PANGERAN JAYAKUSUMA
karya: Herman P
Seri 2SEMENTARA ITU musim panas sudah berganti dengan musim hujan. Setiap kali matahari muncul di udara, hujan selalu turun. Mula-mula turun rintik-rintik yang didahului dengan angin meniup kencang. Lalu makin lama makin deras dan akhirnya menjadi hujan badai yang menakutkan hati kanak-kanak yang sedang mengenal silat alam. Mereka menangis atau lari berlindung di bawah ketiak orang tuanya. Dan dengan manis ayah-bundanya membesarkan hati mereka dengan dongeng-dongeng kepahlawanan. Karena riwayat Pangeran Jayakusuma sudah meresap dalam hati dan pendengaran penduduk, maka tokoh itu pulalah yang selalu menjadi paraga tauladan.
"Jangan takut, anakku ! Selama Pangeran Jayakusuma masih hidup, semua kesukaran macam apapun akan dilaluinya. Hujan badai akan ditentangnya. Bahkan kekuasaan nga berani dilawannya, demi cinta-kasihnya yang tulus kepada bibinya Retno Marlangen...............�
"Apakah dia jahat, bu ?"
"Jahat ? O, tidak ! Dia seorang pahlawan besar"
"Mengapa berani melawan raja ?"
"Karena dia tidak diperkenankan mengawini bibinya sendiri. Padahal Pangeran Jayakusuma dan Retno Marlangen adalah sepasang dewa-dewi yang selaras. Tetapi kekuasaan raja merenggut bibinya dan dikawinkan dengan Pangeran Anden Loano......�
Tentu saja si anak belum puas memperoleh keterangan sependek itu. Maka ia minta kejelasan lagi dan kejelasan lagi. Dan demi melupakan rasa takut anaknya terhadap hujan badai yang menyerang alam di luar rumah, sang Ibu kemudian menceritakan riwayatnya sebisa-bisanya menurut pendengaran dan tutur-kata orang lain yang tersebar dari mulut ke mulut.
Sementara itu, hujan badai terus mengaung-aung di udara luas. Awan hitam menutupi penglihatan orang. Angin meraung-raung dari tempat ke tempat. Akan tetapi hujan badai yang demikian menakutkan biasanya tidak berlangsung terlalu lama. Beberapa jam kemudian, hujan berhenti dengan tiba-tiba. Sekarang angin mulai meniup dengan lembut menyapa puncak mahkota pohon-pohon. Dibuainya pelahan-lahan lalu ditinggalkan dalam keadaan basah dan gemeresah. Hawa jadi terasa lapang. Rasa sejuk mulai meraba tiap insani. Matahari mulai mencongakkan diri dan memancarkan cahayanya kembali yang berwarna keemas-emasan.
Lalu-lintas mulai hidup kembali. Baik yang berada di dalam kota, di pedusunan maupun yang sedang melakukan perjalanan. Di senjahari itu, tiga orang penunggang kuda melarikan kudanya mengarah kota Wengker. Pada dewasa itu, Wengker merupakan urat nadi perdagangan yang banyak dikunjung orang. Akan tetapi mereka bertiga bukan golongan pedagang. Mereka terdiri dari dua gadis dan seorang pria. Ketiga-tiganya mengenakan pakaian orang berada. Terutama gadis yang berumur 24 tahun. Busana yang dikenakan amat mentereng. Mungkin sekali, ia sudah
seorang nyonya. Paling tidak baru saja melampaui masa temanten baru. Sedang gadis lainnya yang sama pula cantik dan agungnya mengenakan pakaian perajuriL Dan yang pria berpakaian seorang pendekar model putera seorang hartawan Merekalah Diah Carangsari, Diah Perwita Mustika dan Harya Demung Panular.
"Penular !" ujar Carangsari dengan suaranya yang lantang. "Setelah melampaui bukit itu, kita harus melintasi rimba raya lagi. Kau siapkan saja pedangmu.�
"Daripada susah-susah, mengapa tidak balik saja ke kota ?" Panular minta pertimbangan kakaknya yang beradat panas itu.
"Kau berkata apa ?" bentak Carangsari.
"Maksudku.....maksudku apakah kakang Pangeran Jayakusuma berada di Wengker ?"
"Ada atau tidak, itu bukan soalnya." bentak Carangsari "Pendek kata, aku harus bertemu dulu dengan dia dan barulah hatiku jadi tenteram. Ini semua kulakukan demi kepentingan negara."
"Tetapi kakanda Wira Wardhana sudah diangkat Sri Baginda dengan resmi sebagai pengganti Panglima Panji Angragani. Apa lagi yang diributkan ?"
"Hm, kau tahu apa ?"
Harya Demung Panular tercengang. Di dalam hati ia merasa tidak mengerti jalan pikiran ayundanya. Carangsari kini sudah menjadi isteri Panglima Wira Wardhana. Sebenarnya dia harus bersyukur karena suaminya yang dipilih raja menggantikan kedudukan Panji Angragani yang diimpi-impikan setiap perwira tinggi. Tetapi mengapa dia tidak senang ? Memang sekalian orang-tahu, bahwa yang berhak menduduki jabatan itu sebenarnya Pangeran Jayakusuma. Sebab Pangeran itulah yang memenangkan pertandingan. Tetapi Pangeran Jayakusuma yang
senang menuruti kehendak hatinya sendiri itu, menghilang tak keruan rimbanya. Masakan Negara harus menunggu kehadirannya entah sampai kapan ? Maka dilantiklah Wira Wardhana untuk menempati kedudukan yang kosong itu. Nyatanya Wira Wardhana tidak mengecewakan Sri Baginda. Berulang kali ia menyerbu dan merusak markas Nayaka Madu. Meskipun belum berhasil menangkap Nayaka Madu hidup atau mati, namun markasnya sudah rusak. Sebaliknya, Harya Demung Panular tidak tahu, bahwa Pangeran Jayakusuma mempunyai tempat sendiri dalam hati Diah Carangsari. Coba, kalau tidak ditinggalkan bocah edan itu di markas Wira Wardhana, tentunya tidak bakal dirinya menjadi nyonya Wira Wardhana. Bagi Carangsah alias Nyonya Wira Wardhana, pergaulannya dengan Pangeran Jayakusuma akan tetap manis dan indah sampai kapanpun.
"Apakah ayunda yakin, bahwa kakang Pangeran Jayakusuma berada di tanah Wengker ?" Harya Demung Panular masih mencoba.
"Paling tidak, dia berada di atas dunia." sahut Carangsari sengit.
Harya Demung Panular tidak berani mengumbar mulutnya lagi. Dengan patuh ia memeriksa pedangnya yang tergantung di pinggangnya. Pedang panjang bersarung perak pemberian ayah-angkatnya Pandan Tunggaldewa.
Selama mereka berdua berbicara, Diah Munstika Perwita membungkam mulut. Diah Mustika Perwita mempunyai kesan sendiri terhadap Pangeran Jayakusuma. Terhadap pemuda itu yang memiliki hati panas dan selalu bergolak, ia merasa diri berusia jauh lebih tua daripadanya. Rasa keibuannya membersit dengan tak setahunya sendiri. Padahal, usianya terpaut jauh dengan Pangeran Jayakusuma. Mungkin terpaut sembilan atau sepuluh tahun. Namun baginya, tidaklah menjadi halangan.
Andaikata......ah, andaikata......... Pendek kata hatinya mempunyai pengucapan sendiri yang khusus dan hanya dapat dimengerti hatinya sendiri pula. Karena itu, terhadap Pangeran Jayakusuma ia merasa seperti wajib mendampingi. Itulah sebabnya ia merasa berbahagia, tatkala dahulu sempat merawat luka Pangeran Jayakusuma di dekat kota Singasan. Dan tatkala Pangeran Jayakusuma hilang tiada kabarnya, barulah ia mengetahui pertumbuhan hatinya sendiri. Diluar kesadarannya sendiri, ternyata ia mencintai pemuda itu selaras dengan watak dan budi-pekertinya, yang halus.
Dalam pada itu, kuda mereka bertiga mulai mendaki bukit. Tatkala tiba di atas bukit, matahari nyaris mendekati ufuk barat. Cahayanya tidak panas lagi. Malahan terasa nyaman dan menyedapkan penglihatan. Suasana alam jadi semarak. Apa lagi sehabis hujan deras melanda bumi. Semuanya berkesan segar menyalakan semangat hidup yang lembut dan damai. Selagi mereka menikmati penglihatan itu, tiba-tiba terdengar bentakan sayup-sayup dan suara beradunya senjata tajam. Dengan berbareng mereika memalingkan pandang.
Dua orang sedang bertempur dengan serunya, sedang seorang perempuan berdiri dengan tertawa riuh tiada hentinya. Siapakah mereka ? Apa yang sedang dipertengkarkannya ? Kelihatannya, meskipun bertempur seru, masing-masing tidak bermaksud melukai. Apalagi sampai saling membunuh. Mereka hanya bergerak demi melampiaskan rasa mendongkolnya. Dan si perempuan yang berada di luar gelanggang berkali-kali berseru:
"Hayo ! Hayo ! Gajor ! Kau masih bisa melawan atau tidak ?�
"Nenek bangsat !" teriak yang bernama Gajor sambil menangkis serangan lawannya. "Pantas kau disebut nenek Kajoran. Memang mulutmu seperti gerojogan kotor." (gerojokan=terusan air terjun)
Nenek Kajoran yang dimaki Gajor hanya menanggapi dengan tertawa terkekeh-kekeh. Lalu berseru kepada dua orang laki-laki yang duduk di bawah sebatang pohon besar :
"Lembu Jenar! Kebo Asem! Bagaimana pendapat kalian ?"
Dua orang yang disebut dengan nama Lembu Jenar dan Kebo Asem berdiri dengan pelahan-lahan. Kebo Asem yang berperawakan gagah perkasa kemudian menyahut:
�Nenek Kajoran, aku baru saja datang. Jadi aku tidak mengerti pokok persoalannya."
"Tetapi bukankah engkau sempat mendengar ? Kita semua baru mempertengkarkan masalah Pangeran Jayakusuma." teriak nenek Kajoran dengan nada marah.
Mendengar kata-kata nenek Kgjoran, Diah Carangsari bertiga tertarik hatinya. Segera mereka melarikan kudanya, kemudian berhenti di luar gelanggang baku hantam.
"Coba kalian berhenti dulu !" seru Kebo Asem. "Aku ingin mendengarkan mula-mula ucapan kalian." Yang sedang berbaku hantam adalah Gajor melawan Kalungkung. Gajor berperawakan kasar. Bentuk badannya pendek buntet, sedang Kalungkung tinggi jangkung. Mendengar seruan Kebo Asem dengan berbareng mereka berdua melompat mundur.
"Benarkah kalian mempertengkarkan masalah Pangeran Jayakusuma ?" Kebo Asem menegas.
"Kalungkung, katakanlah lagi! Kau tadi berkata bagaimana ?" nenek Kgjoran menyela.
�Aku bertata, pada hari-hari terakhir ini, sepak terjang Nayaka Madu makin menjadi-jadi. Karma apa ? Karena Mapatih Gajah Mada sudah mukswa. Laskarnya jadi ganas dan kejam. Untung, tentara kerajaan cukup tangkas dan berjumlah banyak. Cuma sayangnya, kita tidak mempunyai panglima setangguh Panji Angragani dulu. Kabarnya Panglima Panji Angragani diminta
bekerja kembali, akan tetapi beliau menolak. Beliau masih tidak dapat melupakan peristiwa pembunuhan terhadap Utusan Negeri Singgela, yang menjadi tanggung jawabnya. Hai Lembu Jenar, lantas engkau berkata apa ?"
Lembu Jenar yang berdiri di samping Kebo Asem menjawab:
"Aku bilang, mungkin sekali panglima Panji Angragani kena fitnah lawan. Bukan mustahil Nayaka Madu yang menjadi dalangnya."
"Bagus ! Memang begitu." seru Kalungkung dengan bersemangat "pastilah semua itu terjadi oleh jaring-jaring fitnahan Nayaka Madu yang sudah direncanakan jauh-jauh sebelumnya terjadi. Panji Angragani harus disingkirkan dahulu dari percaturan negara. Sebab, sesungguhnya ia segan terhadap ketangguhan Panglima andalan almarhum Mapatih Gajah Mada itu. Setelah Panglima Panji Angragani terguling dari kedudukannya, mulailah Nayaka Madu menunjukkan gigi dan taringnya. Lalu kau berkata apa lagi ?"
Lembu Jenar mengeluh. Menyahut:
"Apakah Panglima Panji Angragani tidak menunjuk siapakah penggantinya yang pantas ? Kabarnya Pangeran Jayakusuma berhak menempati kedudukannya, karena dia menang dalam arena adu kepandaian di Kepatihan dulu. Kalian semua tahu, bahwa Pangeran Jayakusuma putera Sri Baginda, bukan ?"
"Benar." sahut Kalungkung. "Cuma sayang sekali. Pangeran Jayakusuma hilang tiada kabar beritanya."
"Apakah bukan kena jaring tipu-muslihat Nayaka Madu ?" Lembu Jenar menegas.
"Jaring apa ?" Gajor membentak dengan kasar. "Kalau kena jaring Nayaka Madu, namanya sih lumayan. Tetapi dia minggat justru karena linglung."
"Linglung ? Kau masih bilang dia linglung ?" Lembu Jenar menggas dengan tercengang.
"Gila pada paras cantik, bukankah namanya linglung ?" sahut Gajor dengan suara nyaring. "Karena tergila-gila paras cantik, dia tidak memperdulikan semuanya. Apakah pemuda macam bggitu, tidak boleh disebut linglung ? Aku malah mengatakan manusia edan ! Manusia sinting !" setelah berkata demikian, ia tertawa terbahak-bahak sambil menyembut-nyemburkan ludahnya.
Carangsari yang mempunyai kesan manis terhadap Pangeran Jayakusuma tidak sering mendengar kata-kata Gajor yang diucapkan dengan kasar pula. Tiba-tiba saja ia merenggut sebuah kancing bajunya dan disentilkan dengan jari kanannya. Kancing baju sebesar kerikil terbang mengenai pundak Gajor. Tak ! Gajor terkejut. Tertawanya sirap seketika itu juga. Sebenarnya ia orang berangasan. Tetapi melihat peribadi Carangsari dan kepandaiannya, tak berani ia mengumbar adatnya.
"Ayunda !" bisik Harya Demung Panulan "Tak usah ayunda melayani perangainya." Dan setelah berbisik demikian, ia bersenyum kepada Gajor. Lalu berkata ramah : "Sebenarnya, siapakah saudara ?"
"Aku ? Aku bernama Gajor Lawang Pamokswa. Panggil saja aku Gajor ! Aku memang orang kasar"
"Saudara Gajor, lanjutkan kata-katamu !" Harya Demung Panular berkata lagi dengan manis. Terhadap Pangeran Jayakusuma, Harya Demung Panular mempunyai kesan kurang senang. Hal itu akibat pengaruh ayah-angkatnya Pandan Tunggal-dewa yang bermusuhan dengan Mapatih Gajah Mada. Tetapi setelah memperoleh keterangan-keterangan dari Diah Mustika Perwita, sikapnya agak lunak. Apalagi, karena Pangeran Jayakusuma mempunyai adik yang menggugurkan imannya. Dialah Diah Galuhwati.
Meskipun tidak pernah terkatakan melalui mulutnya, akan tetapi Diah Mustika Perwita yang berperasaan halus dapat menangkap keadaan hatinya. Maka gadis itu kemudian menganjurkan dirinya agar ikut serta memasuki ujian Bhayangkara. Karena memiliki kepandaian tinggi, ia lulus dan diterima sebagai bintara. Dalam waktu kurang dari dua tahun, ia naik pangkat menjadi seorang perwira. Berkat kepandaiannya, ia naik pangkat sampai dua kali dalam waktu enam bulan saja. Jadilah ia seorang perwira menengah. Dan sebagai seorang perwira menengah dapatlah ia keluar-masuk Istana dengan leluasa. Ia bisa bergaul dengan Lukita Wardhani, puteri Rangga Permana yang kini menggantikan kedudukan Mapatih Gajah Mada sebagai Perdana Menteri Kerajaan Majapahit. Karena Diah Galuhwati ibarat pengawal Lukita Wardhani, maka ia sering bertemu. Ia jadi kian tergila-gila setelah mengenal Diah Galuhwati dari dekat. Kini tidak hanya cantik jelita saja, tetapi menurut penglihatannya, Diah Galuhwati adalah seorang gadis yang berkepandaian tinggi, cerdas dan halus budi-pekertinya. Pendek kata, Diah Galuhwati adalah pengejawantahan selera hatinya. Tetapi ia jadi berkecil hati, karena mengingat Diah Galuhwati adalah puteri Sri Baginda. Sedang dirinya hanyalah anak-angkat Pandan Tunggaldewa. Satu-satunya jalan pendekatannya hanyalah apabila ia berjasa terhadap raja dan kerajaan. Tak mengherankan, ia bekerja dengan sungguh-sungguh. Bintang terang mulai terasa memayungi dirinya, sewaktu Panglima Wira Wardhana berkenan menyunting ayundanya. Jalan makin rata. Apalagi setelah Sri Baginda berkenan menunjuk kakak-iparnya sebagai pengganti Panglima Panji Angragani Diluar dugaan, ayundanya justru tidak puas sebelum bertemu dengan Pangeran Jayakusuma yang sebenarnya berhak menduduki jabatan itu. Maka demi kepentingannya sendiri, ia berharap ayundanya membatalkan maksudnya hendak mencari Pangeran Jayakusuma sampai ketemu. Itulah sebabnya pula, ia mendukung ucapan Gajor yang kasar terhadap Pangeran Jayakusuma. Kalau Gajor bisa
membuktikan kata-katanya sebagai suatu kenyataan, bukankah kesan ayundanya akan berubah terhadap Pangeran Jayakusuma?
Sementara itu dengan agak segan, Gajor Lawang Pamokswa berkata:
"Aku memang orang kasar. Tetapi menurut pendapatku, Pangeran Jayakusuma terlalu menuruti kata hatinya berlebih-lebihan. Katakan saja, dia seorang pemuda yang pendek pikir, pendek akal. Seorang pemuda yang tidak mengenal adat-istiadat dan peradaban hidup."
"Belum tentu !" bentak nenek Kajoran.
"Belum tentu bagaimana ?� bentak Gajor dengan geram.
"Seperti kataku tadi, aku justru beranggapan bahwa Pangeran Jayakusuma seorang pendekar yang berani dan jujur. Dia pergi. Dia menghilang dari hadapan ayahanda raja, demi kata hatinya yang jujur. Kalau dia seorang pemuda yang tidak tahu adat, tentunya akan melampiaskan rasa penasarannya terhadap siapa saja yang menentang perkawinannya. Nyatanya, dia tidak berbuat demikian."
"Huuuuu..........�
"Huu apa ?" nenek Kajoran merah padam. "Apakah penilaianmu terhadap Pangeran Jayakusuma bukankah menurut ukuranmu sendiri ?"
"Kalau seseorang hendak mengawini bibinya sendiri, bukankah manusia biadab ?" Gajor tidak mau mengalah. "Karena menuruti gejolak perasaannya saja ia mau mendesakkan kemauannya terhadap adat-istiadat. Bukankah dia pemuda linglung ?"
"Belum tentu." ujar nenek Kajoran "Dengarkan ujar orang-orang tua dulu ! Wahyu, rejeki, jodoh dan maut ada di tangan Hyang Widdhi Wasesa. Mengapa engkau berani mengadili ? Kalau bibinya itu memang dipastikan menjadi jodohnya, manusia bisa berbicara apa ? Raja bertahta karena memperoleh kepercayaan
rakyat. Kepercayaan orang satu dan sarunya. Kepercayaanku, kau dan kepercayaan dia, bahwa raja akan membahagiakan hidupnya, hidupku dan hidupmu. Mengapa sekarang raja justru menghancurkan kebahagiaan orang yang percaya padanya ? Nah, siapakah sebenarnya yang tidak mengenal adat-istiadat dan peradaban hidup ? Raja atau Pangeran Jayakusuma ?"
Kata-kata nenek Kajoran itu menarik perhatian Diah Carangsari, Harya Demung Panular dan Diah Mustika Perwita, termasuk Kebo Asem. Siapakah sebenarnya nenek Kajoran ? Mustahil, ia seorang nenek dari dusun yang tidak mempunyai pengetahuan. Sebaliknya, Gajor Lawang Pamokswa malahan tertawa geli. Ia menganggap ucapan nenek Kajoran tiada beda dengan orang yang sedang berkhotbah. Katanya:
"Perjodohan antara bibi dan kemenakan, bukan raja yang melarang. Tetapi oleh dan atas persetujuan kita semua. Jadi kalau raja melarang, disebabkan kita semua yang melarang. Meskipun Pangeran Jayakusuma puteranya sendiri, raja tetap tunduk dan patuh kepada bunyi undang-undang peradaban dan adat-istiadat kita semua. Hal itu membuktikan, bahwa rajajustru mengenal dan memegang teguh adat-istiadat serta peradaban hidup. Ah, raja yang memerintah sekarang adalah seorang raja yang adil dan bijaksana."
"Kau bilang, kita melarang perkawinan itu ?" bantah nenek Kajoran. "Hm, kau boleh melarang, tetapi aku boleh tidak melarang. Bagiku, aku akan ikut bersyukur bila melihat sepasang muda-mudi hidup berbahagia. Hidup sehati dan setujuan." la berhenti untuk mengesankan ucapannya. Meneruskan : "Di dalam cerita Mahabharata, satria Abimanyu boleh mengawini neneknya sendiri yang bernama Utari. Padahal Utari puteri seorang raja. Raja Matswa yang memerintah negeri Wiratha. Raja-raja dan sanak keluarganya, tiada yang berani menghalang-halangi. Kenapa ? Karena mereka sadar, itulah kehendak Dewata.
Siapa yang menentang perjodohan suatu insan, samalah halnya menentang kekuasaan dewa sendiri."
Hebat ucapan nenek Kajoran, sehingga Diah Carangsari mengerinyitkan dahinya. Tiba-tiba ia mendengar Kebo Asem berkata dengan suara menggelegar :
"Kalian tak usah bertengkar mengenai sesuatu yang kurang jelas. Apakah kalian pernah bertemu, bertatap muka atau berbicara dengan Pangeran Jayakusuma ?"
Nenek Kajoran bungkam sejenak. Kemudian menyahut:
"Terus terang saja, belum pernah aku bertemu apalagi berkenalan dengan Pangeran Jayakusuma. Tetapi aku seringkali mendengar nama dan perbuatannya. Meskipun anak seorang raja, Pangeran Jayakusuma gemar menolong penderitaan penduduk. Kalau perlu dia sanggup mengorbankan jiwanya sendiri. Bukankah manusia semacam dia pantas kita hormati dan cintai."
"Ha, sekarang ketahuan belangnya." Gajor tertawa menang. "Jadi engkau hanya mengenal namanya. Sebaliknya, aku pernah bertemu. Memang dia seorang Pangeran yang rendah hati. Dengan siapa saja dia mau bergaul. Sepak-terjangnya tidak tercela. Hanya saja, dalam hal memilih jodoh, aku tidak dapat menyetujui."
"Bagus !" ujar Kebo Asem. "Kau mengaku pernah bergaul dengan dia. Kalau benar, coba tunjukkan padaku di mana dia kini berada."
Gajor Lawang Pamokswa berbimbang-bimbang. Wajahnya berubah. Lalu menjawab dengan hati-hati :
"Saudara siapa ? Apakah saudara pernah bertemu dengan Pangeran Jayakusuma ?"
Kebo Asem si tinggi besar itu tertawa melalui dadanya. Menyahut :
"Aku seorang pemburu. Namaku Kebo Asem. Pada suatu hari aku sedang berburu harimau. Karena rejekiku besar, aku melihat dua ekor harimau. Sekaligus kuuber dua harimau itu dengan tombakku. Tiba-tiba aku melihat seorang pemuda duduk di atas batu. Dialah Pangeran Jayakusuma yang kukenal kemudian"
"Mengapa dia duduk di atas batu ?" mendadak Carangsari minta keterangan.
"Di kemudian hari aku baru tahu. Dia berada di jalan simpang. Separoh hatinya ingin kembali ke ayahanda baginda. Tetapi kemudian teringat, bahwa dia hendak menuntut dendam kepada Nayaka Madu dulu." sahut Kebo Asem dengan tersenyum.
"Coba lanjutkan keteranganmu !" perintah Diah Carangsari Kebo Asem tidak segera menanggapi. Setelah berdehem beberapa kali, ia menjawab :
"Pada saat itu aku perlu uang untuk membelikan makan-minumnya sahabatku itu."
"Siapa yang kau maksudkan sahabatmu ?" Diah Carangsah menegas.
"Pangeran Jayakusuma. Apakah aku kurang pantas ?" Diah Carangsari menimbang-nimbang sejenak. Lalu melemparkan sekantung uang emas di atas tanah sambil berkata :
"Ambillah ! Apakah masih kurang ?"
"Hai!" Harya Panular terkejut. "Ayunda rupanya terlalu royal�
"Kenapa ? Apakah tidak boleh ?" jawab Diah Carangsari dengan suara sengit. Dan mendengar nada suaranya, Harya Panular membungkam. Diah Carangsari kini tidak hanya sebagai kakaknya perempuan saja, tetapi berbareng menjadi atasannya. Sebab Diah Carangsari adalah isteri panglimanya.
Dengan gembira Kebo Asem memungut kantung itu. Setelah dilihat isinya, kedua matanya bersinar-sinar. Sambil menyimpan
kantung uang pemberian Diah Carangsari ia mulai menuturkan pengalamannya. Katanya :
�Seperti kataku tadi, aku sedang berburu harimau. Melihat aku sedang mengejar harimau, dia tertarik. Segera ia meloncat dan ikut mengejar. Sungguh ! Menyaksikan cara larinya, benar-benar aku kagum. Selama hidupku belum pernah aku menyaksikan sese-orang bisa lari secepat dia. Bagaikan bayangan ia berkelebat dari tempat ke tempat. Sebentar saja ia sudah menyusul diriku. Sedikit banyak akupun mempunyai kepandaian dan keberanian. Kepandaianku kuperoleh dari pengalaman. Tetapi dua harimau yang kukejar itu tiba-tiba membalik dan menerkamku. Cepat kusongsong dia dengan tombakku. Sasaran yang kubidik ialah lehernya. Eh, sama sekali tak kuduga harimau itu gesit dan cerdik. Dengan membantingkan lehernya kekiri, ia dapat mengelakkan tusukanku. Tepat pada saat itu, harimau yang satunya ikut menerkam dari arah lain. Secepat kilat aku membalikkan tombakku dan kubuat menggebuk pinggangnya. Buk ! Aku berhasil menggebuknya. Akan tetapi binatang itu tidak roboh. Ia hanya mengaum kesakitan. Kemudian lari terbirit-birit sambil mengempit ekornya yang panjang.�
"Jangan khawatir engkau kehilangan binatang buruanmu. Biarlah aku membantumu." Seru Pangeran Jayakusuma. Dan tiba-tiba saja ia sudah berada disampingku. Melihat ia sama sekali tidak bersenjata, segera aku mencegah :
"Jangan ! Kedua harimau itu terlalu galak."
Ia tidak menghiraukan. Ia melompat menghadang arah larinya harimau yang kugebuk tadi. la memukulkan tangannya ke arah kepala harimau. Tepat sekali pukulannya. Dan raja hutan itu terguling di atas tanah dengan menggerung. Dengan pandang beringas, binatang itu siap menerkamnya kembali. Pangeran Jayakusuma nampak keheran-heranan. Rupanya ia telah menggunakan setengah tenaganya sewaktu melepaskan pukulannya. Mungkin sekali pukulannya itu merupakan pukulan
andalannya. Katakan saja, barang siapa kena pukulannya pasti akan hancur tulang-belulangnya. Tetapi kepala harimau sangat keras. Meskipun pukulannya tepat, binatang itu hanya terguling saja.
"Bagus !" Seru Pangeran Jayakusuma dengan suara girang. Sewaktu harimau menerkamnya, ia melompat ke samping sambil melepaskan pukulan dengan tangan kirinya yang tepat sekali mengenai punggung. Pukulan itu lebih dahsyat dibandingkan dengan pukulannya yang pertama. Seketika itu juga harimau roboh dengan terhuyung-huyung. Lalu lari ketakutan.
Sudah barang tentu Pangeran Jayakusuma tidak sudi kehilangan binatang yang sudah dikalahkannya. Cepat sekali ia memburunya. Dengan sekali tangkap, ia menarik ekornya dan ditariknya. Tangan kirinya menghentakkannya ke udara sambil membentak. Dan harimau itu terpental tinggi di udara.Tatkala itu aku sedang bertempur seru melawan harimau lainnya dengan tombakku. Begitu melihat Pangeran Jayakusuma dapat melemparkan seekor harimau ke udara, hatiku kaget bukan main. Pandang mataku kulayangkan dan melihat harimau yang melambung tinggi di udara itu membuka mulutnya memperlihatkan taring dan mengeluarkan kukunya. Tetapi Pangeran Jayakusuma sama sekali tidak gentar. Sekarang ia melepaskan pukulan dengan kedua tangannya. Pukulannya tepat mengenai perut. Hebat akibatnya.
Perut harimau merupakan tempat yang lunak. Dan rupanya kali ini Pangeran Jayakusuma mengerahkan tenaganya benar-benar. Mungkin delapan atau sembilan bagian. Dan kena pukulannya, perut harimau itu meledak. Dengan suara meng-gabruk, harimau itu terbanting diatas rerumputan. Setelah berkelojotan sebentar, ia mati tak berkutik lagi.
Tigapuluh tahun lebih aku menjadi seorang pemburu. Selama itu belum pernah aku menyaksikan seorang yang dapat membunuh seekor harimau hanya dengan tangan kosong. Benar-benar aku heran dan kagum. Pikirku, aku membawa senjata. Kalau tidak dapat membunuh harimau yang menyerang diriku, aku bakal ditertawakan orang.
Segera aku mengerahkan tenagaku. Tombak kuputar ke kiri dan ke kanan. Dan entah berapa kali aku akhirnya berhasil menikam harimau itu. Mungkin sekali oleh rasa takut, binatang itu menjadi kalap. Dengan menyeringai ia memperlihatkan taringnya yang putih menyeramkan. Kemudian menubruk diriku dengan cepat sekali.
Buru-buru aku mengelakkan tubrukan itu dengan melompat ke samping. Kemudian kutikamkan tombakku kembali dan tepat mengenai lehernya. Tanpa ampun lagi, harimau itu terjungkal dengan menggerung dahsyat. Tetapi aku tidak memberinya kesempatan lagi. Kutanamkan ujung tombakku di dalam tanah, sehingga binatang itu terpantek kuat-kuat. Dan melihat hal itu,
rupanya Pangeran Jayakusuma dapat menghargai kebisaanku. Wajahnya berseri-seri.
Sementara itu, harimau yang terpantek tombakku, meronta-ronta. Keempat kakinya mencakar-cakar sejadiyadinya. Aku tidak melayaninya lagi, kecuali mempertahankan tancapan tombakku ke dalam tanah. Akhirnya binatang itu tidak bergerak lagi. Dan matilah dia.
"Kau gagah perkasa. Siapa namamu ?" Pangeran Jayakusuma menyapa padaku.
Dengan hati girang aku menjawab :
"Kebo Asem. Kau siapa ?"
"Aku Jayakusuma."
"Jayakusuma ? Maksudmu putera Sri Baginda Raja ?" Aku menegas.
Dia tertegun sejenak. Lalu tersenyum. Katanya :
"Kau kenal aku ?"
Aku terkejut bercampur girang mendengar pengakuannya. Itulah suatu kehormatan besar bagiku, bahwa aku bisa berbicara berhadap-hadapan, dapat bertatap muka dengan seorang pangeran yang sudah kukagumi semenjak lama. Mimpipun aku tidak berani, bahwa pada suatu kali aku akan berkenalan dengannya."
Maaf, rupanya Pangeran Jayakusuma kelaparan. Begitu aku mempersilahkan agar memanfaatkan hasil buruannya, wajahnya nampak girang. Dengan tenaganya yang kuat, ia menyobek paha harimau. Kemudian dipanggangnya di atas perapian yang baru saja kubuat. Menyaksikan caranya menyobek paha harimau seperti merenggut paha ayam, aku makin kagum namun ia tidak memperhatikan rasa kagumku terhadapnya. Dan begitulah kami berkenalan...................�
"Hebat! Bagus !" sru Gajor Lawang Pamokswa. "Ceritamu enak didengar. Sebenarnya apa sih maksudmu ?"
Kebo Asem tidak senang ditegor Gajor. Wajahnya berubah. Sahutnya dengan suara tertahan :
"Maksudku sudah jelas. Kau tadi berkata pernah bergaul dengan Pangeran Jayakusuma. Kalau betul, coba tunjukkan padaku di mana Pangeran Jayakusuma berada."
Gajor tidak segera menanggapi. Ia tertawa terbahak-bahak sambil menyemburkan ludahnya. Sejenak kemudian berkata mengejek :
"Kau mengaku bernama Kebo Asem. Tetapi selama hidupku belum pernah aku mendengar seorang pemburu jempolan bernama begitu. Kau mengaku mempunyai tenaga hebat Bagaimana aku harus percaya bunyi mulutmu ?"
Tutur-kata Kebo Asem memang berkesan terlalu mengagung-agungkan diri sendiri. Sebenarnya tidak hanya Gajor seorang yang menyangsikan. Mereka semua sangsi pula, kalau tidak boleh dikatakan tidak percaya. Tetapi mereka pandai menyimpan keadaan hatinya. Selagi mereka semua dalam keadaan demikian, sekonyong-konyong terdengar suara seruan dari kejauhan.BERSAMBUNG..