43. Tangan Kanan Yudhistira

53 2 0
                                    

Yudhis terbangun dari mimpi manisnya. Begitu mata dikerjapkan, terpampang pemandangan manis yang menggulakan mata. Dia terbangun di bawah pohon sakura yang kembangnya luruh kena singgung semilir angin menyuling, di atas tanah yang cokelat lembab. Sorot matahari yang lembut berwarna merah jambu menyelisik dari balik bunga sakura tak menyilaukan mata. Pun gumpalan awan yang mengarak di mega lebih terlihat seperti arum manis saat festival. Manis yang memuakkan.

Tak terasa, liur terbit dari mulutnya. Itu bukan liur yang muncul saat melihat awan sepermen kapas. Melainkan liur nafsu akan kerinduan saat-saat sebelum ia tidur. Yudhis lalu duduk berjongkok sambil menelungkupkan tangan menutupi kepala. Dia membayangkan sepotong demi sepotong adegan ketika Priya menggelitiki tubuhnya. Direka ulang dalam pikiran dan disimpan dalam memori yang menumpuk momen Sabtu bergerimis terindahnya.

Saat itu Priya adalah segalanya bagi Yudhis.

Puas dengan gesekan paha yang terhimpit, Yudhis lalu bangkit dari posisi berjongkok. Pelan sekali saat Yudhis menggerakkan tubuhnya yang merintih. Dia lalhu berjalan dengan paha yang dihimpit sambil menahan rintih. Ada senyum aneh yang tersungging setiap kali Yudhis menggerakkan otot-ototnya. Otot yang ia pakai untuk berjalan mengelilingi kompleks Neraka Honje.

Entah karena mabuk atau apa, pemandangan di Neraka Honje terlihat kontras dengan Neraka-Neraka lainnya. Sejauh mata memandang hanya ada warna-warna pastel yang terhampar. Tanahnya sewarna coklat; rerumputannya berwarna merah, kuning, atau jingga; kanal-kanal mengalirkan air bening dengan batu kali warna-warni di dasarnya; sementara bebatuan berwarna pucat disusun menjadi setapak dan jembatan. Semua itu terlalu indah untuk sebuah Neraka.

Lalu Yudhis menyeret kakinya yang bergetar terintih menapaki bebatuan yang digunakan sebagai jalan di taman-taman Neraka Honje. Saat berjalan di taman-taman berumput merah, terlihat beberapa pendosa lain yang juga duduk bersedeku. Dalam kondisi umum, orang akan mengira mereka sedang depresi yang berlarut-larut. Namun di Neraka Honje mereka tak ubahnya pendosa yang sedang menikmati fantasi-fantasi terkungkung.

Pada sebuah stand booth di bawah pohon akasia, seseorang memanggilnya. "Mister! Mister! Silakan dipilih, Mister!"

Ralat. Panggilan tersebut bukan berasal dari seseorang, melainkan dari setan yang menjelma menjadi kera. Tingginya tak lebih dari 1 meter. Namun posturnya yang merunduk membuat terlihat lebih pendek dari kelihatannya. Terkena penasaran, akhirnya Yudhis menyeret kakinya ke stand booth tersebut.

"Selamat datang! Sialakah dipilih. Semuanya ada, Mister!" ucap si kera. Kera penjaga stand booth tersebut tidak seperti kebanyakan kera yang kumal digerumuti kutu. Setan berwujud kera itu memiliki bulu warna abu-abu yang terlihat lembut, telapak tangan dan kaki berwarna merah muda, juga wajah berwarna senada dengan mata hitam yang bulat dan besar.

"Ini apa?" tanya Yudhis sambil mengambil kantong kertas yang terasa ringan.

"Oh... itu barang paling laris di Taman Honje, Mister." jawab setan kera mengganti Neraka menjadi Taman. "Itu adalah kantong berisi udara yang pernah berada satu ruangan dengan Ratu Priya Megana."

"M-maksudmu ini udara yang pernah berada satu ruangan dengan Priya?"

"Betul sekali, Mister! Selain kantung-kantung udara itu, kami juga punya barang lain yang tak kalah menarik." goda setan kera bergincu. "Ada 2 cm rambut asli milik Priya, kuku jari kelingking kaki, pendulum berisikan tanah yang pernah Priya injak, dan yang paling istimewa tentu saja tisu bekas Priya pakai untuk mengelap bibir setelah makan."

"I-i-ini bisa kumiliki semua?" tanya Yudhis gugup.

"Tentu saja, Mster!" jawab setan kera tanpa ragu.

"Tapi aku tak punya uang barang sepeserpun!" keluh Yudhis sambil menepuk kedua pinggul.

Neraka Yudhistira [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang