo ngaku-ngaku jadi pacar gue di depan orang-orang. Lo gila ya? Emang lo siapa bisa seenaknya keluar masuk dalam hidup gue?"

"Mel" respon Alfa dengan pelan sambil mendekatkan dirinya ke gue.

Gue melangkah mundur, menjauhkan jarak antara gue dan Alfa, "Lo jahat Al, lo jahat!" jawab gue sambil menggelengkan kepala tak percaya. "Lo gak tau seberapa berat gue ngelewatin semuanya dengan bully-an dari Sisilia dan lo yang tiba-tiba berubah!"

"Mel biar gue jelasin dulu" jawab Alfa membela dirinya sambil mendekatkan langkahnya ke gue namun, lagi. Gue mengambil langkah lebih jauh lagi darinya.

"Bahkan kemarin saat gue dikunciin di kamar mandi sampai pingsan aja lo gak tau kan? Lo bahkan gak peduli!" jawab gue sambil membayangkan apa yang terjadi di hari jumat itu.

"Kata siapa gue gak tau?! Kata siapa hah?!" ucapnya sambil melangkahkan kakinya agar lebih dekat dengan gue. "Gue tau, Mel. Dan bahkan kalau bukan gue yang gendong lo dari kamar mandi lantai tiga dan nelfon orangtua lo, gue yakin lo bakalan masuk kasus anak ilang" jelas Alfa, lalu dia tiba-tiba memeluk gue dengan erat. "Gue gak akan lagi mau dibegoin sama temen-temennya Sisilia yang bicarain hal buruk tentang lo. Gak lagi!".

Gue terdiam terpaku. Gak tau harus bilang apa lagi. Dari yang awalnya kesal, gue jadi ngerasa sangat-sangat berhutang sama Alfa. Tapi gue baru sadar, betapa hangatnya pelukan yang dia berikan itu.

***

Author's pov

"Ini ya, bu obat-obatnya yang harus diminum oleh putrinya" ucap dokter itu sambil menyobek kertas dari buku resepnya.

"Ah terimakasih, dok pasti akan saya berikan semua obatnya" jawab ibu itu tersenyum mengambil resepnya.

"Ohiya, ada yang harus saya sampaikan. Jangan sampai putrinya stres atau melakukan kegiatan apapun yang membuat jantungnya kambuh lagi ya" suruh dokter itu sambil menaruh kembali buku resepnya ke dalam laci. "Saya khawatir obatnya ini tidak akan lagi mampu mengobati penyakitnya. Jantungnya semakin hari semakin melemah" lanjut dokter itu, wajahnya sangat khawatir mengingat kondisi pasiennya.

Ibu itu memperlihatkan wajah yang lebih khawatir lagi dengan kondisi putrinya. Dia tak tau harus apa, dia tak sanggup sebenarnya mendengar ucapan si dokter. Ditambah, jika dia harus memberi tahu putrinya tentang surat hasil check kondisi jantung putrinya yang baru saja dikeluarkan oleh rumah sakit. Dia akan melakukan apapun demi kesehatan anaknya itu.

DIA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang