RAHASIA RISA

189 15 3
                                    

Setibanya di kelas kudapati suasana benar-benar riuh. Seluruh temanku, mereka asyik dengan aktivitasnya masing-masing. Bernyanyi sambil memukul-mukul meja, menggosip, tidur di lantai, bahkan ada yang asyik menyantap makanan ringan. Detik itu juga aku langsung tahu bahwa guru kami tidak masuk dan membiarkan jam pelajarannya kosong.

Kulihat Rendi dan Fajar yang tengah membentak Aldi. Bocah itu menunduk ketakutan saat mulut kedua temanku mengomelinya habis-habisan. Kedua kakiku segera menghampiri ketiga orang tersebut.

"Apa yang kalian ributkan?" tanyaku mengejutkan Rendi dan Fajar.

"Eh, Bos! Sudah sehat rupanya."

"Biasa, Bos. Kami lagi mau mengambil uang di ATM, hehehe ...." Fajar menambahi.

Ternyata sedang memalak Aldi, ya? Kalau dipikir-pikir melakukan perbuatan ini terlalu sering membuatku sedikit bosan. Apalagi aku ini kan telah terlalu banyak ikut campur dalam urusan kebaikan, seperti berusaha membunuh iblis di dalam diriku dan melawan orang misterius bernama Shinigami. Ya, Samael pernah bilang padaku jika ingin hidupku berubah, aku harus mengubah sikapku terlebih dulu.

"Hey, Bocah." Suaraku membuat Aldi sedikit mendongak meski tubuhnya gemetar. "Berhubung hari ini suasana hatiku sedang baik, maka kami tidak jadi memalakmu."

"Hah! B-benarkah itu, Raka? Kau serius?" Aldi tampak amat antusias.

"Tentu. Kau akan kubebaskan dan semoga saja kau tidak besar kepala, ya?"

"Pasti. T-terima kasih, Raka! Kau memang orang yang baik."

Rendi dan Fajar yang merasa target empuknya lepas begitu saja tentu melancarkan aksi protes. Mereka mengomel kecil sambil sesekali membisikiku agar tidak membebaskan Aldi. Akan tetapi jika aku tidak berubah, hidupku juga takkan berubah. Hubungan timbal balik yang sempurna apabila aku menyadarinya dari dulu—sebelum aku mulai menghujat nasibku.

"Kau ini bagaimana, Bos? Kalau bukan pakai uang Aldi, kita mau jajan pakai apa?" Fajar memprotesku setelah kami duduk santai di bangku depan kelas.

"Betul, Bos! Uang ayah Aldi juga tidak akan berkurang kalau kita memalaknya tiap hari," tambah Rendi sama jengkelnya.

"Kalian berdua ini sudah diberi jajan dari rumah, kan?" tanyaku membuat mereka bungkam.

"Iya, sih. T-tapi uang sepuluh ribu cuma bisa satu kali makan. Perutku kan yang paling besar di antara kita bertiga," ujar Fajar.

"Haduh, dasar gendut. Kau beruntung masih punya sepuluh ribu. Aku saja cuma diberi dua lembar uang seribuan untuk makan di kantin," tukasku sedikit mengejek.

"Lalu kenapa kau justru tidak ingin memalak Aldi lagi, Bos? Apa kau takut karena kemarin Aldi berani memukulimu?" Rendi penasaran.

"Entahlah. Sesuatu di dalam hatiku meminta agar aku bisa sedikit mengubah sikapku. Lagipula dikenal sebagai preman sekolah itu menjengkelkan, bukan?"

"Ya sudahlah. Mungkin sesekali berbuat baik tak masalah." Akhirnya Rendi mau mengalah.

"Tetapi lain kali kita coba memalak yang lain. Pasti menyenangkan, hahaha ...," timpal Fajar.

"Dasar kalian ini," sahutku tersenyum tipis.

Membahas mengenai berbagai hal di tengah sejuknya semilir angin membuat detik demi detik tak terasa berlalu. Omongan kami yang diwarnai tawa canda mampu membuatku lupa waktu dan akhirnya mendengar bunyi terfavorit sepanjang masa.

"Hore!!! Waktunya istirahat!" teriak teman sekelasku gembira lalu berbondong-bondong meninggalkan kelas.

Rendi dan Fajar yang ingin menyantap sesuatu di kantin sempat ingin mentraktirku. Namun aku sudah punya janji dengan seseorang. Dia gadis yang lebih penting dari sekadar makanan di atas piring. Alhasil, kami pun berpisah. Mereka berlari kegirangan melewati koridor sementara aku mengambil arah berlawanan—tepatnya menuju kumpulan kursi taman di dekat lapangan basket.

RAVEN II : THE OTHER [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang