1. Hujan dan Sisa-Sisa Kehidupan

379 27 14
                                    

Hujan tidak benar-benar jatuh saat Yudhis menunggu bus di halte. Hanya gerimis yang satu-satu. Gerimis yang membuat enggan keluyuran. Gerimis yang bikin kepala kliyengan. Gerimis yang tidak bernafsu. Kalau bukan gara-gara teman kantornya, saat ini Yudhis sudah pasti bergelung selimut sambil menonton serial TV di kontrakan saudaranya di Bekasi.

Berkali-kali ia mengambil-masukkan HP di saku kanannya. Demi melihat jam tangan yang tak jauh menunjukkan pukul 1 dini hari, Yudhis menggerutu. Giginya gemerutuk, menahan dinginnya udara Jakarta pagi-pagi buta. Belum soal kantuk setelah hampir seminggu bergelut dengan laporan bulanan klien di advertising agency tempatnya bekerja. Awal tahun selalu terasa hectic dengan semua penundaan pekerjaan sisa Natal dan Tahun Baru.

"Tuhaaaan, aku cuma mau pulang dan tidur secepatnya!" gerutu Yudhis terduduk di bangku halte dari besi yang kini mulai membuat pantatnya kedinginan.

Beberapa saat lalu, Pak Wakra yang merupakan senior di Punta Digital Advertising tempatnya bekerja menyuruhnya menyelesaikan semua laporan pada hari itu juga. Dia memintanya pada jam 5 sore, padahal setidaknya masih empat laporan yang belum dikerjakan. Tentu saja Yudhis mutung, namun ia tahan sebaik-baiknya agak tak sampai terdengar di telinga bos. Dia selalu taat, itu sebab hanya dalam dua tahun ia sudah menjadi senior digital researcher dengan gaji setara Pak Wakra yang jauh lebih senior.

Maka dengan berat hati Yudhis merelakan malam Sabtunya demi menyelesaikan semua laporan.

Yudhis melempar-lemparkan HP-nya yang kini sudah mati kehabisan baterai sejak beberapa jam yang lalu ke udara. Tidak cukup tinggi untuk membuat khawatir apabila terjatuh ke tanah. Dia yang mulai kebosanan menunggu bus kini memandangi jalanan dari ujung hingga ke ujung. Sepi sekali. Menoleh ke kanan, hanya sepi. Menoleh ke kiri, lagi-lagi sepi. Hanya saja, saat menoleh ke kiri rupanya ada seorang gadis belasan tahun yang duduk di sebelahnya tanpa ia sadari.

Gadis itu memiliki rambut panjang dan hitam yang sudah pasti endorse-able untuk produk sampo. Bentuk tangan yang skinny dan figur yang terlalu ramping tidak memungkinkannya untuk membintangi iklan susu remaja, tapi setidaknya masih bisa dimasukkan untuk produk kecantikan kulit atau sebagainya. Gaun putihnya one piece tanpa aksen apapun. Dilihat dari manapun, dia seperti desain karakter komik yang dibuat ringkas karena komikusnya terlalu malas menggambar ruwet. Biar begitu, giok hijau di pergelangan tangannya terlihat begitu antik.

"Nunggu bus juga, Kak?" ucap gadis itu sembari memalingkan wajahnya ke arah Yudhis. Wajahnya yang putih berpendar terkena cahaya purnama tak elak membuat Yudhis nyaris ingin melamar untuk dinikahi.

"Iya... Dek," dijawab Yudhis sedikit tersipu karena dipanggil "kak" di usianya yang nyaris 24.

"Memangnya mau ke mana, kak?"

"Mau... ke Bekasi."

"Mau ketemu keluarga di rumah ya, kak?"

"Bukan... bukan..." secara refleks Yudhis mengibaskan tangan kanannya. "... ke tempat saudara saja."

"Oh...." lalu gadis itu terdiam seakan memberi waktu pada Yudhis untuk memperhatikannya. Dia kembali mempermainkan HP-nya. Meski dari jarak pandang Yudhis, dia bisa tahu kalau gadis itu hanya membuka HP tanpa benar-benar berniat untuk melakukannya.

"Lagian... masih single kok." Yudhis melirik ke arah gadis itu duduk, namun tidak ada jawaban. Dia kemudian bertanya, "Kalau kamu mau kemana, Dek?"

Lagi-lagi gadis itu tak menjawab. Justru bangkit dari kursi halte, membersihkan debu dari pantatnya, lalu bergerak menuju tempat Yudhis untuk duduk hanya sejengkal jauhnya. Yudhis dapat mencium wangi tubuh gadis itu yang menyeruak begitu ia duduk di sampingnya. Bau bermacam-macam wewangian serupa kembang tujuh warna.

Neraka Yudhistira [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang