PANGERAN JAYAKUSUMA
karya: Herman P
Seri 8NAYAKA MADU memang orang istimewa. Ia kebal tidak hanya terhadap racun atau pukulan sakti saja, tetapi tidak mempan pula kena teguran Diah Mustika Perwita. Padahal, meskipun diucapkan
dengan suara halus, tetapi makna teguran itu sendiri cukup membuat pamornya runtuh. Sebaliknya ia hanya menanggapi dengan tertawa gelak. Sahutnya :
"Kami sih lain..... nona."
"Lain bagaimana ?"
Nayaka Madu tidak segera menjawab. Ia mempunyai perhitungannya sendiri. Sebentar tadi ia merasakan tenaga sambaran Pangeran Jayakusuma yang hebat. Mengingat pemuda itu menolong Lukita Wardhani, ia percaya kepandaiannya pasti lebih tinggi. Setidak-tidaknya setingkat. Padahal ia masih harus menghadapi Ki Ageng Cakrabhuwana. Supaya tidak terlalu membuang-buang tenaga, pemuda itu harus dirobohkan dengan cepat. Satu-satunya jalan, harus dengan cara mengerubutnya. Demikianlah setelah berdiam sejenak, segera ia tertawa lagi. Kemudian berkata :
"Kami sih lain ! kami berdua seumpama tubuh dan jiwa. Seumpama tangan dan kaki Karena kami berdua sesama perguruan. Jadi..........�
Pangeran Jayakusuma muak mendengar silat lidah Nayaka Madu yang licik. Ia kehabisan kesabarannya. Ia maju selangkah seraya membentak :
"Sambut!"
Setelah membentak demikian, ia memukul dengan salah satu jurus Ilmu sakti Pancasila. Memang sengaja ia melepaskan pukulan itu untuk mengejutkan hati mereka berdua sambil menguji himpunan tenaga saktinya. Mengingat kedua musuhnya bisa main licik, ia perlu berjaga-jaga diri pula. Seluruh tubuhnya dilindunginya dengan hawa sakti Ilmu Manunggal warisan Ki Ageng Mijil Pinilih. Ia yakin, bahwa himpunan tenaga sakti Manunggal yang murni, pasti dapat membendung terobosan hawa beracun mereka berdua.
Nayaka Madu dan Durgampi bergerak berbareng untuk menyambut pukulannya. Tetapi belum lagi pukulannya tiba, mendadak saja mereka berdua merasakan suatu gumpalan tenaga yang dahsyat luar biasa meluruk bagaikan bukit gugur. Keruan saja mereka kaget setengah mati. Melihat tangan kiri Pangeran Jayakusuma masih berada di belakang punggung, mereka curiga. Jangan-jangan pemuda itu masih menyembunyikan suatu pukulan susulan yang lebih dahsyat. Maka dengan hati mencelos, Nayaka Madu melompat ke samping, sedang Durgampi mundur berjumpalitan sambil memutar tubuhnya.
"Siapa kau ?" bentak Nayaka Madu dengan wajah heran. "Dari mana kau peroleh jurus Ilmu Pancasila itu ?"
Nayaka Madu dan Durgampi pernah berusaha membunuh gurunya, demi memperoleh Kitab Ilmu Sakti Pancasla. Gurunya dahulu pernah memperlihatkan sejurus dua jurus di hadapan ketiga muridnya. Nayaka Madu, Durgampi dan Ratu Wengker. Secara kebetulan Pangeran Jayakusuma melepaskan pukulan salah satu jurus yang dahulu pernah dipergunakan Ki Agastya menyibakkan mereka sewaktu mengerubutnya di tepi sungai. Itulah jurus yang tak pernah mereka lupakan. Maka tidak mengherankan, begitu melihat jurus pukulan Pangeran Jayakusuma, Nayaka Madu dan Durgampi segera mengenalnya.
Setelah melepaskan pukulan salah satu jurus ilmu sakti Pancasila dan melihat mereka berdua tidak berani menyambut, mantaplah hati Pangeran Jayakusuma. Kini ia tidak perlu takut terhadap pukulan-pukulan mereka yang beracun. Maka diam-diam ia sudah mengambil keputusan untuk membinasakan mereka. Pikirnya : "Apa perlu aku mencoreng mukaku sendiri ? Biarlah mereka mati tak penasaran."
Memperoleh pikiran demikian, perlahan-lahan Pangeran Jayakusuma mengusap wajahnya yang sebentar tadi dipolesnya dengan abu api. Pangeran Jayakusuma berada di luar semenjak
embun masih menutup seluruh alam. Wajahnya cukup basah, walaupun kini matahari sudah memancar cerah di udara. Bekas embun itu membantu memudahkannya mengusap polesan wajahnya. Sekarang, meskipun wajahnya masih kotor, namun wajah aslinya sudah cukup nyata.
"Bagaimana ? Apakah engkau mengenal wajahku ?"
Dengan mata terbelalak Nayaka Madu menatap wajah Pangeran Jayakusuma. Kemudian dengan suara gemetaran ia menuding sambil membentak:
"Kau......? Kau......? Jadi kau benar-benar masih hidup ?"
Terhadap mereka berdua, Pangeran Jayakusuma pernah mengadu kekuatan. Dahulu ia bukan tandingannya. Tetapi kini ia merasa diri memiliki tenaga sakti jauh melebihi mereka berdua. Sebaliknya kedua lawannya itu, bukan manusia sembarangan. Ki Ageng Mijil Pinilih dahulu mengesankan hal itu berulangkalL Apa yang harus dijaganya adalah tipu-muslihalnya yang licin dan keji luar biasa. Karena itu, Pangeran Jayakusuma tidak berani lengah sedikitpun. Sebab salah langkah sedikit saja akan bisa berakibat hebat
"Nayaka Madu !" sahutnya. "Kau benar-benar manusia yang tidak kenal budi. Ayahandaku memperlakukanmu sebagai salah seorang nayakanya yang terhormat. Almarhum eyang Gajah Mada memberi kedudukan yang bagus dan menghormatimu pula. Sebaliknya terhadap mereka berdua, engkau berkhianat. Kaupun seorang manusia jahanam yang sampai hati membunuh gurumu sendiri. Padahal gurumu menganggap engkau sebagai anak-asuh yang tiada bedanya dengan anak sendiri. Kaupun sampai hati pula membunuh puterimu sendiri karena gila harta dan berangan-angan menjadi maharaja diraja. Hm, kau heran ? Kau heran, bukan ? Kau heran dari mana aku mengetahui semuanya ini. Apakah engkau masih ingat kepada seseorang yang bersedia menjadi menantumu yang berbakti, tetapi sebaliknya malahan kau penjarakan dan kau siksa melebihi binatang ?"
"Jahanam !" bentak Nayaka Madu dengan menggerung. Dan dengan mata hampir terbalik, ia menyerang Pangeran Jayakusuma tak segan-segan lagi. Hal itu mudah dimengerti, karena dirinya kena ditelanjangi mentah-mentah. Tak terkecuali Durgampi yang ikut menanam saham, tersinggung pula kehormatannya. Sedang-kan selama hidupnya, ia berlagak sebagai seorang pendeta yang saleh. Diapun segera membarengi serangan kakaknya seperguruan dengan pukulan maut.
Menghadapi mereka berdua, Pangeran Jayakusuma tidak berani main coba-coba. Ia memang seorang pemuda yang berhati berani dan seringkali main coba-coba menghadapi lawan betapa beratpun. Akan tetapi kali ini, dia tidak berani semberono. Dengan segera, ia mempertahankan dih dengan pukulan-pukulan Ilmu Pancasila dalam bentuk lingkaran. Kedudukannya teguh dan garis pembelaannya hampir tidak dapat tertembus. Sebenarnya Ilmu Pancasila bukan sekedar jurus-jurus mentah. Tetapi mengandung hawa sakti yang dibangunkan jnula-mula dengan mantram-mantram pembangkit tenaga hidup. Setelah berlatih tekan beberapa tahun lamanya, mantram-mantram pembangkit tenaga hidup sudah sejiwa, sudah manunggal atau sudah mendarah daging dalam dirinya. Tidak lagi ia perlu mengucapkan mantram saktinya. Tetapi sudah bergerak dan bangkit dengan sendirinya sejalan dengan kehendak hatinya.
Pada hakekatnya, rahasia ilmu sakti Pancasila terletak pada cara mengerahkan tenaga sakti yang berwujud kesatuan hawa, api dan angin. Karena kedua kaki Pangeran Jayakusuma menginjak bumi, maka anasir bumi ikut bergabung menjadi satu kesatuan. Bila berada dalam air, anasir air ikut pula. Maka bisa dibayangkan, betapa hebatnya ! Panca artinya lima. Sila bermakna dasar, yang dimaksudkan dasar lima ialah : anasir bumi, air, api, angin dan hawa. Tidak mengherankan, selain berat luar biasa mengandung unsur panas dan dingin yang silih berganti. Sedang anasir angin dan hawa bekerja sebagai gelombang yang menghantam dan menghisap. Tidak
mengherankan, bahwa pukulan demikian merupakan sarana yang sangat tepat untuk membendung dan menyirnakan pukulan-pukulan hawa yang mengandung racun.
Hampir empat tahun lamanya, Pangeran Jayakusuma mendalami Ilmu Sakti Pancasila yang tersurat di dinding goa Kapakisan. Dan inilah untuk yang pertama kalinya, ia menggunakan ilmu sakti itu terhadap lawannya yang seimbang. Mula-mula ia merasakan suatu kecanggungan, namun lambat-laun terasa menjadi lancar. Hatinya lantas saja menjadi gembira. Serengat tempurnya menyala-nyala mengandung rasa gairah. Ia tahu, bahwa mereka berdua merupakan dua jago yang jarang tandingnya di dunia. Setelah merobohkan mereka, tidak gampang-gampang ia dapat bertemu lagi dengan lawan yang sebanding dengan mereka untuk bisa dipergunakan sebagai kawan berlatih. Itulah sebabnya, meskipun hatinya penuh dendam kesumat, tak ingin ia merobohkan mereka dengan tergesa-gesa.
Dalam pada itu Ki Ageng Cakrabhuwana sudah dapat menangkap sembilan bagian penjelasan Pangeran Jayakusuma terhadap Nayaka Madu dan Durgampi. Ia bersalut hati, karena adik-seperguruannya ternyata gugur oleh tangan jahat mereka. Menuruti kata hati, ingin ia masuk ke dalam gelanggang untuk menuntut dendam adik-seperguruannya. Bukankah mereka berdua juga. Akan tetapi melihat gerakan-gerakan Pangeran Jayakusuma yang aneh dan indah luar biasa, ia jadi kagum. Pikirnya di dalam hati: "Bukan main hebat pemuda ini. Sewaktu berumur seusianya, belum dapat aku memiliki ilmu kepandaian dan kesaktian sehebat dia."
Dengan peragaan kagum ia menoleh kepada Diah Mustika Perwita untuk memperoleh keterangan yang lebih banyak tentang diri Pangeran Jayakusuma. Tiba-tiba ia melihat Diah Mustika Perwita menggigil dan hampir tidak kuat menyangga tubuh Lukita Wardhani.
"Ih, celaka !" Ki Ageng Cakrabhuwana mengeluh. "Inilah akibat hawa beracun Calon Arang yang bersarang di dalam tubuh Lukita Wardhani. Kena sentuh hawa beracun itu, Diah Mustika Perwita tidak dapat mempertahankan diri.
Hal itu terlihat pula oleh Pangeran Jayakusuma. Segera ia menambah tenaga pukulannya. Maksudnya agar dengan segera dapat menindih tenaga gabungan Nayaka Madu dan Durgampi. Sebaliknya Nayaka Madu dan Durgampi yang licin, dapat menangkap maksud Pangeran Jayakusuma. Terus saja Nayaka Madu berseru kepada Durgampi :
"Janapati! (nama Durgampi semasa mudanya) Hayo mundur bergantian ! Perempuan siluman itu sudah hampir mampus. Jangan diberi kesempatan untuk menolongnya."
"Bagus !" sahut Durgampi sambil melompat ke luar gelanggang. Kemudian ia mengeluarkan penggada andalannya. Setelah itu ia menyerang Pangeran Jayakusuma menggebu-gebu. Pangeran Jayakusuma mendongkol. Segera ia merangsak dan menggempur dengan pukulan-pukulan pendek. Himpunan tenaga saktinya dikerahkan penuh-penuh, sehingga nafas kedua lawannya menjadi sesak. Terus saja Nayaka Madu menikamkan pedang gergajinya.
Meskipun mereka berdua sudah bersenjata, namun tak dapat merobohkan Pangeran Jayakusuma. Malahan mereka merasa tak dapat berbuat lebih banyak. Sekalipun demikian, kedudukannya agak lumayan juga. Artinya setidak-tidaknya mereka bisa mempertahankan diri sambil merintangi gerakan pemuda itu yang bermaksud menolong Diah Mustika Perwita dan Lukita Wardhani.
"Tak usah gelisah, anak muda !" tiba-tiba terdengar suara masuk ke dalam gelanggang. "Serahkan saja kepadaku !"
Mendengar suara itu, Pangeran Jayakusuma girang bukan-kepalang. Itulah suara Ki Ageng Cakrabhuwana yang kini ikut
menyingsingkan lengan hendak menolong Diah Mustika Perwita dan Lukita Wardhani. Dengan begitu tiada alasan lagi untuk berkhawatir. Sebaliknya, Nayaka Madu dan Durgampi memaki-maki setinggi langit. Mulutnya menyumpah serampah sampai tujuh turunan.
"Bangsat ! Monyet ! Iblis !" mereka memaki dengan berbareng.
Pangeran Jayakusuma adalah seorang pemuda yang berhati panas bila menghadapi perlakuan yang keras dan kasar. Sebaliknya bisa menjadi lembut manakala berhadapan dengan orang yang bisa berkata dan bersikap selembut salju. Nayaka Madu dan Durgampi kini memakinya sebagai bangsat, monyet dan iblis. Keruan saja mulut jahilnya kambuh kembali. Terus saja ia menyahut dengan mengulum senyum :
"Siapa yang memaki ?"
"Aku ! Aku !" sahut Nayaka Madu dan Durgampi hampir berbareng.
"Berapa jumlah hidung kalian ?"
"Monyet, tentu saja satu !"
"Berapa mulut kalian ?"
"Satu."
"Oh begitu ?" Pangeran Jayakusuma mulai mengejek."Akupun berhidung dan bermulut satu. Sama, kan ? Kalau kalian memakiku kaya monyet, bangsat dan iblis, maka kalianpun sama juga."
"Apa ?" bentak Nayaka Madu dengan mata melotot "Aku bangsat ?"
"Ya. Sama dengan aku."
"Aku monyet sama dengan aku."
"Aku iblis ?"
"Ya. Sama dengan aku. Cuma masih ada bedanya�.
"Apanya yang berbeda ?" Durgampi menimbrung.
"Karena kalian berhidung dua dan bermulut dua, maka kalian bangsat besar, monyet gede dan iblis babi."
Dimaki sebagai bangsat besar, monyet gede dan iblis babi, Durgampi yang sehari-harinya hidup sebagai seorang pendeta saleh, berjingkrak sambil menggempur :
"Anjing kau ! Lebarkan matamu! Bukankah hidungku satu ?�
"Ha haa......" Pangeran Jayakusuma tertawa terbahak-bahak sambil menangkis. "Coba kalian saling pandang! Nah, bukankah jumlah kalian dua orang ? Masakan dua orang berhidung satu dan bermulut satu."
Didebat demikian, Nayaka Madu dan Durgampi memaki-maki lagi setinggi langit:
"Anjing!"
"Kalian anjing buduk !" Pangeran Jayakusuma membalas.
"Setan !"
"Kalian setan kembar !"
Durgampi akan mengumbar mulutnya, tiba-tiba teringatlah dia kepada peristiwa yang terjadi di Kepatihan. Anak murid Narasinga kena dipermainkan Pangeran Jayakusuma pula. Dialah Ganggeng Kanyut Bahkan tidak hanya ganggeng Kanyut saja, dirinyapun pernah kena selomot sehingga roboh dalam gelanggang perebutan (baca kembali jilid 12 halaman 76). Teringat pula, bahwa pemuda itu selain banyak akalnya juga memiliki ilmu sakti beraneka ragam, bulu kuduknya meremang dengan tak dikehendaki sendiri.
"Kakang Nayaka Madu! Hati-hati menghadapi orang ini! Dia memiliki ilmu siluman. Lengah sedikit kita bakal jadi makanan empuk baginya. Mari kita bergabung !" ajak Durgampi.
Ajakan Durgampi ini dilatar-belakangi penstiwa yang dialaminya sendiri sewaktu bertempur dengan Pangeran Jayakusuma. Pemuda itu bisa bergerak begitu cepatnya, sehingga dengan tiba-tiba saja dapat menusuk dari belakang punggungnya. Pada waktu itu, kepandaian Pangeran Jayakusuma tidak sehebat sekarang. Meskipun demikian, masih bisa ia merobohkannya. Maka satu-satunya cara untuk membuyarkan kecerdikan dan kecepatannya, perlu ia bersiaga terhadap jurus serangan yang datang dari belakang punggung.
Nayaka Madu percaya kepada kecerdikan adiknya seperguruan itu. Ajakan itu, pasti ada alasannya. Maka tanpa menengok segera ia menjawab :
"Kau lakukan saja apa yang kau rasa lebih baik !"
Durgampi segera menggempur Pangeran Jayak usuma dengan pukulan berantai Lalu melompat secepat kilat ke belakang punggung kakaknya seperguruan. Sebelah tangannya segera menempel ke punggung Nayaka Madu untuk melipat gandakan tenaga kakaknya seperguruan. Sedang sebelah tangannya berjaga-jaga menghadapi serangan mendadak yang datang dari belakang. Tongkat Ki Raganatha tadi kena dirampas Pangeran Jayakusuma. Tetapi kemudian dibuangnya sewaktu menolong lukita Wardhani ke luar gelanggang. Dengan begitu ia mempunyai kesempatan untuk memungut kedua senjatanya kembali. Namun demi mengangkat derajat sendiri, ia menyimpan kedua senjata andalannya, karena Pangeran Jayakusuma masuk ke dalam gelanggang tanpa senjata. Demikian pulalah yang dilakukan nayaka Madu. Akan tetapi kali ini, tidak demikian Mereka sudah menggabungkan himpunan tenaga saktinya yang sudah dilatihnya bertahun-tahun lamanya. Menghadapi musuh tangguh, Durgampi bertugas menyalurkan tenaga sedangkan
Nayaka Madu harus menggunakan pedang gergajinya demi menjangkau gerakan lawan. Maka dengan pedang gergajinya yang istimewa itu, ia menerjang maju dengan tenaga gabungan yang dahsyat luar biasa.
Pangeran Jayakusuma terkejut. Tetapi sebagai seorang pemuda yang berbakat dan terlalu berani, masih saja ia mencoba mengukur betapa makna tenaga gabungan mereka. Dengan sebelah tangannya ia menangkis dengan menggunakan tujuh bagian tenaga saktinya. Ternyata ia terpental setengah langkah. Justru demikian ia jadi teringat akan pengalamannya sendiri sewaktu bertempur melawan Durgampi sampai merobohkannya. Waktu itu, Durgampi mengaku sebagai murid Brajamuka dan memiliki ilmu himpunan tenaga raksasa bernama Kalalodra. Ia sendiri menggunakan ilmu sakti Godhakumara ajaran Kebo Talutak. Dan dengan ilmu sakti itu, ia dapat memusnahkan himpunan tenaga sakti Kalalodra. Setelah kini ia mengantongi Ilmu sakti Pancasila, apakah ilmu Kalalodra masih berlaku ? Seperti diketahui, semenjak dulu Pangeran Jayakusuma gemar main coba-coba alias gemar menciptakan resep sendiri. Segera ia memusarkan pikirannya untuk mengingat-ingat mantram ilmu sakti Godhakumara. Mendadak saja baru berjalan sedetik dua detik, tubuhnya meremang dan ia merasakan sendi tubuhnya tergoncang dan dalam. Tak usah dijelaskan lagi, itulah akibat himpunan tenaga sakti Pancasila yang sudah manunggal dalam dirinya. Pada hakekatnya seluruh ilmu sakti di persada bumi ini bersumber pada sumber yang satu. Itulah hidup yang meliputi seluruh alam mya. Hidup yang bentar dan manunggal dalam rasa setiap benda di seluruh jagad. Sedangkan Ilmu sakti Pancasila, sesungguhnya adalah ilmu manunggal dengan Sang Hidup itu sendiri. Tidak mengherankan, bahwa getarannya dapat digunakan untuk memakai atau menjinakkan tiap macam ilmu di manapun berada.
Sayang, pandang mata Durgampi teraling-aling gerakan tubuh Nayaka Madu sehingga tidak tertembus oleh pancaran Ilmu
Godhakumara. Bahkan tenaga gabungan mereka kian menjadi-jadi dan dengan berani Nayaka Madu mengambil inisiatif untuk menyerang. Tetapi Pangeran Jayakusuma tidak kurang akal Godhakumara, kini digunakan untuk memisahkan tenaga gabungan mereka. Tiuuuuuuuunnng..........seperti dinding baja penabas batu karang, pancaran ilmu sakti Godhakumara menyekat saluran tenaga Durgampi
Blang !
Nayaka Madu kaget setengah mati. Ibarat sopir truk menginjak rem blong, ia menyelonong ke depan tanpa tenaga tambahan. Sudah begitu. Pangeran Jayakusuma membarengi dengan pukulan telak. Duk ! Seketika itu juga, tubuhnya terpental membentur Duigampi yang sedang sempoyongan pula. Gabrus! Dan kedua-duanya jatuh terkapar seperti dua ekor domba sedang beradu kepala.
"Bagaimana tuan-tuan ?" ejek Pangeran Jayakusuma. "Hayo bangun, sayang ! Ayahmu sedang menunggu."
Pangeran Jayakusuma memang tidak bermaksud hendak membunuh mereka secepat-cepatnya. Ia main menggunakan mereka berdua untuk menguji kemampuan diri. Sebaliknya kejadian itu hampir-hampir saja menerbangkan semangat hidup Nayaka Madu dan Durgampi. Sebab andaikata Pangeran Jayakusuma melompat maju untuk mengulangi pukulannya sebentar tadi, mereka akan mampus tanpa dapat berbuat sesuatupun.
"Kakang!" seru Durgampi dengan nafas memburu. "Bocah itu memang mempunyai ilmu siluman. Betul tidak, kataku tadi ?"
Dengan menahan rasa nyeri, Nayaka Madu bangun tertatih-tatih yang segera diikuti Durgampi. Dengan suara mendongkol Nayaka Madu menyahut:
"Bagus ! Jadi dia mempunyai ilmu siluman ?"
"Kau sangsi ?"
"Kalau begitu, siluman bertamu siluman !"
"Betul, betul! " Durgampi tertawa terbahak-bahak.
Semenjak tadi, Pangeran Jayakusuma sudah berjaga-jaga. Ilmu kepandaian mereka masih kalah jauh dengan ilmu sakti Pancasila. Akan tetapi ia harus pandai-pandai menjaga diri terhadap racun dan tipu-muslihat mereka. Dasar otaknya encer dan cerdas ia curiga terhadap bunyi kata-kata Nayaka Madu dan perubahan sikap Durgampi yang mendadak saja bisa tertawa terbahak-bahak. Segera ia bermaksud untuk mundur selangkah dua langkah. Dugaannya ternyata benar. Tiba-tiba saja Duigampi mengambil tindakan yang aneh sekali.
Sikap dan perilakunya jadi luar biasa. Tak ubah seorang mabuk keras, ia maju sempoyongan sambil menarik Alugaranya. Dengan tertawa terbahak-bahak ia melemparkan penggada andalannya itu ke udara tanpa arah. Pada waktu itu, Nayaka Madu melemparkan pedang gergajinya pula seperti laku seseorang yang tengah putus asa. Akan tetapi Pangeran Jayakusuma terlalu cerdik. Selain pandang matanya tidak pemah terlepas untuk mengamati gerak-gerik mereka, masih sanggup pula ia melihat gerakan pedang gergaji itu jelas sekali mengejar penggada Durgampi yang melambung tinggi sebagai sasaran. Tak ! Pedang Geigaji itu menahas penggada Alugara dan patah menjadi dua potong.
"Alugara adalah senjata andalan Durgampi." pikir Pangeran Jayakusuma. "Dan bagi seorang pendekar, senjata andalan tiada bedanya dengan jiwa sendiri. Sekarang Durgampi rela membiarkan senjata andalannya dipatahkan Nayaka Madu menjadi dua potong. Ah, pasti menyimpan suatu tujuan dan maksud yang kejut luar biasa......-
Eh, benar saja. Tiba-tiba saja dari dalam penggada itu menebar suatu gumpalan tepung halus. Pada detik itu juga, hati
Pangeran Jayakusuma memekik : "Racun !" Dan pada detik berikutnya muncul wajah Ki Ageng Mijil Pinilih. Seketika itu juga, darah Pangeran Jayakusuma bergolak hebat. Sekarang tiada alasan lagi untuk membiarkan mereka hidup lebih lama lagi. Karena ia sudah terlanjur menggunakan jurus pancaran Godhakumara segera ia memutarnya menjadi lingkaran angka delapan.
"Serbu !" teriak Nayaka Madu dengan suara menggerung. Suara tertawa Durgampi berhenti dengan mendadak. Dengan
wajah beringas ia mengayunkan tangannya membarengi pukulan Nayaka Madu. Mendadak saja serangan mereka yang cepat dan keji luar biasa menjadi bumerang. Mereka kena dibawa berputar tenaga sakti Pangeran Jayakusuma. Bluk ! Mereka berdua saling memukul.
"Waddoooo.....kenapa kau memukul aku ?" bentak Nayaka Madu.
"Kau sendiri bagaimana ?" Durgampi mendongkol. Sebab diapun kebagian bogem mentah yang telak.
Selagi berbicara demikian, Pangeran Jayakusuma menyedot mereka masuk ke dalam gelanggang yang berada tepat di bawah taburan racunnya sendiri.
"Hai, hai ! Ini bagaimana ?" teriaK Nayaka Madu terkejut.
"Apa ada yang salah ?" ejek Pangeran Jayakusuma. "Lihat pukulanku !"
Pangeran Jayakusuma benar-benar melepaskan pukulannya. Keruan saja Nayaka Madu dan Durgampi buru-buru melepaskan pukulannya pula untuk menangkis. Tetapi sekali lari arah pukulannya membelok dan saling menghantam. Nayaka Madu menggebuk punggung Durgampi. Dan Durgampi mengemplang kepala Nayaka Madu.
Mereka berdua bukan golong pendekar biasa, tapi sudah pantas disebut Maha pendekar, karena kedudukannya lebih tinggi dari golongan pendekar kelas satu. Pukulan mereka dahsyat luar Kasa seumpama dapat merobohkan bukit Kecuali itu mengandung bisa dan racun maut. Sekarang mereka sudah saling memukul dua kali berturut-turut Walaupun tubuhnya kebal karena dilindungi ilmu sakti, namun pukulan mereka masing-masing sudah merusak bagian dalam.
"Durgampi! Apakah engkau sudah gila ? Kenapa kau berani memukul kepalaku ? Bukankah aku kakak-seperguruanmu ?" bentak Nayaka Madu dengan wajah berubah-ubah.
"Kau sendiri, mengapa menggebuk punggungku ?" Durgampi tak mau mengalah.
Selagi demikian tepung beracun sudah meluruk bagaikan hujan gerimis. Pada saat itu meskipun tenaga dalamnya tiba-tiba pulih kembali, tidak mungkin lagi untuk mengelakkan. Sebab selain sudah terkepung rapat oleh gelombang ilmu sakti Pangeran Jayakusuma, kesempatannya terlalu sedikit. Tiada yang dapat dilakukannya lagi, selain menjerit memilukan. Menyaksikan hal itu, Pangeran Jayakusuma teringat akan pengalamannya sendiri.
Dulu ia pernah mengalam suatu siksaan racun tertentu. Racun jahat Nayaka Madu. Ribuan derita bertumpu menjadi satu. Nyeri, ngilu, gatal, panas, dingin, kaku, kuyu, layu dan entah rasa sakit apa lagi, tiada kata-kata di dunia ini yang tepat untuk menyebutnya. Dan ia percaya, tepung yang bertaburan itu tentunya termasuk salah satu macam racun yang sangat jahat Mereka berdua mengandal keampuhannya sampai-sampai berani mengorbankan senjata andalannya masing-masing. Tetapi sedalam-dalamnya rasa dendam Pangeran Jayakusuma terhadap Nayaka Madu berdua, tidaklah sejahat dan sekeji apa yang pernah mereka lakukan terhadap seseorang yang dianggapnya sebagai lawannya. Meskipun lahirnya ia berkesan nakal dan
urakan, tetapi hatinya sesungguhnya amat lembut. Terhadap macam penderitaan apapun yang sudah dilaluinya, ia bersedia melupakan dan memaafkan. Demikian pulalah kali ini. Hati nuraninya yang lembut dan mulia mengalahkan rasa dendamnya. Pikirnya, bukankah merka sudah menderita luka dalam ? Oleh pertimbangan itu, segera ia akan menarik gelombang ilmu saktinya. Sekonyong-konyong ia mendengar suara halus memasuki pendengarannya :
"Anak muda, jangan terkecoh ! Mundur ke rumpun pepohonan!�
Pangeran Jayakusuma terperanjat. Ia tahu, siapa yang mengisiki Arinya. Siapa lagi kalau bukan Ki Ageng Cakrabhuwana. Pada detik itu pula wajah Ki Ageng Mijil Pinilih muncul kembali ke dalam ruang benaknya. Seketika itu juga, hatinya yang nyaris lembek, menjadi keras kembali. Tetapi apa yang dimaksudkan dengan kata-kata jangan terkecoh ? Apa perlu mundur ke rumpun pepohonan ? Syukur, ia seorang pemuda yang sangat cerdas yang dapat menangkap makna suatu ucapan. Ia percaya, pasti ada alasannya walaupun masih berteka-teki. Tetapi Pangeran Jayakusuma tidak perlu menunggu terlalu lama untuk memecahkan makna peringatan Ki Ageng Cakrabhuwana. Sebab tiba-tiba ia melihat suatu kejadian aneh yang sekaligus menghapus pertimbangan hatinya.
Karena Pangeran Jayakusuma mundur perlahan-lahan mendekati rumpun pohon, dengan sendirinya ia melepaskan gelombang kesaktian Ilmu Godhakumara. Pada detik itu juga, Nayaka Madu dan Durgampi mampu bergerak dengan bebas. Apa yang dilakukan mula-mula benar-benar mengherankan. Tiba-tiba mereka saling memeluk. Lalu menandak-nandak sambil membuka mulutnya. Lagak-lagunya tak ubah dua orang anak sedang bermain-main di tengah hujan yang turun deras. Dan setelah tebaran tepung beracun habis terserap, sekonyong-konyong wajah mereka nampak ganas beringas. Dengan
pandang mata yang memancarkan hawa pembunuhan, mereka mencari dimana beradanya Pangeran Jayakusuma. Kemudian mereka maju dengan bergulingan menghampirinya. Gerakan mereka seperti gerakan tari raksasa yang hendak memangsa seorang satria.BERSAMBUNG..