tujuh -- kali pertama

16 10 0
                                    

Pagi-pagi sekali cowok itu sudah menyiapkan mobil, hendak berangkat tiga menit lagi. Sekali lagi dia memandang pantulannya di cermin. Vero dengan rambut wanginya, seragam putih abu-abunya, dan jaket jeans denim yang menempel di badannya. Wajahnya yang tampan dapat nilai plus gara-gara jaket yang dikenakannya.

Bukan sekolah tujuannya, tapi rumah Zee. Untuk yang pertama kalinya dia menjemput cewek itu.

Sudah siap dengan tujuannya, Bram segera mengendarai mobilnya melalui jalan ibukota yang ramai. Banyak orang sengaja berangkat pagi-pagi agar tidak terjebak macet di jalanan.

Inilah maksud Vero. Arah rumahnya dan rumah Zee saling bertolak belakang, oleh karena itu ia sengaja berangkat pagi.

Suasana sejuk di lokasi rumah Zee terbilang cukup asri. Pohon-pohon dengan kokohnya tertanam di sekitar perumahan. Embun pagi dengan tenangnya menempati tiap-tiap daun pada bunga matahari. Sebatang bunga kuning berwarna keemasan itu jadi objek pertama yang dilihat Vero.

Perlahan ia melangkah masuk, mengetuk pintu rumah Zee. Berharap cewek itu yang membukakan lalu mempersilahkannya masuk.

Nasib berkata lain, keluarlah seorang wanita yang kira-kira berumur 40-an tahun dari balik pintu.

"Nyari siapa ya, dek?" Tanya ibu itu yang ternyata Bundanya Zee, Astri.

"Zee ada, Tante? Saya temennya, Vero." Jawab Vero.

"Oh iya nak Vero. Zura ada, lagi siap-siap. Tunggu di dalem aja ya," kata Astri lalu mengajak Vero masuk.

Vero duduk di ruang tamu. Ia memandang sekeliling, rumah Zee nyaman. Banyak foto yang ditempel dipigora maupun ditata di atas meja. Selain itu ada juga lukisan ikan dan lukisan suasana pasar. Tidak sedikit juga miniatur yang ada karena banyak miniatur pesawat koleksi Alfin, kakak Zee.

Vero baru menyadari kalau Bundanya Zee memanggil dia dengan sebutan Zura, tidak salah lagi karena itu memang namanya.

"Vero?" Celetuk seseorang yang sudah berdiri dengan jarak lima langkah dari tempat Vero.

Vero berdiri dari duduknya. "Eh, hai Zee," sapanya kikuk.

"Ada perlu apa, ya?"

"Oh, sebenernya gue cuma mau ngajak lo berangkat bareng ke sekolah." Jawaban sekaligus pernyataan yang jujur. "Lo mau nggak?"

"Eh, kok tumben banget? Lagian rumah lo kan jauh tuh," ucap Zee, dia lalu duduk di dekat Vero.

Mata Vero berputar, berusaha mencari jawaban. "Iya, tadi pagi-pagi gue baru dari rumah sepupu, jadi sekalian mampir kesini," dan ini jawaban sekaligus pernyataan yang bohong.

Zee terlihat ragu menjawabnya, berulang kali ini melirik ke arah pintu, siapa tau Bram sudah menunggunya.

Tiba-tiba dia kepikiran untuk mengirim pesan teks pada Bram, tentu saja dia tidak ingin melewatkan acara berangkat sekolah bareng Vero.

"Bentar ya, Ver," dengan segera Zee masuk lagi ke kamarnya. Mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja belajar lalu mengetik sesuatu untuk Bram.

Bram, sorry ya. Gue berangkat duluan. Begitu isi pesan yang dikirim Zee untuk Bram.

Zee lalu kembali menghampiri Vero, cowok itu sedang memperhatikan foto masa kecil Zee.

"Lo lucu banget deh Zee waktu kecil, gemes!" Ungkap Vero sambil memamerkan senyuman yang bisa bikin Zee meleleh saat itu juga.

Zee jadi canggung. "Ah, lo bisa aja! Yaudah berangkat sekarang aja, ntar macet," jelas Zee berusaha mengalihkan pembicaraan.

Bunda Astri pun langsung keluar menghampiri keduanya. "Sudah mau berangkat ya?"

Serempak keduanya menoleh. "Eh iya, Bun, kenalin ini temen Zura namanya Vero,"

"Kalau ini Bunda sudah kenal tadi. Yaudah kalian berangkat aja, nanti keburu telat lho," tutur Bunda.

Zee dan Vero langsung berpamitan serta tidak lupa mengucapkan salam.

"Hati-hati ya dijalan," kata Bunda Astri.

Mereka pun langsung berjalan beriringan menuju mobil dan segera tancap gas ke sekolah.

Di tempat yang tak jauh dari rumah Zee, Bram diam-diam menatap kepergian mereka dari balik jendela kamar. Sambil memegang ponsel di tangannya, Bram bergumam.

"Gue tau kalo Vero bakal nganterin lo, Zee. Jadi meskipun lo nggak nge-chat pun gue tau kalo lo nggak mungkin nolak ajakan dia."

Bram segera memasukkan ponsel ke saku celananya dan bersiap dengan sepedanya. Untuk yang pertama kalinya Bram berangkat sendirian.

***

"Azura!" Sambut Lea kala batang hidung Zee terlihat.

"Halo fans," sapa Zee balik.

"Ih dasar! Ohya gue tadi liat lo dianter sama Vero ya? Demi apa ceritain dong!" Duga Vita. Baru dua kali Zee diantar Vero aja sudah ramai begini. Memang sih mulut lebih tajam daripada pisau.

"Biasa aja kok, cuma dianter doang," Zee melirik ke bangku belakangnya. Lagi-lagi Bram mengganjal telinganya menggunakan earphone. Cowok itu pura-pura cuek, bahkan dia sudah sampai lebih dulu ketimbang Zee.

Zee tau kalau Bram pasti masih bisa mendengar obrolannya barusan melalui celah-celah lubang telinga yang tersisa.

Kayaknya tuh cowok ninggalin gue sebelum Vero dateng. Pikirnya dalam hati.

"Biasa aja gimana? Lo tau kan sama yang namanya Tya? Anak kelas XI-6 yang suka sama Vero, kemarin aja waktu lo pulang bareng Vero, dia tuh kayak mau bikin rencana nyebarin gosip gak bener gitu sama temennya. Rame banget, untung gue denger!" Jelas Vita panjang lebar.

Dari omongan Vita, Zee tau kalau Vita dan Lea sudah mengirim pesan siap berperang dari kubu Zee ke kubu Tya.

Zee mendengus hingga suara nafasnya bisa terdengar. "Biarin aja dia mau ngelakuin apa, bukan urusan gue," jawab Zee acuh.

"Tapi Zee, emang bener ya lo sama Vero udah jadian?" Tanya Vita pelan. Zee terkejut mendengar pertanyaannya barusan, tapi dalam hatinya dia meng-amin-i, kapan lagi coba?

"Enggak, gue sama dia cuma temenan, nggak ada apa-apa." Jawabnya.

"Yakin lo sama dia cuma temenan? Kok kayak udah akrab banget gitu?" Vita tak henti-hentinya bertanya.

"Iyalah, kayak gue sama Bram. Yang cuma sahabatan," bisik Zee pelan ketika mengucap nama Bram. Takut bila cowok itu mendengarnya.

Astaga Zee, tega banget sih bohong sama perasaan sendiri?

Vita dan Lea ber-oh panjang. "Yaudah sih, gue cuma mau saran ati-ati ntar pulangnya Tya bisa cegat lo di gerbang, gue sih bantu doa aja," sahut Lea.

Hanya dengan anggukan Zee menanggapi kalimat temannya barusan. Walaupun terlihat santai dan bodo amat, sebenarnya Zee memikirkan betul-betul omongan mereka tadi.

Bagaimana kalau benar sampai itu terjadi? Apa yang dikatakannya pada Bunda kalau penampilannya berantakan gara-gara bertengkar? Lalu siapa yang akan menolongnya?
Apakah Bram? Atau Vero?

Zee melirik ke arah Bram yang sibuk dengan catatannya, cowok itu mendongak menatap Zee yang memperhatikannya. Tiba-tiba Bram mengangguk, seolah meng-iya-kan pikiran Zee barusan.

***

TBC!

Yey akhirnya hari Sabtu. Jadi ada waktu buat ngelanjutin cerita ini. Tunggu terus update-annya yaa!!

*Ohya buat kalian yg penasaran apa sih arti Mua Aloha, jadi aku ambil dari bahasa Hawaii yang artinya cinta pertama. Wkwkwk

Mua AlohaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang