"Siapa itu Nur Arihyon?"
"Astaga, bukan Nur Arihyon tetapi Nu-ra-rih-yon," protes Samael.
"Ya, ya, maksudku itu."
"Dialah ancaman terbesar seluruh dunia. Tatapannya setajam ujung pedang, kecepatannya bagaikan deruan angin, bahkan tawa jahatnya terdengar layaknya tiupan sangkakala," jelas tuan Abura.
"S-seram sekali."
"Sebenarnya ada cara agar lingkaran reinkarnasi Nurarihyon dapat terputus. Caranya adalah ... membawa orang yang diduga sebagai Nurarihyon berikutnya ke dunia roh dan membiarkannya memilih untuk menjadi pemimpin iblis atau menghancurkan tiga sumber api iblis guna mematikan cikal bakal reinkarnasinya."
Aku tahu itu terdengar cukup mustahil untuk dilakukan. Identitas Nurarihyon saja masih rancu di pikiranku. Mereka mungkin memanggilku ke sini karena itu. Mereka membutuhkan bantuanku untuk membawa orang yang diduga sebagai penerus Nurarihyon pergi menghancurkan ketiga sumber api iblis.
Tapi ... meskipun aku ini kuat, bukan berarti diriku sanggup melakukan hal sesulit itu. Tidak! Aku tidak mau menjadi Raka yang bernasib sial lagi. Aku ingin berarti bagi seseorang! Aku ingin dikenang sebagai pahlawan.
"Jadi, siapa orang yang menjadi penerus Nurarihyon?" tanyaku super penasaran.
"Kau!" sahut mereka bersamaan.
Seketika itu juga aku terhenyak. Mataku terbelalak diiringi rasa ketakutan yang perlahan memakan nyaliku.
"Tidak mungkin! K-kalian pasti bohong, kan?"
"Itulah kenyataannya. Tujuanmu berada di sini tidak lain untuk memilih, apakah kau mau menjadi Nurarihyon baru atau bersedia menghancurkan ketiga sumber api iblis?"
"Ini mustahil, Samael! Aku tidak mau jadi pemimpin iblis! T-tapi apakah aku sanggup menghancurkan sumber api yang kalian bicarakan itu? Aku ini bahkan cuma manusia biasa dari kota kecil," protesku dengan mata berkaca-kaca.
"Begitu pun aku. Aku juga manusia biasa yang berasal dari kota kecil. Namun nyatanya aku berhasil mengalahkan Nurarihyon sebelumnya. Tenang saja, kami pasti akan membantumu."
"Keh! Mengapa nasibku semakin sial begini?! Dasar takdir sialan! Kurasa mati lebih baik."
Tiba-tiba Samael memegang pundakku. Aku yang heran sontak menatapnya yang sepertinya ingin mengutarakan sesuatu. Kedua mata birunya itu, seakan memberitahuku bahwa harapan masih ada. Tatapannya mengisyaratkan padaku jika nasib sial bukanlah hambatan yang berarti.
"Pernahkah kau ditindas oleh teman-temanmu?" ucapnya.
"Tidak, aku takkan mau bertekuk lutut di hadapan teman sebayaku. Asal kau tahu saja, akulah yang sering menindas mereka dan meminta uang saku untuk memenuhi kekuranganku."
"Baguslah. Itu berarti nasibmu tidak sesial diriku. Dengarkan aku, Raka! Tuhan telah menyediakan rentetan peristiwa yang akan dijalani manusia semasa hidupnya, itulah namanya lintasan Tuhan. Aku yakin lintasan hidupmu tidak akan berakhir dalam kegagalan, asal kau mau berjuang demi merubah takdirmu."
Dari kecil aku ini memang anak yang bengal. Suka menindas orang, berbuat onar, selalu dan selalu saja menyusahkan kedua orangtuaku. Kurasa nasihat dan omelan yang mereka berikan setiap saat takkan mempan di telingaku yang bebal ini.
Aku ini sangatlah merepotkan, sampai-sampai ibuku sakit keras karena memikirkan masa depanku. Ia yang berusaha sebisa mungkin menjadikanku seseorang yang pantas disebut manusia, pada akhirnya harus meregang nyawa tepat lima tahun lalu. Usaha kerasnya tidak membuahkan hasil. Aku ini ... tetaplah tidak bisa diharapkan. Bisakah kusalahkan nasib karena itu? Selama ini itulah yang kulakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVEN II : THE OTHER [HIATUS]
Fantasía~~RAVEN Series~~ Update Setiap Minggu ^^ Perjanjian lama yang terulang kembali, apakah sanggup mengubah dunia? Seorang anak baru terpilih sebagai manusia selanjutnya yang menginjakkan kaki ke dunia roh. Raka Dwi Cahaya, begundal sekolah yang tidak...