Part 18 - Sebuah Janji

2.4K 186 1
                                    

Remangan suara tangis memenuhi area koridor, bujukan mimom berhasil membuat gue keluar dari ruangan ICU. Lampu hijau yang ada diatas pintu kembali bewarna merah, tirai yang awalnya terbuka kembali tertutup.

Kenapa takdir tidak adil sama gue? Bahkan belum sempat gue mengucapkan rasa penyesalan pada orang yang gue sayang. Tidakkah takdir bisa bersabar sebentar? Tolong berilah kesempatan untuk melakukan apa yang seharusnya gue lakukan.

"Gue nyesel ninggalin lo! Tapi sekarang penyesalan gue udah gak berarti buat lo."

Gintar duduk dikursi samping gue sambil menyodorkan air mineral dingin, keadaannya yang tidak beda jauh seperti gue. Mata sembab dan rambut berantakan mendeskripsikan bahwa ia sedang mengalami kehancuran, sama dengan gue dan orang-orang yang menyayangi Acel.

"Gue tau lo hancur Ray, tapi disini gue lebih hancur." ucap Gintar memecah keheningan.

"Maksud lo?"

Gintar mendongak ke atas lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Lo sempet milikin Acel, bahkan sempet bahagiain dia." Gintar menunduk. "Sedangkan gue? Cuma bisa jagain dia dari jauh, berharap gue bisa milikin dia lebih dari sahabat bukan bareng dia layaknya teman."

Gue merangkul Gintar dari samping. "Maafin gue udah egois sama lo."

"Kenapa bisa Acel sesayang ini sama brengsek macem lo!" Gintar mengepalkan tangannya. "Gue nyesel, kenapa dari awal gue gak punya niatan buat ngerebut Acel dari lo." gumam Gintar dengan suara menggebuh-gebuh.

"Gimana cara nebus kesalahan gue Tar?" tanya gue memelas.

"Jauhin Acel! Biarin gue yang jagain dia." jawab Gintar.

"Nggak. Gue gak bisa jauhin dia, gue sayang dia." gue berdiri sambil menatap Gintar tidak percaya.

"Lo udah gak berhak mengusik kehidupannya lagi Ray, lo udah bikin Acel menderita. Ninggalin Acel, Lo jadian sama Khanza, dan sekarang lo nabrak dia! Mau apa lagi lo sekarang?" ucap Gintar sedikit berteriak.

Nicla berjalan ke arah kami. "Kalian bodoh apa gimana sih? Kenapa ribut disaat Acel kaya gini? Tolong jangan childish."

"Oke. Gue bakal jauhin Acel, tapi setelah Acel sadar." gue langsung pergi meninggalkan Gintar dan Nicla.

****

"ACELL!?!"

Gue terbangun dengan nafas memburu, gue melihat sekeliling untuk memastikan gue berada dimana. Ruangan nuansa biru gelap dengan berabotan yang berwarna sama seperti warna tembok, benar ini kamar gue.

"Ternyata mimpi."

Jam dinding menunjukkan pukul 4 pagi, gue bangun dari ranjang lalu mengambil jaket. Gue berjalan cepat menuruni tangga menuju garasi, mengambil motor dan melajukannya ke suatu tempat.

Hanya ada satu tempat dibenak gue, rumah sakit.

Sesampainya ditempat yang kemarin sempat gue tinggalkan karena perdebatan kecil, gue berjalan di koridor menuju ruang ICU.

Terlihat pintu kaca bertuliskan ICU, gue berdiri didepan ruang itu lalu mengatur nafas agar merasa sedikit tenang. Gue membuka pintu dan masuk ke dalam, dengan langkah pasti gue menuju ranjang seseorang yang hingga sekarang menghantui pikiran gue.

Semakin mendekat jantung gue serasa seperti dipukul besi, kepala gue yang berat untuk ditompang. Telapak tangan gue yang berair karena keringat, kaki gue yang sedikit kaku untuk berjalan cepat. Tubuh gue melemas, melihat seseorang yang gue sayangi tertidur dengan perban yang melilit di beberapa tubuhnya.

Gue duduk disamping ranjang, memegang tangan Acel lalu menciumnya. Tersenyum getir dengan setetes air mata yang jatuh.

"Pagi Acel." gue membelai rambutnya pelan. "Masih sakit? Sakit banget kan pastinya? Maafin gue udah bikin lo jadi kaya gini."

"Bangun ya Cel, maafin penyesalan gue yang bisa dibilang sangat terlambat. Meskipun ntar kalo lo bangun, gue bakal ngilang buat jauhin lo. Maafin gue ka-"

"Nak Rayhan?"

Gue menoleh ke arah sumber suara yang berada dipintu masuk. "Eh tante, maaf Rayhan lancang masuk." dengan cepat gue berdiri disamping ranjang.

Mimom berjalan mendekat, lalu memeluk gue sebentar. "Acel udah bangun kok, kamu tenang aja."

Gue membelalakkan mata, lalu menoleh sebentar ke arah Acel. "Acel udah bangun?" gue tersenyum sebentar lalu memudar. "Rayhan bisa minta tolong tan?"

"Duduk, cerita sama tante."

Gue dan mimom bercerita hingga matahari menampakkan wujudnya, ternyata Acel begitu terpuruk setelah gue meninggalkannya. Mengunci diri disiang hari, makan yang jarang namun meminta coklat hangat setiap malam, terdengar suara tangisan tiap malam dari kamar Acel. Namun hebatnya Acel, dia tidak menampakkan kesedihannya pada orang lain.

Setelah gue puas dengan cerita mimom, gue pamit pulang. "Tante, Rayhan pulang dulu ya. Takut Acel bangun."

"Iya hati-hati."

!!PART INI SUDAH DIREVISI!!
VOTE, COMMENT AND STAY READING SAMPE AKHIR.

-Awangle
110117

Secret Love √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang