Setimpal

7.5K 504 15
                                    


Coloring My Life : Chapter 39


         Sava mendorong bahu Raga hingga laki-laki itu terjatuh ketika besi di punggungnya sudah tergeletak sempurna di semen lapangan. Menyisakan tatapan tidak percaya dari orang-orang yang ada di sana atas apa yang Sava lakukan barusan.

Jika orang normal, pastinya menolong Raga, tapi dia malah mendorong orang yang sudah membantunya dari bencana. Sava nampak seperti gadis tidak waras sekarang.

"Nggak usah sok berkorban buat gue, ya!" jerit Sava, menunjuk-nunjuk wajah Raga yang seperti mayat hidup. "Gue nggak bakal kemakan sama tingkah sok pahlawan lo itu!"

Bukan hanya kepala dan punggungnya yang terasa sakit, tapi juga hatinya. Dalam keterpakuannya, Raga menatap Sava. Pancaran mata gadis itu menjelaskan bahwa Sava memang tidaklah peduli pada tindakannya barusan, dan malah membentaknya dengan kata-kata yang tidak pernah Raga duga sebelumnya.

"Uhuk!" Raga terbatuk cukup keras, namun itu tetap tidak menggerakkan kaki Sava untuk membantu.

Masih berdiri di tempatnya bersama tatapan kelam tersebut. Menusuk Raga seolah dia adalah makhluk paling hina sejagat raya.

"Bukan salah gue! Gue 'kan udah bilang buat nggak peduliin gue lagi! Dan sekarang jangan salahin gue!"

Setelah berkata demikian, Sava berlari pergi tanpa sedikit pun peduli pada tatapan aneh yang dilayangkan murid-murid yang masih berada di sekolah. Meninggalkan Raga yang merasa dunianya hancur detik ini juga.

"Ga, ke UKS dulu, yuk?"

Seseorang entah siapa, membantunya berdiri, Raga hanya bisa menurut seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Mungkin, jika dalam keadaan baik-baik saja, Raga pasti sudah mengamuk dan menyalahkan pihak sekolah kenapa tiang bendera rusak masih saja digunakan dan hampir melukai gadisnya.

Tapi, keadaan sekarang membuat Raga sama sekali tidak bisa berbuat apa pun selain diam.

Sava menyakitinya. Luar dalam.

____

"Dek?" Revan harus mengusap kepala Sava dahulu baru gadis itu tersadar dari lamunan panjangnya. Tersenyum lebar--yang kentara pura-puranya--pada Revan.

"Baru pulang, Bang? Chicken pesenan aku mana?" todong Sava seraya mengangkat kedua tangan.

Revan memperhatikan wajah Sava cukup lama, sebelum akhirnya menyubit pipi adiknya gemas. "Ada di meja makan. Yuk, turun. Jangan makan di kasur. Nanti banyak semut."

"Oke."

      Selama menemani Sava makan, Revan maupun Sava sama sekali tidak ada yang bersuara. Sava sibuk dengan ayamnya, dan Revan yang asik memperhatikan setiap detik wajah adiknya yang ekspresi tidak berubah. Keruh, namun pura-pura bahwa semua baik-baik saja.

Jangan salah, Revan hidup dengan Sava bukan setahun dua tahun, jadi dia tau mana ceria sungguhan dan mana ceria bohongan.

Jujur saja, Revan tidak suka melihat Sava yang lebih banyak diam akhir-akhir ini.

"Aku cantik, ya, diliatin terus?" canda Sava, mulai jengah ditatap sang kakak sedemikian rupa. "Kalau mau muji bilang aja, jangan dipendem-pendem. Nggak baik sesuatu yang--"

"Lagi ada masalah apa?"

"Masalah?" Sava meyahut polos. "Masalah aku hanya kelaparan," katanya lalu tertawa lebar.

Revan tidak tertawa meski adiknya itu terkekeh layaknya manusia bodoh. Terus memandang Sava sampai gadis itu benar-benar bungkam dan melanjutkan makannya lagi tanpa berani menatap balik dirinya.

Coloring My Life (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang