Hahaha ... kali ini perutku akan puas. Setelah capek-capek berkelahi, ada baiknya mengisi tenaga dulu. Menempuh koridor dan ruang tata usaha, mengantarkanku tepat ke depan kantin sekolah. Kesan pertama yang kudapati; suasananya sangatlah ramai.
Seiring langkah kakiku yang mendekati warung jajanan, dapat kurasakan puluhan mata melayangkan tatapan menusuk. Tatapan yang sarat akan kebencian berbalut dendam. Seluruh murid di sini memberikan sorot mengancam terbaik mereka. Namun tak perlu dipikirkan. Aku sudah biasa diperlakukan buruk oleh siapa saja.
"Aku ini sampah, bukan?"
Stand mie ayam menjadi pilihanku yang sedari tadi menahan lapar ini. Sayanganya dari sekian banyak dagangan yang tersedia, hanya pedagang mie ayam yang diserbu puluhan orang sampai-sampai antrean panjang pun tercipta. Aku sudah terlanjur menginginkannya. Alhasil, walau antreannya sepanjang naga sekalipun tetap akan kutunggu.
Sejurus dengan sampainya aku di antrean panjang para pelajar, tiba-tiba seseorang sekoyong-konyong datang menyerobot antrean. Parahnya lagi, ia tepat mengambil posisi di depanku.
"Brengsek!" Tanpa basa basi langsung kupukul kepala plontosnya.
Pemuda botak yang kesakitan segera berbalik lalu mengangkat kerah bajuku. Raut kekesalan tertoreh jelas di tampang jeleknya. Senyum tipisku sontak mengundang ambisinya untuk balas menyerang.
Bugh!
Aku jatuh terhempas akibat tinjuan maut. Dasar keparat! Aku bisa saja melawan tetapi tidak bisa sekarang. Berbuat onar terlalu cepat akan membawaku ke luar dari sekolah ini. Sialan!
"Raka Dwi Cahaya, kau memang anak yang tidak tahu sopan santun. Pantas saja banyak orang yang membencimu," ujarnya terkesan mengejek.
"Bangsat! Kau yang tidak tahu tata krama. Menyerobot antrean sesuka hati, memangnya kau siapa? Reputasimu di sekolah ini sama buruknya denganku."
"Ckckck ... kau lupa, ya? Aku ini Anto Bramasta, anak dari pengusaha kaya. Reputasiku sangat baik di sini, tidak sepertimu yang hanya anak kuli bangunan." Ucapan congkaknya sontak menyulut amarahku.
"Awas kau!" Aku langsung berdiri penuh nafsu dan mengayunkan kepalan tanganku sekuat tenaga.
Sialnya, para penjaja dagangan dengan sigap melerai perseteruan kami. Semua murid di kantin menyorakiku. Mereka jelas-jelas mendukung tindak nista Anto si anak orang kaya. Ternyata dugaanku selama ini benar. Uang adalah alat pengendali pikiran. Tidak peduli seandainya kau sudah membunuh puluhan orang sekali pun. Jika ada uang, orang teradil pun menjadi buta hukum.
Bisa kulihat tatapan angkuh Anto di tengah keriuhan kantin. Senyuman licik yang dibuat bibir tebalnya semakin memperpanas hatiku. Tahanlah, Raka! Aku pasti bisa mengendalikan emosi. Kejadian seperti ini takkan membuatku keluar dari sekolah.
Setelah memastikan diriku cukup tenang untuk dibiarkan bebas, para pedagang itu akhirnya melepaskan pegangan mereka. Mereka terus memandangiku—pandangan yang terkesan getir dan menyalahkan. Nafsu makanku telah hilang. Satu-satunya hal yang ingin kulakukan adalah pergi dari tempat terkutuk ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVEN II : THE OTHER [HIATUS]
Fantasy~~RAVEN Series~~ Update Setiap Minggu ^^ Perjanjian lama yang terulang kembali, apakah sanggup mengubah dunia? Seorang anak baru terpilih sebagai manusia selanjutnya yang menginjakkan kaki ke dunia roh. Raka Dwi Cahaya, begundal sekolah yang tidak...