tiga -- perubahan

24 20 2
                                    

Sudah dua hari Zee merasakan perubahan sikap dari Bram. Kali ini cowok itu bertingkah aneh. Biasanya dia langsung memainkan gitar, menyanyikan lagu, lalu mengajak Zee bernyanyi bersama. Namun saat ini, yang dilakukannya hanya diam.

Melihat sahabatnya yang melamun seperti ini Zee jadi tidak tega untuk mendiamkannya, beberapa kali Zee menyenggol lengan Bram pelan. Yang disenggol pun sama sekali tak bereaksi.

Angin malam yang dingin menyapu helaian rambut Bram dan Zee. Malam yang canggung dan sunyi, yang tidak seperti biasanya. Hanya suara derit ayunan dan jangkrik yang memecah keheningan diantara mereka.

Sejak tadi Bram hanya merenung sambil memeluk gitar kesayangannya. Gitar yang seharusnya ia petik bersamaan dengan sebuah lagu yang ia nyanyikan untuk Zee. Namun yang ingin dinyanyikan malah sibuk sendiri dengan ponselnya, mencoba menghibur diri.

Blub!

Zee tersenyum ketika sebuah notifikasi masuk ke ponselnya, dengan segera ia menekan tombol-tombol, berusaha mengetik sesuatu. Ia terlalu fokus pada seseorang disana sampai-sampai dia lupa bahwa ada Bram yang menunggunya, disampingnya.

Bram tau ini menyakitkan. Ketika sebuah persahabatan murni mulai ternodai dengan adanya benih-benih cinta yang tumbuh. Entah salah satu dari mereka, atau keduanya.

Harusnya ia tidak cemburu. Harusnya ia merasa senang. Harusnya perasaan ini tidak muncul. Karena sahabatnya mulai jatuh cinta, pada selain dirinya.

Salah siapa sekarang?

Bram kesal pada dirinya sendiri. Matanya menutup sekejap pada posisi tubuh yang sama.

Detak jantung yang menggebu-gebu dan aliran darah yang mengalir deras. Ia tidak tahan lagi. Bram bangkit dari ayunan tempatnya duduk dan berjalan gontai menuju rumahnya.

"Bram!" Panggil Zee. Langkah Bram terhenti, tubuhnya berbalik. Zee sudah berdiri sambil menatapnya penuh arti. "Lo kenapa sih?"

Bram masih diam. Wajahnya datar, sedatar-datarnya. "Harusnya lo yang kenapa!" Kini suaranya mulai naik satu oktaf.

"Gue yang kenapa?" Zee mendengus kesal. "Maksud lo apa sih, Bram? Gue nggak ngerti."

"Lo yang bikin semua kayak gini dan lo masih nggak ngerti apa maksud gue?" Bram mengalihkan pandangan sekilas, tidak kuat menatap Zee yang berdiri di depannya. "Lo udah berubah, Zee, lo bukan Zee yang gue kenal!"

Zee masih menatap Bram tak percaya. Apa maksud dari semua perkataannya dan kenapa semuanya bertele-tele. Zee yakin Bram tidak punya masalah dalam keluarga, begitu juga dengan pelajaran di sekolah karena mereka sekelas.

"Jelasin apa yang berubah dari gue?" Sahut Zee tak mau kalah. Bram sudah memancing emosinya.

"Lo selalu sibuk sama HP lo, sedangkan gue ada di sebelah lo." Balas Bram, matanya berkaca-kaca. Semua orang tau dia cowok yang kuat, tapi jangan ditanya kalau masalah hati.

Kaget mendengar jawaban Bram, Zee tersenyum acuh. "Lo nyadar nggak, Bram, dari tadi gue udah berusaha manggil lo, ngajak ngobrol lo. Tapi lo, lo malah diem, ngehirauin gue." Jelasnya panjang lebar. Cewek itu maju selangkah ke depan, berusaha agar lebih dekat dengan Bram.

"Lo cemburu gue deket sama Vero, Bram?" Ucapnya pelan. Sedangkan yang ditanya malah diam membeku.

Dada Bram sakit, dia tidak berani untuk mengatakan ini. Iya, Bram memang pengecut. Untuk menghindari detak jantung yang semakin lama semakin cepat, Bram berlari meninggalkan Zee sendiri.

Menghindari perasaan yang aneh. Menghindari perasaan... yang mungkin Zee akan menjauhinya.

***

"Lo nggak apa-apa kan Zee?" Tanya Lea, teman sebangku Zee.

Dia tau kalau temannya yang satu ini punya masalah. Sejak pelajaran pertama dimulai, Zee hanya diam memerhatikan penjelasan guru sambil sesekali mencatatnya. Bahkan lingkaran hitam dimatanya yang muncul menandakan kalau Zee kurang tidur semalam. Entah kenapa, perdebatannya dengan Bram membawa pengaruh yang cukup besar baginya.

"Lo bisa cerita ke gue kalau lo mau." Lea menyahut lagi.

Zee mendongakkan kepala, menatap Lea lalu Bram. Cowok yang duduk di belakangnya itu sedang membaca buku sambil mendengarkan musik lewat earphone, seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka.

"Tentang Bram ya, Zee?" Lea berbisik pelan. Zee mengangguk, dia mengajak Lea menuju toilet. Itu tempat yang aman saat ini untuk mengungkapkan seluruh isi uneg-unegnya.

"Gue nggak ngerti kenapa Bram berubah." Tangannya dibasahi lalu mulai mencuci muka, Zee menatap bayangannya yang terpantul di toilet cewek. Zee mulai bercerita tentang kejadian yang saat ini mengganggunya.

Cewek itu menghela napas, Lea yang berdiri disampingnya terus memperhatikan maksud dari apa yang Zee bicarakan.

Bola mata Lea berputar. "Kayaknya Bram suka sama lo deh, mungkin dia cemburu liat lo deket sama Vero." Sahutnya.

"Nggak mungkin. Gue emang ngerasa suka sama Vero, tapi apa berhak Bram cemburu ke gue? Kita sahabatan dan lo tau itu kan."

"Perasaan orang mana ada yang tau sih, Zee. Bisa aja diem-diem dia nyimpen perasaan ke lo."

Zee tetap percaya kalau Bram nggak mungkin punya perasaan padanya.

Bahkan Bram tau kalau Zee banyak kekurangan. Suka kentut sembarangan tapi nggak bau, jarang mandi dan ganti kaos kaki, nggak bisa masak, dan takut gelap. Zee menduga kalau Bram pasti ilfeel dengan dirinya.

Zee tau kalau level cewek Bram itu tinggi, seperti Nadya mantannya. Pokoknya sempurna deh jauh dari Zee.

Perasaan ini memang aneh dan menyulitkan.

***

TBC!

Jujur ini bab yang susah buat ditulis. Maaf kalo ada kalimat yang bikin bingung. Jangan lupa vote sama komen yaa kritik saran juga kalo ada yang kurang. Makasihhh sebelumnya😉💘

Mua AlohaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang