Part 9

29.2K 1.5K 11
                                    

Emily menemukan hotel terdekat, dia sudah tidak sabar ingin mengganti pakaian nya yang membuat tubuhnya menggigil. Cuaca di kota New York malam ini selepas hujan, dingin dan lembab.

CARLTON PLACE FIFTH AVENUE TOWER.

(Aslinya ini adalah foto Langham Place New York Fifth Avenue, 5 Stars Hotel)

(Aslinya ini adalah foto Langham Place New York Fifth Avenue, 5 Stars Hotel)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maaf nona, tapi seluruh kamar disini telah terisi penuh. Kebetulan sedang ada acara besar di hotel kami, biasanya tidak sampai penuh seperti ini." Ungkap sang resepsionis ketika emily telah berada di meja reservasi. "Sekali lagi saya minta maaf."

"Saya mohon tolong diperiksa kembali buku nya, mungkin ada yang melakukan pembatalan. Cuaca di luar sangat dingin, tidak lihatkah pakaianku sudah basah kuyup, mungkin sebentar lagi aku bisa saja pinsan." Emily mulai meracau.

"Saya akan bantu nona untuk mencari hotel lain yang terdekat, jika anda tidak merasa keberatan. Mari ikuti saya." Pria resepsionis itu memberi solusi lain untuk emily. Pria itu menunjukkan pintu keluar hotel tapi emily masih berdiri di tempatnya. Sakit kepala tengah menyerang emily, vertigo ringan.

Emily menahan tubuhnya jatuh dengan berpegangan pada meja reservasi di hadapannya. Tas nya pun terjatuh.

"Apa yang terjadi disini, Sam." Terdengar suara seorang pria dari kejauhan. Emily masih pusing ketika melihat langkah pria itu mendekat seakan tertarik dengan keributan kecil yang dibuat emily.

"Mr. Carlton." Pria itu membungkuk hormat. "Nona ini ingin memesan kamar tapi semua kamar sudah full booked sir."

"Beri nona ini kunci kamar Suite Penthouse, Tuan Muda Greg telah membatalkan kamarnya." Lalu pria asing itu kini menatap emily. Emily dapat melihat pria itu tampan dan pastinya sangat baik hati. Pria asing ini telah mengusahakan emily untuk mendapatkan kamarnya.

Resepsionis tadi memanggilnya Mr.Corlton, pasti pria ini salah satu petinggi hotel. Emily merasa malu dengan penampilan nya yang basah saat ini, andaikan dia bisa sedikit memamerkan rambut merah nya yang indah kepada pria itu.

Fitz Carlton. Seorang pemuda 32 tahun yang saat ini menjabat sebagai CEO sekaligus pemilik saham tertinggi Carlton Place Fifth Avenue Tower. Fitz terpesona melihat kemilau rambut merah sang wanita di hadapan nya. Kulit wanita itu seputih salju dan Fitz memiliki keinginan untuk menyentuh nya.

Fitz telah hidup sendiri selama 3 tahun terakhir, dia bahkan tidak memiliki keinginan untuk memiliki wanita dalam hidupnya baik itu sebagai istri atau hanya sebagai penghibur semata. Semenjak tunangan fitz pergi melarikan diri bersama pria lain, fitz mengalami kekecewaan yang besar terhadap wanita. Hanya adik perempuan satu satunya yang termasuk wanita dalam hidupnya yang bisa dipercayainya. Ibu fitz telah meninggal sejak dia berusia 10 tahun.

"Maafkan atas pelayanan hotel kami yang kurang bersahabat tadi, Miss....?"

"Emilia Valerie Sanders" emily mengulurkan tangan nya dan menjabat tangan hangat pria tampan itu.

"Fitz Carlton. Selamat datang di hotel kami, Miss. Sanders. Untuk ketidaknyamanan tadi, khusus untuk anda, kamar ini kami diskon 50%." Pria itu meraih tas emily yang tadi terjatuh di lantai. "Sebaiknya kita segera menuju ke kamar, anda harus segera menghangatkan diri, mari lewat sini."

"Biar aku saja, sam. Kau bisa lanjutkan kembali pekerjaanmu." Sang resepsionis tampak ingin menemani emily namun pria itu tegas menolaknya.

Beberapa saat kemudian emily dan fitz telah berada di lantai paling atas gedung itu. Kamar tipe ini adalah yang terbaik dan yang termahal, kapasitas kamar pun dibatasi hanya 4 buah saja. Pemandangan terbaik ada di lantai ini.

Fitz menempelkan kartu pada layar kecil yang terdapat pada pintu dan kemudian pintu itu pun terbuka. Fitz menghidupkan lampu dan penghangat ruangan selayaknya pelayan hotel. Emily tidak diberi kesempatan untuk bingung karena hangat nya kamar itu membuat emily sangat nyaman saat ini. Emily meraih tas nya namun tidak ada satupun pakaian kering yang ada disana.

"Tunggulah disini, kamarku tepat disebelah kamar ini. Aku akan membawa pakaian untukmu"

"Anda sungguh baik hati, sir."

Fitz memahami kesulitan wanita asing itu. Fitz merasa heran karena dia merasa begitu perduli dengan wanita itu. Padahal sebelumnya fitz selalu tertutup ketika berhadapan dengan wanita. Ketidak percayaan sudah membutakan mata hatinya.

Tak lama kemudian fitz telah kembali dengan membawa satu setelan pakaian wanita. Pakaian itu adalah milik sarah, adik perempuannya.

"Mr. Carlton saya...."

"Fitz, thats my name. May I call u Val?"

Emily mengangguk dan mengambil pakaian itu dari tangan fitz. "Sebaiknya aku mengganti pakaianku." Emily berdeham. "Ehmm...fitz...aku sungguh sangat berterima kasih untuk semua bantuan mu hari ini. Kamar ini sangat indah, aku sangat beruntung ya. Bertemu denganmu."

Fitz menyadari wanita itu mulai gugup berada bersamanya berduaan di kamar itu, terasa begitu intim mengingat rambut emily yang basah dan pakaian wanita itu begitu melekat di tubuhnya membuat fitz sulit melepaskan pandangan matanya dari sana.

"Well, aku merasa senang dapat membantumu, val." fitz menyentuh dan menelusuri rambut emily dengan jemarinya. "Enjoy the room. I'll see you soon." Dan fitz bergegas pergi menutup pintu seraya keluar dari sana.

Jantung emily berdegup kencang. Bisakah pria lain begitu mudah menyentuh hatinya. Sedangkan beberapa jam yang lalu seorang pria dengan kejam telah mencampakkannya.

Padahal emily mulai menyayangi max dengan sepenuh hati. Max terbakar api dendam yang membara, bahkan dia tidak mendengarkan pembelaan emily sedikitpun.

Kakek buyut Sam memang bersalah, emily telah mengetahui kejahatan kakek buyutnya itu dari ayahnya. Begitu banyak keluarga dengan nama belakang Walter, dan emily tidak menyangka kalau keluarga max adalah yang dimaksud.

Kakek sam meninggal karena sakit paru paru yang tiba tiba menyerang, bahkan dia tidak sempat menikmati semua harta hasil rampokannya itu. Tetapi setelah meninggalnya kakek sam, semua berkas harta kekayaan keluarga Walter ternyata memiliki segel terikat. Kepemilikan bersifat tunggal dan tidak dapat diwariskan. Apabila yang bersangkutan telah tiada, maka keluarga baik itu memiliki kekerabatan dekat atau jauh tidak akan mendapatkan bagian apapun.

Perkebunan dan pertambangan milik keluarga Walter sejak 50 tahun yang lalu akhirnya berhenti beroperasi. Sampai sekarang pun tetap ada namun tidak dapat dialihkan kepemilikan nama secara resmi. Dengan kata lain, kakek buyutnya tidak bersalah. Karena perkebunan dan pertambangan itu hanya milik Evander Gregory Walter, kakek buyut max, selamanya. Evander yang tamak telah membuat keluarga Walter tidak dapat memiliki apa yang menjadi milik sang kakek.

The Billionaire and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang