sebelas -- sabtu kelabu

38 5 5
                                    

"A-aku, aku percaya, kok,"

Vero membuang napas pelan. "Sekarang liat mata aku, apa yang kamu liat?" Vero memandang Zee, namun cewek itu tidak mampu berkata-kata. "Di mata aku ada kamu, Zee,"

"Sejak awal aku liat kamu selalu bareng Bram, aku ngerasa cemburu. Padahal nggak ada hak waktu itu buat cemburu sama kamu, tapi setelah aku liat kamu nyemangatin Bram di lapangan, aku mulai yakin sama kamu." Vero menarik napas. "Aku mulai yakin kalau kita selalu dipertemukan, dan aku mulai mengenal kamu dari situ." Lanjutnya.

"Kamu mau jadi pacar aku, Zee?" Tanya Vero. Dia memegang erat-erat kedua tangan Zee, berusaha meyakinkannya.

"Aku..."

Zee menggantung kalimatnya. Ini bukan soal menjawab ya atau tidak, tapi ini soal hidup dan mati. Ada banyak perkara kalau dia salah memilih.

Ya. Yang pertama tentu ia bisa bangga punya pacar seorang kapten basket tampan yang diidamkan gadis-gadis di sekolahnya. Kedua, ia akan kehilangan Bram, sahabat yang paling bisa dipercaya satu-satunya. Karena kalau Bram sampai tau berita ini secara perlahan dia pasti akan menjauhi Zee, berusaha untuk tidak ikut campur lagi. Ketiga, Tya pasti akan semakin membencinya. Dan Tya pasti juga sudah merancang strategi-strategi untuk menghancurkan hubungan mereka.

Tidak. Pertama, Zee akan kehilangan kesempatan untuk bisa memiliki Vero--cowok idaman setiap cewek di sekolah. Kedua, Vero pasti akan mulai menjauhinya karena sempat menolaknya bahkan dengan ide pernyataan cinta yang spesial ini. Ketiga, teman sebangkunya pasti akan mengomelinya karena telah menolak Vero.

Pikiran Zee sungguh dipusingkan dengan segala pilihan ini.

"Zee, gimana?" Ucap Vero membuyarkan lamunan Zee.

"Eh, oke aku mau,"

"Mau apa?"

"Jadi pacar kamu,"

"Kamu serius?" Tanya Vero dan dibalas anggukan oleh Zee. "Makasih, aku seneng banget akhirnya kamu nerima cinta aku! Rasanya deg-degan banget tau nggak sih tadi didiemin sama kamu,"

Zee tersenyum kikuk, bahkan ia tidak tau harus berbuat apa. Ia juga tidak tau kalau Vero akan menembaknya dengan cara yang seperti ini. Saat jam hampir mendekati waktu pulang sekolah, Zee berkata pada Bram bahwa Vero akan mengajaknya jalan-jalan. Ya, sekarang Bram tidak ingin terlalu membatasi pergaulan Zee. Lagi pula dia juga siapa, toh hanya sahabat kan?

"Yaudah sekarang kamu makan ya, keburu dingin," ujar Vero sambil menuangkan nasi dan lauk pada piring Zee.

***

Ponsel Bram yang ia letakkan begitu saja di atas meja terus bergetar dari sepuluh menit yang lalu. Bram hendak memainkan gitar, namun tangannya tiba-tiba terhenti dan langsung meraih ponsel tersebut. Di layar kunci tampak tulisan yang bertuliskan '317 messages from Group: Delivery Mekdi

Bisa dibilang pesan sebelumnya dari grup ekskul basketnya tersebut tidak penting. Kecuali salah satu pesan yang dikirim dari Leo.

Leo-nardo: woy Vero jadian yak?

Bastian: kata siapa lu kagak usah ngarang

Leo-nardo: kata bang Aji noh tadi, Vero jadian ama Zee

Faridzul: weh bentar lagi ada yg mau ngasih PJ nih

Agung Ananta: serius nih Vero jadian? Vero lo mana tong keluar lo

Aji Saka: apaan tuh Rid PJ?

Januar: gosip lo bener bang?

Bastian: gosip lo bener bang? (2)

Agung Ananta: gosip lo bener bang? (3)

Leo-nardo: eh tapi bukannya Zee deketnya sama Bram ya

Januar: yoi, Bram juga mana nih elah perlu klarifikasi

Aji Saka: yaudeh kalo kagak percaya

Alvero: Weh ada apaan nih rame-rame?

Leo-nardo: nah ini nih si kumis kucing, lu jadian ye sejak kpn?

Alvero: jadi dari tadi gosipin gua?
Alvero: gini gua luruskan, tadi gua emang nembak Zee

Bastian: terus?

Alvero: ya diterima ogeb

Januar: WEH PJ PJ LU PJ!! GILA GILA SI VERO!

Agung Ananta: kita tunggu lo besok dilapangan

Alvero: mo ngapain

Agung Ananta: traktiran ogeb

Aji Saka: langgeng ye nak

Alvero: tengkyu bang

Mata Bram teriris membaca serentetan kalimat yang baginya ini seperti kiamat. Dunianya seakan hancur, harapannya seakan pudar, dan mimpi-mimpinya seakan menghilang. Dunianya yaitu Zee, harapannya yaitu memiliki Zee, dan mimpinya yaitu membahagiakan Zee.

Semua itu benar-benar lebur dalam hitungan detik. Pantas saja sedari tadi Zee belum menghubunginya sama sekali. Yang meramaikan ponselnya justru grup basketnya sendiri. Tapi bukan ramai yang ia terima, sepi. Sepi karena ia akan kehilangan sesosok sahabat bersayap malaikat.

Seiring berjalannya waktu mungkin hatinya akan sembuh dengan kebiasaan yang sudah ia persiapkan jika tanpa Zee nanti. Tapi ingatannya?

Bram memandang gitar yang ia pangku. Gitar yang selalu menemani mereka dikala Sabtu malam Minggu seperti ini. Mungkin sejak tadi Zee pasti sudah merengek untuk dinyanyikan sebuah lagu yang keluar dari pita suara Bram. Tapi sepertinya cewek itu terlalu bahagia sampai-sampai mengirim sebuah pesan pun tak ia lakukan untuk sekadar bertanya sedang apa?

Perlukah Bram menghubungi Zee? Lalu bertanya bagaimana kabarnya? Bertanya tidak rindukah dia pada musiknya?

Bram melempar ponselnya sampai ke ujung ranjang. Pikirannya kembali terfokus pada sebuah lagu yang ingin dirinya nyanyikan sedari tadi.

Melihat tawamu, mendengar senandungmu
Terlihat jelas di mataku, warna-warna indahmu
Menatap langkahmu, meratapi kisah hidupmu
Terlihat jelas bahwa hatimu, anugerah terindah yang pernah kumiliki

Sifatmu kan 'slalu tenangkan ambisiku
Terpikat khilafku dari bunga yang layu
Saat kau di sisiku kembali dunia ceria
Tegaskan bahwa kamu anugerah terindah yang pernah kumiliki

***

TBC!

Sampe sini dulu ya heheh

Mua AlohaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang