Kuketuk pintu dari triplek yang tertutup rapat, berharap ayah segera membukanya. Untung saja saat ketukan ketiga bergema, seseorang dari dalam segera merespon.
"Raka, kenapa wajamu pucat?" tanya pria berperawakan tegap tepat setelah membuka pintu. Dialah ayahku.
"Tidak apa-apa, Yah. Raka cuma kecapekan lari saja," sahutku coba berkelit.
"Ya sudah. Cepat masuk dan ganti bajumu. ayah sudah siapkan makan siang," ucapnya sembari menepuk pelan punggungku.
Kubawa diriku memasuki rumah kontrakan termurah di sekitar kawasan ini. Dalam sebulan kami hanya dikenakan biaya sewa sebesar lima ratus ribu rupiah dan tentunya terpisah dengan tagihan listrik serta air.
Di ruang tengah terdapan meja bundar yang diletakkan televisi di atasnya. Tidak besar memang, tetapi sudah cukup menghiburku di kala jenuh. Selanjutnya kamarku sekaligus kamar ayah. Bisa kulihat kumpulan buku belajarku yang berserakan di atas kasur merah. Ayah pasti akan mengomel jika tidak segera kubereskan.
"Nanti sajalah," batinku sambil menghela napas panjang.
Setelah meletakkan ransel di atas lemari pakaian, bergegas kuganti pakaianku. Kaos bola dan celana biru pendek menjadi pilihan tepat pada hari ini. Bersama rasa ketakutan yang masih terselubung di hati, kugerakkan kakiku menuju dapur.
Di sana kudapati ayah yang tengah menyantap makan siangnya. Ketika melihatku, pria pekerja keras itu langsung mempersilakan anaknya duduk.
"Makan yang banyak, ya," ujar ayah yang menyendok nasi dari panci.
"Pasti," sahutku tersenyum senang. "Setelah ini ayah mau kerja lagi?" tanyaku kemudian.
"Iya. Batas waktu proyek pembangunannya hampir berakhir tetapi masih banyak tugas yang belum diselesaikan. Jadi akan ada perkerjaan ekstra untuk ayah."
"Oh, begitu. Omong-omong ayah jadi kan membelikan Raka handphone?"
Kulirik ayah sedikit mendehem. Pandangannya tertuju ke bawah dan ia sama sekali belum memberikan jawaban untukku.
Sebenarnya aku juga tidak tega meminta benda mewah kepadanya. Akan tetapi, keadaanlah yang memaksaku. Bila tidak punya handphone maka aku akan kalah saing dengan teman-temanku di zaman maju seperti ini.
Terdengar seperti anak kurang ajar, bukan? Namun itulah kenyataannya. Jika saja aku bisa membelinya sendiri, tentu akan kulakukan. Masalahnya, harga sebuah handphone canggih terbilang amat mahal bagi orang-orang sepertiku. Memalak Aldi pun percuma. Orangtuanya pasti curiga jika anak mereka membawa segepok uang ratusan ke sekolah.
"Hmm ... pasti akan ayah belikan. Hanya saja, waktunya masih belum sampai."
"Ya, tidak apa-apa. Raka akan selalu menunggu ... dengan sabar," jawabku lalu menyuap nasi ke mulut.
~~o0o~~
Aku mencium tangan ayahku sebelum ia pergi ke konstruksi bangunan yang terletak cukup jauh dari sini. Ketika ayah mulai menjauh, segera kututup pintu agar orang-orang aneh tak datang mengganggu.
Ini hari yang melelahkan. Badanku sampai pegal-pegal karena kejadian tadi. Coba bayangkan sendiri! Dalam sehari aku sudah diserang oleh tiga orang berbeda yang agaknya kerasukan roh halus.
"Tunggu! Mengapa mereka hanya mengincarku?"
Maksudku, bukankah saat bocah di taman mengamuk terdapat banyak orang? Tapi mengapa ia justu cuma mengejarku? Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Aku langsung mengusap-usap leherku saking takutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVEN II : THE OTHER [HIATUS]
Fantasy~~RAVEN Series~~ Update Setiap Minggu ^^ Perjanjian lama yang terulang kembali, apakah sanggup mengubah dunia? Seorang anak baru terpilih sebagai manusia selanjutnya yang menginjakkan kaki ke dunia roh. Raka Dwi Cahaya, begundal sekolah yang tidak...