PANGERAN JAYAKUSUMA
karya: Herman P
Seri 9"Awas'! Jangan sambut pukulan mereka ! Tuntun ke batang pohon !" seru Ki Ageng Cakrabhuwana melalui getaran udara kosong.
Peringatan itu menyadarkan Pangeran Jayakusuma. Segera ia memusatkan getaran Ilmu Godhakumara. Yang melepaskan pukulan pertama adalah Nayaka Madu yang segera disusul gempuran Durgampi. Secepat kilat Pangeran Jayakusuma membelokkan arah pukulan Nayaka Madu ke batang pohon.
Krak ! Dan pohon itu patah dengan suara berderak-derak. Demikian pulalah pukulan Durgampi dibelokkan menghantam sebatang pohon di sebelahnya. Akibatnya benar-benar menggeridikkan bulu roma. Sebab kedua batang pohon itu, tidak hanya patah saja tetapi seluruh daunnya layu seperti terjilat api. Sedang batangnya meluruk runtuh menjadi seunggun abu. Bisa dibayangkan betapa akibatnya bila mengenai dirinya yang terdiri ilari darah dan daging.
"Ih!" Pangeran jayakusuma terkejut. "Mengapa mereka masih mampu memiliki tenaga begini dahsyat ?"
Tetapi rasa terkejut Pangeran Jayakusuma hanya sepintas saja. Memang ia seorang pemuda yang berani dan tak kenal takut. Dalam keadaan terancam bahaya, justru penyakit ugal-ugalannya kumat. Sewaktu Nayaka Madu dan Durgampi membalikkan badannya untuk menyerang kembali, ia menyalurkan lingkaran jurus adu-domba.
Bluk ! Mereka saling menghantam. Tepat pada saat itu, Pangeran Jayakusuma berseru :
"Nayaka Madu ! Durgampi! Kalian menghendaki Kitab Ilmu sakti Pancasila, bukan ? Nih......kitab itu ada padaku! Hayo siapa yang menang, dialah pewarisnya. Gempur !"
Demi memperoleh kitab sakti itu, Nayaka Madu dan Durgampi sampai hati membunuh gurunya sendiri. Dan demi memperoleh kitab sakti itu, Nayaka Madu sampai hati pula membunuh putrinya sendiri Sekarang, Pangeran Jayakusuma menyebut-nyebut kitab sakti itu. Diluar kehendaknya sendiri mereka menoleh kepada Pangeran Jayakusuma seolah-olah ingin mendapat keyakinan. Namun yang lebih mengherankan, apa sebab masing-masing tetap utuh dan sama sekali tidak terluka ? Pangeran Jayakusuma yang cerdik luar biasa segera mengoceh :
"Nayaka Madu, kau tak percaya ? Nih, lihat! Sayang, tinggal sebagian. Dulu kena rampas Durgampi, adik-seperguruanmu yang setia dan berbakti kepadamu."
"Apa ?" Kedua gundu mata Nayaka Madu berputar-putar. "Sebagian apa ?"
"Tentu saja bagian kunci rahasianya."
"Apakah betul ?" teriak Nayaka Madu kalap. Segera ia memutar pandang matanya.
"Bangasat ! Kau mengacau !" teriak Durgampi. Dengan menggerung ia melompat sambil mengayunkan pukulannya.
Pangeran Jayakusuma bergeser tempat sambil menuntun tenaga pukulan Durgampi berputar arah. Bluk ! Pukulannya mendarat di tubuh Nayaka Madu. Begitu hebat pukulannya sampai Nayaka Madu jatuh terpental
"Nah, betul atau tidak ? Dia sangat berbakti kepadamu, bukan ? Saking berbaktinya sampai hati memukulmu ? Hebat! Sungguh hebat! Lagaknya seperti hendak memukulku, nyatanya engkau yang terpukul" Pangeran Jayakusuma mengusutkan pikiran Nayaka Madu.
Memang Ilmu Godhakumara memiliki keistimewaannya sendiri. Lawan yang sudah terlanjut termakan ucapan lawannya, pikirannya akan susut. Dahulu Durgampi pemah mengalami begitu juga sewaktu bertanding melawan Pangeran Jayakusuma di Kapatihan. Ia seperti terkena sihir. Demikian pula Nayaka Madu pada saat itu. Ia kehilangan akal sehatnya. Apalagi ia membuktikan sendiri, betapa hebat Durgampi menghantam dirinya. Terus saja ia meletik bangun dan membalas menyerang.
�Tahan !" Durgampi memekik. "Jangan percaya mulutnya yang kotor ! Kau kena dilagui. Mana mungkin aku............"
Bluk !
Tak sempal Durgampi menyelesaikan ucapannya. Tahu-tahu pukulan Nayaka Madu sudah menggebuk dirinya. Durgampi tahu, tak bisa ia meluruskan jalan pikiran Nayaka Madu secepat kehendaknya. Dengan menahan sakit, ia memeluknya kencang-kencang. Hatinya sedih luar biasa, karena kakaknya seperguruan yang dihormati kini berubah sikap. Sebaliknya, keadaan hati demikian, merupakan pantangan besar bila menghadapi Ilmu Godhakumara. Ia bakal termakan oleh kesaktian Ilmu Godhakumara. Pangeran Jayakusuma yang cerdik, tidak sudi menyia-nyiakan keadaan hati Durgampi. Terus saja ia berteriak nyaring :
"Durgampi, kau ini benar-benar tolol ! tak ada gunanya engkau menyandang sebutan pendeta saleh dan mengangkat diri menjadi seorang guru besar. Mmamkan engkau tidak mengerti maksudku ? Yang kumaksudkan dengan istilah kena rampas justru untuk menyadarkan betapa engkau sudah kena tipu-muslihat kakak seperguruanmu yang jahat itu. Masakan engkau tidak tahu? Kunci rahasia itu, disimpannya di dalam peti mayat puterinya." Dalam hal ini, Pangeran Jayakusuma tidak berdusta. Akan tetapi maknanya mengandung bisa, karena dengan sesungguhnya Nayaka Madu tidak mengetahui.
"Apa ?" Durgampi terperanjat. Dasar keadaan hatinya sudah tergoncang dan kata-kata Pangeran Jayakusuma masuk akal, seketika itu juga Ilmu sakti Godhakumara mulai merenggut kesadarannya.
"Biadab ! Jahanam !" maki Durgampi "Jadi sudah sekian lamanya aku kau kelabui ? Bagus, bagus ! Kau anggap mataku sudah buta dan pikiranku tumpul, ya ? Apakah di dunia ini, cuma kau seorang yang pandai main tipu-muslihat ? Sekarang, rasakan pembalasanku !"
Durgampi kemudian mengerahkan seluruh tenaganya untuk meluluhkan tubuh Nayaka Madu. Tentu saja Nayaka Madu yang sudah termakan Ilmu sakti Godhakumara makin yakin, bahwa Durgampi sudah mengkhianatinya semenjak lama. Segera ia bertahan, lalu menjejakkan kakinya berbareng menggulingkan badannya. Kedua saudara seperguruan itu, lalu bergumul mati-matian berebut unggul
Pangeran Jayakusuma tidak perlu lagi mengirimkan gelombang Ilmu Godhakumara melalui getaran tenaga manunggalnya Ilmu sakti Pancasila. Kedua orang itu pasti akan saling membunuh. Ia kini mulai memecahkan teka-teki apa sebab masing-masing bisa bertahan terhadap pukulan beracun yang dahsyat luar biasa itu. Sekian lamanya ia mencoba mencari jawabannya, namun tetap tak berhasil. Sekonyong-konyong ia mendengar suara seruan tertahan. Ia menoleh dan melihat rombongan Kebo Dungkul, Carangsari dan Harya Panular berdiri beijajar jauh di sana. Mereka terheran-heran dan terperanjat menyaksikan betapa hebat akibat pukulan Nayaka Madu dan Durgampi yang mampu menghancurkan batang pohon menjadi seonggok abu. Lalu makin heran dan kagum menyaksikan betapa mudah Pangeran Jayakusuma mentaklukkannya.
"Anak muda ! Masih saja kau kira tepung racun ?" terdengar suara Ki Ageng Cakrabhuwana. �Itulah tepung Lingamanik. Barangsiapa yang dapat menghirup tepung itu akan memiliki
tenaga sedahsyat tenaga Nagasena. Apakah anda mengenal sejarah dua nama yang kusebutkan ini ?"
"Belum, belum." Pangeran Jayakusuma ingin tahu. Dan biasanya ia jadi bernafsu.
"Dengarkan saja dengan hati tenang agar anda tidak kehilangan kewaspadaan. Memang, sekarang mereka saling baku hantam karena pengaruh getaran pancaran Godhakumara. Tetapi Godhakumara sudah anda tarik. Bukan mustahil mereka bisa merebut kesadarannya kembali."
Pangeran Jayakusuma mengangguk. Dalam hati ia heran. Ki Ageng Cakrabhuwana ternyata mengenal Ilmu Godhakumara warisan Kebo Talutak. Mengingat Kebo Talutak memperoleh ilmu itu dari salah seorang yang menamakan diri Lawa Ijo, bukan mustahil pula bila Ki Agung Cakrabhuwanalah yang mewariskan ilmu sakti itu kepada Kebo Talutak. Kalau tidak, bagaimana mungkin dapat mengenal getaran sakti itu yang tiada nampak oleh pandangan mata dengan sekali melihat. Durgampi dan Nayaka Madu yang berilmu tinggi saja tidak mampu menyadari. Dalam pada itu, Ki Ageng Cakrabhuwama mulai menerangkan tentang tepung Linggamanik dan tenaga Nagasena melalui gelombang suara. Katanya:
"Tersebutlah seorang bidadari bernama Kadru. Dia puteri Hyang Daksa yang kawin dengan Resi Kasyapa dan melahirkan bangsa taksaka (ular). Salah seekor ular anak keturunannya ada yang bernama Nagasena. Nagasena ingin beralih wujud manusia. Demi mencapai keinginannya itu, ia bertapa ratusan tahun lamanya memohon kemurahan Hyang Widdhi dengan mulut ternganga menghadap ke atas. Pada suatu ban, mulutnya yang terbuka lebar kemasukan suatu benda. Itulah Cupu Linggamanik. Segera ia membawa Cupu Linggamanik menghadap Hyang Pramesthi Guru. Raja Dewa itu menerima cupu persembahannya, namun masih ingin mengujinya. Nagasena kemudian diuji apakah mampu menyangga bumi. Ternyata dia mampu menjadi
penyangga bumi puluhan tahun lamanya. Kalau begitu, Cupu Linggamanik adalah haknya. Sekiranya tidak, mustahil mampu menyangga bumi. Nagasena kemudian dipanggil menghadap. Cupu Linggamanik dibuka dan tiba-tiba menyeburkan tepung berhamburan. Tebaran tepung itu masuk ke dalam mulut Nagasena, sebagai haknya. Selanjutnya, Nagasena dapat merubah diri berwujud manusia yang kelak kita sebut dengan nama Hyang Anantaboga. Kerapkali Hyang Anantaboga alias Nagaseha turun ke bumi. Oleh sukacitanya, tepung tenaga sakti itu diamalkannya kepada para brahmana. Rupanya Durgampi yang mengenakan pakaian pendeta itu mendapat bagiannya, entah melalui siapa. Mungkin diperolehnya dari gurunya atau hasil curian dari orang sakti. Bukan mustahil pula, sang pemberi berkenan memberikan tepung Linggamanik kepadanya dengan tututan agar mulai hari itu ia harus hidup sebagai seorang pendeta. Sang pemberi pasti bermaksud mulia. Paling tidak berharap semoga Durgampi benar-benar hidup dan berhati seorang Brahmana..........�
Pangeran Jayakusuma memanggut-mangguL Sekarang semuanya menjadi jelas. Pantas Durgampi rela merusak senjata andalannya sendiri. Tak tahunya, tepung yang dikiranya racun berbahaya, sesungguhnya adalah semacam racun sakti yang dapat menambah tenaga manusia. Tidak mengherankan, pukulannya sangat dahsyat. Pukulan dahsyat yang dibarengi dengan ramuan racun jahat Dengan begitu, ia salah tebak. Hanya saja masih ada satu pertanyaan yang belum memperoleh jawaban. Ialah, dari mana dia memperoleh tepung Linggamanik itu. Nayaka Madu nampaknya hanya mengetahui, akan tetapi tidak memiliki. Apakah justru hasil dari kerja-sama mereka ?
Pangeran Jayakusuma tidak mau membiarkan dirinya terlibat dalam teka-teki itu. Asalkan mereka dapat ditawan hidup-hidup, semuanya akan jadi jelas. Oleh pikiran itu ia mengirimkan suara jawaban kepada Ki Ageng Cakrabhuwana melalui getaran gelombang pula. Katanya:
"Ki Ageng, tentang tenaga sakti Nagasena hanyalah suatu dongeng. Andaikata benar, akulah orang pertama yang tidak percaya, bahwa tenaga itu tiada batasnya."
"Benar," jawab Ki Ageng Cakrabuana. "Hanya saja anda harus tetap berwaspada. Sebab macam ilmu sakti di dunia ini tergantung kepada yang menggunakan. Mereka licik, licin dan jahat Ilmu kepandaian mereka kalah jauh daripadamu. Tetapi mereka lebih berpengalaman dalam hal tata muslihat"
lak terasaPangeran Jayakusuma mengangguk membenarkan. Ucapan Ki Ageng Cakrabhuwana ternyata sama dengan kata-kata Ki Ageng Mijil Pinilih. Itulah sebabnya, segera ia memusatkan perhatiannya kembali kepada Nayaka Madu dan Durgampi yang masih saja berbaku hantam.
"Hai anak muda, benar-benarkah anda membawa Kitab Ilmu Sakti Pancasila ?" Ki Ageng Cakrabhuwana menegas.
�Benar, tetapi tidak lengkap," jawab Pangeran Jayakusuma. "Maksudku hanya berupa catatan-catatan sandi. Andaikata terampas oleh mereka, tiada gunanya sama sekali."
"Bagus ! Sengaja kutanyakan hal ini kepada anda untuk menjaga telinga-telinga yang bersembunyi."
Pangeran Jayakusuma mengerti akan maksud Ki Ageng
Cakrabhuwana. Ada pepatah, di luar langit terdapat langit. Artinya di dunia ini terdapat banyak orang pandai, yang dapat mengirimkan berita melalui getaran gelombang tidak hanya dirinya seorang dan Ki Ageng Cakrabhuwana. Bukan mustahil masih terdapat ratusan orang lagi. Kalau pembicaraannya tadi tidak dibuat jelas bisa menimbulkan suatu masalah di kemudian hari.
"Mulutku memang jahil. Biarlah aku berjanji untuk mengurangi kebiasaanku yang buruk ini." ujar Pangeran Jayakusuma.
"Bagus ! Nah, perhatikan mereka !"
Dugaan Pangeran Jayakusuma benar belaka. Pukulan-pukulan mereka kini tidaklah sedahsyat tadi. Walaupun masih meninggalkan suara gedebak-gedebuk, namun tidak berkesan mengerikan. Karena itu. mereka kini mengambil jarak dekat setelah tadi terpisah oleh gerakan saling menggulingkan lawan. Sekarang mereka mulai mencakar tak ubah dua ekor harimau memperebutkan mangsanya. Lalu bergumul lagi dan saling membanting. Nafas mereka mulai terdengar nyata. Terengah-engah dan memburu. Akhirnya mereka jatuh terduduk dan saling pandang dengan gundu mata berputaran.
Perlahan-lahan Pangeran Jayakusuma menghampiri, lalu mendongakkan kepalanya. Tiba-tiba ia memekik hebat bagaikan raungan seribu ekor singa. Hebat akibatnya. Nayaka Madu dan Durgampi tergetar roboh. Bahkan ketujuh saudara Kebo Dungkul pula. Syukur, Carangsari yang mengenal ilmu kepandaian Pangeran Jayakusuma yang tinggi sudah berjaga-jaga semenjak tadi. Dengan menarik lengan Panular, ia bersembunyi di balik batu tinggi. Lalu membekap kedua telinganya kencang-kencang, Demung Panular yang kurang cepat, pengang telinganya. Untung, ia segera menyadari. Namun tak urung, ia jadi kelihatan kuyu. Setelah Pangeran Jayakusuma menghentikan raungannya, sebelah pendengarannya jadi kurang. Merasa dirinya cacat, di kemudian hari ia merubah namanya dengan Manguyu.
Memang raungan Pangeran Jayakusuma membawa tenaga sakti ibarat dapat menggugurkan sebuah gunung. Pohon-pohon yang berdiri tegak di sekitar gelanggang pertempuran tumbang dan roboh dengan suara bergemeretakan. Pada saat itu pula, Nayaka Madu dan Durgampi menjerit tinggi. Tulang-belulangnya retak dan selanjutnya mereka menjadi cacat Meskipun demikian K Ageng Cakrabhuwana masih perlu memusnahkan himpunan tenaga saktinya dengan ketukannya yang istimewa. Dan habislah sudah semua kepandaian dua mahapendekar itu.
Dengan langkah tetap dan tenang luar biasa, Pangeran Jayakusuma menyapanya sambil mengeluarkan bungkusan tipis berisikan catatan Ilmu Sakti Pancasila, warisan Ki Agastya.
"Bagaimana ? Apakah kalian masih berani berangan-angan ingin memiliki kitab pusaka warisan guru kalian ? Andaikata kini kuberikan padamu, kurasa tiada gunanya lagi. Kalian berdua tidak lebih daripada dua ekor ular yang sudah kehilangan bisa. Kalian bisa apa lagi ?"
"Ampun.....ini semua gara-gara dia." ujar Durgampi.
"Apakah bukan engkau ?" damprat Nayaka Madu dengan suara lemah.