delapan -- awal penyerangan

18 9 2
                                    

Bram tidak banyak bicara hari ini, dia lebih fokus pada musik dan permainan di ponselnya. Entah apa yang membuatnya jadi badmood, sebenarnya Bram sudah merelakan Zee dengan Vero. Demi persahabatan mereka.

Waktu istirahat tinggal tiga menit lagi, namun perutnya sudah berteriak minta diisi dari tadi. Bram melirik ke arah Zee, berusaha mengintip apa yang sedang ia lakukan. Ternyata Zee sedang selfie, cewek itu langsung menoleh ke arah Bram begitu melihat pantulannya di kamera.

"Kenapa Bram? Mau ikut foto?" Tanya Zee pada Bram yang kini terlihat salah tingkah.

"Enggak, gue mau ngajakin lo makan gado-gado di kantin, mau nggak?" Ajak Bram.

"Lo mau ntraktir gue, Bram? Wah dalam rangka apa nih?" Semangat Zee seketika, matanya berbinar-binar.

Bram menepuk dahinya, "Gue lagi nggak bawa duit banyak, lo nih taunya traktir mulu,"

"Duit dikit juga nggak pa-pa kok, cilok kang Asep juga gue makan walau sebiji," Zee tertawa, Bram yang melihatnya ikut tertawa. Dia suka mendengar tawa Zee yang renyah, rasanya Zee bisa menghiptonisnya dengan tawa itu.

"Iya-iya ntar gue temenin, gue lagi pengen bakso," ujar Zee.

Lalu bel berbunyi, nada kemenangan dan guru pun siap untuk mengakhiri pelajaran.

***

Pulang sekolah tiba dan Zee mewanti-wanti pernyataan Vita yang akan mengganggunya sepulang sekolah. Bahkan saat bel sudah berbunyi sekitar tujuh menit yang lalu, Zee masih saja mondar-mandir di dalam kelas bersama Bram yang memilih duduk di atas meja. Zee tau kalau Vero pasti sudah pulang, cowok itu mengirimkan pesan padanya kalau sepulang sekolah dia harus mengantar Ibunya ke luar kota.

Terdengar derap langkah seseorang dengan suara ngos-ngosannya. Hati Zee semakin berdegup kencang dibuatnya.

"Dia ada di gerbang, Zee," ucap Vita. Tentu saja setelah apa yang didengarnya kemarin, dia jadi ikut was-was kalau sampai Tya berani menyenggol Zee sedikit pun.

"Terus gimana?" Zee menelungkupkan wajahnya dengan kedua tangan, mulai berpikir jernih dan mencari solusi.

Bram yang sedari tadi cuma bisa diam bingung melihat keadaan yang seperti mulai jadi rumit.

"Sebenernya ada apaan sih?" Tanya Bram jadi ikut khawatir.

Zee mendongakkan kepala, menatap Bram. "Ini masalah gue Bram, gue nggak pengen lo terlibat dalam masalah ini," ungkap Zee, dirinya tidak ingin Bram masuk dalam masalah bodoh seperti ini. Cukup Zee merepotkannya selama ini.

"Masalah apa Zee? Kita sahabat, harus saling bantu dan gue selalu ada buat lo!" Bram sudah geram. Ingin rasanya Zee menangis saat itu, mencoba untuk menahan air mata sebentar saja pun dia tidak sanggup. Namun bukannya sebelumnya ia bertekad agar tidak mempedulikan apa yang akan Tya lakukan padanya?

"Kalo gitu kita pulang sekarang, gue anterin lo," Bram bangkit dan segera menggandeng--lebih tepatnya menarik--tangan Zee keluar dari kelas. Zee tidak bisa menolak, tenaga Bram terlalu kuat. Sekeras apapun teriakannya Bram tetap keukeuh pada pendiriannya.

Benar saja, Tya masih berdiri di situ bersama seorang temannya. Tetapi Zee merasa aman selama Bram ada di sampingnya, toh tenaga pria jauh lebih kuat dari wanita. Dan Zee berharap semoga apa yang ada pikirannya saat itu tidak terjadi.

"Heh Azura!" Tya memanggilnya, Zee berhenti begitu pun Bram. Vita dan Lea yang membututi Zee dan Bram jadi tertegun begitu melihat kejadian itu.

"Sejak kapan lo deket sama Vero?" Tembak Tya yang langsung mengajukan pertanyaan. Tatapan Tya tajam, seolah-olah perang sudah dimulai.

Mua AlohaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang