15. Memutih Legam

58 5 0
                                    

"Kesepakatan apa?" tanya Yudhis penasaran.

"Kesepakatan apa, ya? Kuberi tahu enggak, ya?" jawab Meriyati dengan memberikan nada menggoda dalam caranya berbicara.

Yudhis sudah muak. Dia memasang tampang cemberut yang dengan jelas menampakkan rasa ketidaksukaannya pada Meriyati. Meriyati lalu mendekati Yudhis yang masih terikat di kursi tanpa perasaan bersalah secuilpun. Duduk di paha sebelah kiri sambil melendehkan kepalanya di bahu kiri Yudhis.

"Meriyati..."

"Iya?"

"Berat."

Meriyati lalu menginjak salah satu kaki Yudhis yang sudah kesemutan karena terlalu lama diikat ketat. Yudhis hampir melonjak karena kesakitan namun usahanya sia-sia. Itu karena seluruh tubuhnya diikat ketat ke kursi. Kedua betis diikatkan ke kaki kursi; perut, dada, dan leher diikat ke sandaran kursi; sementara kedua tangannya diikatkan menjadi satu di belakang. Tali yang digunakan dibuat dari tali yang sering digunakan untuk mengikat kuda. Bahan yang keras dan ikatan yang terlalu ketat membuat tubuh Yudhis penuh ruam.

Seakan tak peduli dengan kondisi Yudhis yang kepayahan, Meriyati justru menggodanya dengan nakal. Masih dalam posisi duduk di paha, tangan Meriyati lalu digunakan untuk menggapai telinga Yudhis di sisi yang berlawanan. Dia lalu meremas cuping telinganya, pada bagian tak bertulang yang bergelantungan di bawah. Dengan jempol dan telunjuk, Meriyati menelusuri kontur telinga Yudhis perlahan. Paha yang tertekan berat badan Meriyati dan stimulus-stimulus aneh di telinganya membuat Yudhis merasakan sensasi-sensasi menyenangkan bak berada di Surga.

"Yudhistira... kamu ini suka Jesvari, kan?" ucap Meriyati tiba-tiba tanpa melepaskan tangannya dari telinga.

Kenapa tiba-tiba dia berbicara begitu?

"Terus kamu juga suka Odel dari Pelabuhan Akar. Padahal sudah punya istri Seruni dari bangsa setan. Meski punya tampang baby face, ternyata kamu playboy juga ya."

"A-aku bukan playboy." jawab Yudhis gusar karena sentuhan-sentuhan di telinga.

"Berarti kamu tidak suka mereka?"

Kali ini Yudhis terdiam, tak bisa menjawab pertanyaan.

"Yudhistira... cinta bagimu seperti apa sih?"

"Aku tak paham soal itu, Meriyati." jawab Yudhis singkat. Matanya menerawang sembari melanjutkan perkataannya. "Aku tak begitu paham soal cinta. Maksudku, bagaimana kita bisa tahu kalau kita mencintai seseorang? Dan bagaimana pula kita bisa tahu kalau cinta yang dimaksud bukan sekadar perasaan suka saja? Cinta sangat membingungkan, Meriyati."

"Yudhistira, kamu kayak perempuan saja."

"Begitukah?"

Meriyati tak menjawab. Dia malah mengganti posisinya menjadi tiduran menyamping. Setiap gerakan yang Meriyati buat saat berada di atas tubuhnya membuat Yudhis merasakan kegelian yang aneh. Meriyati lalu duduk di pangkuan Yudhis, dengan kedua kaki yang menyelinap di antara selangkangan. Tubuhnya disenderkan menyamping di setengah bagian badan. Lalu kepalanya dilendehkan pada bagian di antara rahang dan bahu kiri. Meriyati benar-benar tak lagi menganggap Yudhis sebagai manusia, hanya dianggap sebagai kursi malas tempat berleha-leha.

"Yudhistira, cinta itu datang karena suatu alasan."

"Maksudnya?"

"Orang menicintai orang lain karena suatu hal. Bisa karena orang tersebut kaya, cantik, baik hati, atau sebagainya. Tapi menurutku itu semua hanya cinta yang palsu. Saat kamu mencintai seseorang karena suatu alasan, sebenarnya kamu mencintai alasan dan bukan orang tersebut."

"Kalau itu sih sudah tak perlu dikatakan lagi."

"Tidak, izinkan aku mengatakannya. Habis... ini lumayan seru lho, Yudhistira." sangkal Meriyati tanpa jeda. Wajahnya dihadapkan ke atas, bersitatap dengan Yudhis, sembari matanya mengerling nakal. Dia lalu melanjutkan perkataannya. "Kalau begitu kita mulai dari Seruni."

Neraka Yudhistira [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang