PANGERAN JAYAKUSUMA
karya: Herman PDENGAN HATI terharu dan pandang mata terlongong-longong, Diah Mustika Perwita mengawaskan Pangeran Jayakusuma yang muncul dari dalam biara seperti seorang pertapa. Ia mengenakan pakaian seorang satria. Lengan baunya panjang sehingga berkesan setengah bhiksu. Tetapi raut mukanya nampak keruh. Jarang sekali Diah Mustika Perwita bertemu pandang dengan Pangeran Jayakusuma. Setelah pemuda itu hilang tiada kabar beritanya hampir empat tahun lamanya, ia hanya pandai mengenangkan saja dalam lubuk hatinya, la sendiri kala itu sedang sibuk menekuni ilmu kepandaiannya yang diperolehnya dari seorang yang menamakan diri Lawa Ijo. Selain itu seringkali pula ia ikut membantu Panglima Wira Wardhana bertugas di selatan Daha. Dahulu, ia mengenal Pangeran Jayakusuma sebagai seorang pemuda yang lincah dan bergembira. Kadangkala malahan angin-anginan pula. Tetapi Jayakusuma kini berkesan lain. Dia nampak bersungguh-sungguh dan matang. Gerakan matanya tenang luar biasa dan langkahnya pasti.
"Wardhani! Ilmu pedangmu maju jauh sekali dibandingkan beberapa tahun yang lalu." katanya sambil menghampiri gelanggang pertempuran.
Mendengar Pangeran Jayakusuma berbicara akrab dengan Lukita Wardhani terbanglah semangatnya Kebo Dungkul bertujuh. Mereka merasa bertambah seorang lawan lagii Pada saat itu, mereka meiasa tidak mempunyai harapan lagi untuk memenangkan pertempuran yang menentukan. Hanya Kebo Asem seorang yang tidak dihinggapi pikiran demikian. Memang, mula-mula ia berkecil hati. Lalu menegur dengan suara menggelegar:
"Pangeran. Inilah saudara-saudaraku seperguruan yang ingin kuperkenalkan kepadamu."
Sebaliknya Lukita Wardhani tidak menghiraukan hadirnya Pangeran Jayakusuma. Memang di dalam lubuk hatinya bersembunyi suatu kesan sendiri yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri pula. Di depan pemuda itu, ia justru tidak mau memperlihatkan keadaan hatinya yang benar. Apalagi di depan umum. Untuk memperlihatkan peribadihya, ia justru bersikap lebih keras. Tak mau ia kehilangan waktu dan kesempatan. Pedangnya berkelebatan merangsak kedua lawannya yang tangguh. Menyaksikan hal itu, Pangeran Jayakusuma berkata lagi:
"Wardhani! Aku harap engkau menarik pedangmu !"
"Hm." Lukita Wardhani mendengus. "Aku bukan Retno Marlangen yang akan selalu mendengar kata-katamu. Tunggu sebentar ! Biar kuselesaikan dahulu."
"Tetapi kalau mereka sampai mati, akupun merasa kehilangan."
"O, jadi mereka termasuk kawanmu ? Bagus sekali pergaulanmu. Kangmas salah seorang putera raja. Mengapa bergaul dengan sekumpulan iblis ?"
Setelah berkata demikian, Lukita Wardhani makin mempercepat gerakan pedangnya. Memang ia seorang gadis yang keras hati. Selamanya tiada pernah mundur sebelum menyelesaikan apa yang dikehendaki. Sebagai seorang puteri Perdana Menteri, tiada seorangpun yang berani memerintah dirinya. Apalagi ia mempunyai sandaran kuat sebagai murid Ratu Jiwani. Selamanya ia bebas menentukan kehendak hatinya sendiri. Dan begitu melancarkan serangannya, dia mengerahkan pula tenaga anjing-anjing pemburunya. Dan anjing-anjing itu lantas saja mengerumuni Kebo Sapta dengan menyalak riuh.
Pangeran Jayakusuma kenal watak Lukita Wardhani. Ia pernah menyaksikan pula sepak-terjang puteri itu tatkala membasmi
gerombolan Arya Wirabumi. Mau tak mau ia menghela nafas. Dengan suara terpaksa ia berkata kepada Diah Mustika Perwita:
"Apa boleh buat"
Berkata demikian, ia menghampiri gelanggang pertempuran Tangannya mengibas. Akibatnya kerumun anjing pemburuan bubar berderai. Dari arah kiri dan kanan melompat belasan anjing sekaligus. Pangeran Jayakusuma menyambut serangan belasan binatang itu dengan kibasan tangan kirinya. Sekali mengibas, belasan anjing itu mati dengan beijungkir-balik.
Lukita Wardhani marah bukan main Segera ia melompat menikamkan pedangnya sambil berteriak :
"Kau membunuh anjing-anjingku. Apakah benar-benar engkau memusuhi pemerintahan ?"
Pangeran Jayakusuma tersenyum. Tangannya mengibas dan menghantam pedang Lukita Wardhani sampai terpental tinggi di udara. Memang tenaga Pangeran Jayakusuma jauh berlainan bila dibandingkan dengan tenaganya dahulu. Seluruh tubuhnya sudah berselimut Ilmu Sakti Manunggal. Meskipun hanya menggunakan sebagian tenaganya, namun sudah cukup untuk menggempur pedang Lukita Wardhani sampai terlepas dari genggamannya. Hal itu mengherankan Kebo Dungkul dan Kebo Seta. Mereka berdua tadi, tak mampu berbuat demikian. Kalau begitu, keterangan Kebo Asem benar belaka. Pemuda itu memiliki tenaga sakti yang susah diukur betapa tingginya.
"Apakah karena Lukita Wardhani bersedia mengalah ?" Kebo Dungkul menebak-nebak. "Tak ada buruknya kalau akupun ikut mencoba-coba."
Memikir demikian, ia maju menerjang menghantamkan tongkat bajanya. Pangeran Jayakusuma mengibaskan tangannya sepati sebentar tadi. Ia menggunakan empat bagian tenaga saktinya. Plak ! Lengan bajunya yang panjang menghantam pergelangan tangan. Kebo Dungkul terkejut. Pukulan lengan baju
itu tak ubah tabasan sebatang pedang. Karuan saja ia mengerang kesakitan.
Kebo Seta melompat hendak menolong kakaknya seperguruannya. Ia membarengi serang Kebo Dungkul dengan mendorongkan tombak garpunya. Dengan tersenyum Pangeran Jayakusuma menyongsong serangan mereka berdua dengan hanya menggunakan tiga bagian tenaga saktinya. Baik Kebo Dungkul maupun Kebo Seta tak pernah mengira, bahwa tenaga sakti Manunggal begitu dahsyat. Jangan lagi menggempur manusia yang terdiri dari darah dan daging, sedangkan sebatang pohon sebesar empat pelukan tangan orang dewasa akan patah menjadi beberapa potong. Tidak mengherankan, tubuh mereka berdua bergoyang-goyang. Untung Pangeran Jayakusuma hanya menggunakan tiga bagian tenaganya. Dengan begitu mereka tidak perlu sampai jatuh terjengkang.
Kebo Dungkul dan Kebo Seta adalah murid seorang sakti yang bermukim di celah Gunung Lawu. Orang sakti itu tak mau menyebutkan namanya. Ilmu saktinya luar biasa dan diwariskan kepada ketujuh muridnya yang memiliki keistimewaannya masing-masing. Tenaga Kebo Asem bisa membunuh seekor harimau dengan dua atau tiga kali pukulan. Hal itu pernah mengherankan Pangeran Jayakusuma. Apalagi Kebo Dungkul kini bergabung dengan Kebo Sela. Tenaga mereka masing-masing sebenarnya tidak usah kalah jauh bila dibandingkan dengan Kebo Asem. Meskipun demikian, mereka berdua tidak tahan menghadapi tiga bagian tenaga sakti Manunggal milik Pangeran Jayakusuma.
"Hati-hati!" Pangeran Jayakusuma memperingatkan sambil mendorong. Penglihatan Kebo Dungkul berkunang-kunang dan tiba-tiba menjadi gelap. Sadarlah dia, apabila tetap berkutat jiwanya tidakkan tertolong.
"Hai! Apakah engkau tak dapat mempertahankan diri ?" ujar Pangeran Jayakusuma. Ia jadi teringat kepada pengalamannya
dengan Ki Ageng Mijil Pinilih tatkala masih berada di dalam penjara. Dahulu, Ki Ageng Mijil Pinilih pernah mengadu tenaga dengan salah seorang pendekar dari Bukit Gombak. Kena gempuran tenaga dorong tenaga sakti Ki Ageng Mijil Pinilih, orang itu lantas saja roboh meringkuk bagaikan udang kering. Teringat akan hal itu, segera ia menarik tenaganya. Dan Kebo Dungkul tertolong. Dengan mata terbelalak, ia menatap wajah Pangeran Jayakusuma dengan berdiri tertegun-tegun.
Melihat keadaan Kebo Dungkul, sekalian saudara-seperguruannya kecuali Kebo Asem dengan serentak menuntut bela. Mereka meninggalkan lawannya masing-masing, lalu menyerang Pangeran Jayakusuma dengan berbareng. Meskipun mereka bersenjata, Pangeran Jayakusuma tidak gentar. Dengan cepat ia menyambar seekor anjing dan dijadikan alat penangkisnya. Lukita Wardhani dan sekalian murid ayahnya mundur ke luar gelanggang menyaksikan pertempuran itu.
Mereka semua tahu, bahwa seekor anjing bukanlah alat senjata penangkis yang baik. Sebaliknya oleh cengkeraman pangeran Jayakusuma, keempat kaki anjing itu bergerak-gerak sejadi-jadinya sambil menjerit-jerit kesakitan. Namun Pangeran Jayakusuma dapat menggunakannya dengan leluasa. Dalam pada itu, Kebo Dungkul telah memperoleh pernafasannya kembali. Tata-nafasnya ternyata tidak berubah. Maka tahulah ia, bahwa Pangeran Jayakusuma sudah menaruh belas kasihan kepadanya. Segera ia memperhatikan jalannya pertempuran dengan perihatin. Lalu berteriak kepada lima saudara seperguruannya :
"Saudara-saudara, tahan !"
Tetapi mereka berlima justru sedang menghimpun dan mempersatukan tenaga gabungan. Untuk segera menariknya, tidak dapat dilakukan dengan segera. Salah-salah, malahan bisa melukai diri mereka masing-masing. Tenaga gabungan mereka memang kuat luar biasa. Jangan lagi terhadap manusia yang
terdiri dari darah dan daging, sebongkah batupun dapat dihancurkannya dengan mudah. Namun Pangeran Jayakusuma sama sekali tidak berusaha mengelak. Setelah melemparkan senjata anjingnya, dengan sekali membalikkan kedua tangannya ia menangkap kelima senjata mereka sambil berkata :
"Baiklah. Mari kita mencoba-coba mengadu tenaga. Siapa yang lebih kuat, kalian atau aku."
Kebo Asem yang menonton dari luar gelanggang, tahu akan bahaya. Dengan setengah memohon ia berteriak :
"Pangeran, janganlah sampai membunuh saudara-saudaraku! Mereka datang kemari hanya untuk mencoba-coba mengadu tenaga dan kepandaian saja. Aku sendiri sebenarnya lebih setuju apabila sekalian saudaraku menyerah saja."
Pangeran Jayakusuma tersenyum. Sekarang mengertilah ia, apa sebab mereka tiba-tiba menyeratnya dan bersikap memusuhinya tanpa alasan. Pikirnya di dalam hati: " Kiranya begitu ? Baiklah, aku akan mengadu tenaga saja."
Dalam pada itu, Kebo Rekta berlima segera mengerahkan himpunan tenaga saktinya. Dengan mati-matian, mereka mencoba membetot senjatanya masing-masing yang tergenggam di tangan Pangeran Jayakusuma. Tetapi tenaga betotannya sama sekali tidak dapat membuat Pangeran Jayakusuma bergeming. Senjata mereka masing-masing rasanya seperti terjepit suatu celah bukit saja. Sekali lagi mereka menarik dengan berbareng. Sekali lagi dan sekali lagi. Namun tetap saja tidak bergeming. Tetapi sebenarnya tenaga gabungan mereka hebat tak terkatakan. Di dalam hati Pangeran Jayakusuma berkata : "Tenaga gabungan mereka tidak boleh diremehkan. Bila aku hanya bertahan saja, tentunya mereka tidak akan merasa takluk."
Oleh pikiran itu, segera ia balik menarik. Menurut perhitungannya, senjata mereka pasti terlepas dari genggaman
mereka. Bahkan bukan mustahil bisa terlempar ke udara. Tetapi diluar dugaan, masih bisa mereka pertahankan senjatanya masing-masing. Hanya saja akibatnya terlalu hebat. Senjata mereka berlima tiba-tiba melengkung bagaikan busur.
"Bagus !" Pangeran Jayakusuma memuji dengan setulus hatinya. Segera ia menambah satu bagian tenaga saktinya. Dan tiba-tiba saja, senjata mereka berlima patah menjadi dua bagian Telapakan tangan mereka terbeset dan darahnya mengucur, meskipun demikian masih saja mereka dapat menggenggam sisa kutungan senjata erat-erat.
Pangeran Jayakusuma tertawa girang. Dengan mengayunkan tangannya, ia menimpukkan kutungan senjata rampasannya dengan empat bagian tenaga saktinya. Lantas saja empat kutungan senjata itu amblas ke dalam bumi. Itulah suatu pameran tenaga yang benar-benar mengejutkan setiap orang. Apalagi bila Pangeran Jayakusuma menggunakan tujuh bagian, delapan atau sembilan bagian tenaga saktinya.
Dengan kedua matanya yang sangat tajam, Pangeran Jayakusuma menyiratkan pandang terhadap mereka semua. Tiba-tiba tubuhnya bergetar. Suatu angin dahsyat yang halus melanda dengan mendadak. Meskipun halus, namun akibatnya mengerikan. Sekalian anjing perburuan terpental ke udara seperti timbunan rumput kering tercerai-berai tersapu angin puyuh. Kebo Dungkul dengan keenam saudara seperguruannya menjadi pucat lesi. Mereka merasa diri kena gempuran suatu tenaga yang tidak nampak. Cepat-cepat mereka saling bergandengan tangan dan memeluk sebatang pohon. Meskipun mereka tidak sampai terpental ke udara, namun pohon yang dipeluknya tumbang dengan suara bergemuruh.
Lukita Wardhani dan sekalian anak-murid Rangga Permana buru-buru bergandengan tangan pula untuk menyusun tenaga gabungan Saritangsya. Itulah ilmu gabungan himpunan tenaga sakti warisan Mapatih Gajah Mada. Dan karena Pangeran
Jayakusuma tidak mengerahkan seluruh tenaganya, mereka masih dapat mempertahankan diri
Memang, Pangeran Jayakusuma sengaja memamerkan himpunan tenaga sakti Ilmu Manunggal. Mula-mula ia menggunakan empat bagian tenaganya. Lalu lima bagian. Lalu enam bagian. Tatkala menoleh, ia melihat Diah Mustika Perwita bertiarap di bawah sebatang pohon raksasa yang tumbang dalam jarak tiga-puluh meter. Rupanya gadis itu sebentar tadi kabur terkena hempasan tenaga sakti Pangeran Jayakusuma. Dasar cerdas dan cekatan, cepat-cepat ia menyambar dahan pohon. Dan dengan berjumpalitan ia turun ke tanah. Pada saat itu, sebatang pohon raksasa di dekatnya tumbang sampai ke akarnya. Segera ia berlindung di baliknya.
Melihat Diah Mustika Perwita yang bersembunyi di balik pohon, timbullah pikiran Pangeran Jayakusuma : "Kalau aku menuruti hati sendiri, bisa-bisa membunuh mereka." memperoleh pikiran demikian segera ia mengibaskan tangannya. Dan tenaga himpunan saktinya sirap. Kemudian berkata kepada Kebo Asem:
"Saudara Kebo Asem ! Aku menunggumu sampai fajarhari tiba. Lalu menyusul kemari. Bagaimana ? Apakah engkau sudah mendapat kabar beritanya ?" Ia berhenti sebentar lalu tertawa melalui dadanya. "Rupanya kau tak sempat mencari berita itu. Sebaliknya engkau malahan memanggil saudara-saudaramu untuk datang mengeroyokku. Sebenarnya, apa maksudmu ? Apakah sekalian saudaramu hendak maju seorang demi seorang atau maju berbareng sekaligus ?"
Belum lagi Kebo Asem membuka mulutnya, berteriaklah si berangasan Kebo Seta:
"Pangeran Jayakusuma ! Ilmu saktimu dan kepandaianmu kami bertujuh adalah laksana bumi dan langit. Memang kamilah yang tidak tahu diri. Baiklah kuterangkan saja agar Pangeran Jayakusuma tidak salah faham." Ia berhenti mengesankan "Kakakku Kebo Asem menceritakan perkenalannya dengan
Pangeran, kami yang berangan-angan besar hendak mengangkat diri menjadi semacam adipati, tentu saja tidak mudah mau percaya akan ketangguhan Pangeran. Maka kami bersepakat untuk menguji kepandaian Pangeran Apabila kami kalah, kami semua bersedia menjadi budak Pangeran. Sekarang ternyata kami semua bukan tandingan Pangeran. Maka kami bersedia menjadi budak Pangeran. Malahan menjadi anjing Pangeranpun, kami harus merasa puas."
Tatkala itu Diah Mustika Perwita dan yang lain-lain sudah memasuki gelanggang lagi. Mendengar ucapan Kebo Seta, Diah Mustika Perwita tersenyum. Berseru dengan bangga :
"Tetapi yang kehilangan anjing bukan dia. Sebaliknya ayunda Lukita Wardhani. Sebenarnya kalian harus berdamai dengan ayunda."
"Ah benar." Kebo Dungkul seperti diingatkan. "Memang kamilah yang membuat gara-gara ini. Sekarang hukuman apakah yang akan nona jatuhkan kepada kami bertujuh ?"
Lukita Wardhani adalah seorang gadis yang angkuh. Pedangnya tadi kena dipentalkan Pangeran Jayakusuma di depan orang banyak. Meskipun hatinya terhibur setelah melihat Kebo Dungkul bertujuh kena dikalahkan Pangeran Jayakusuma demikian mudah, namun hatinya masih saja resah. Dengan bersungut-sungut ia bertata kepada Pangeran Jayakusuma :
"Semuanya ini.....ya semuanya ini, kangmas sendiri yang membubarkan. Kami sendiri sudah tiada gunanya lagi berada di sini. Biarlah kami mengundurkan diri."
Pangeran Jayakusuma tercengang. Terhadap Lukita Wardhani selamanya ia menaruh hormat. Gadis itu mempunyai cara bergaul sendiri dan cara berpikir sendiri. Kecuali hatinya angkuh, kepandaiannya tinggi pula. Dialah pewaris tunggal ilmu sakti Ratu Jiwani. Dan melihat serta mendengar gaya ucapan gadis yang cantik luar biasa itu, jantung Pangeran Jayakusuma berdegupan.
Di depan matanya terbayang peristiwa-peristiwa pada beberapa tahun yang lalu. Keagungan dan kebijaksanaannya mengingatkan dirinya kepada Retno Marlangen. Bedanya Retno Marlangen lemah lembut, sedang Lukita Wardhani galak. Dan teringat akan hal itu, ia jadi tercenung-cenung.
"Wardhani! Kau menggunakan istilah membubarkan. Membubarkan bagaimana ? Dan apa pula yang kububarkan ?"
Lukita Wardhani tidak menjawab, la meraba pinggangnya dan menyerahkan sebatang keris. Katanya setengah menggelitik :
"Bagaimana menurut pendapatmu ?"
Tergoncang hati Pangeran Jayakusuma setelah menarik keris itu dari sarungnya. Serunya heran : " Hai ! Panubiru !"
Keris Panubiru dahulu dibawanya serta tatkala berada di lembah Untara Segara. Kemudian hilang, karena dengan tiba-tiba ia sudah berada didalam penjara. Sekarang keris itu muncul kembali di depan matanya bahkan diserahkan kepadanya melalui Lukita Wardhani. Apa yang sudah terjadi ?
"Siapakah yang memberikan kais ini kepadamu ?" Ia minta keterangan dengan wajah berubah.
Lukita Wardhani berpaling kepada Diah Mustika Perwita. Puteri itu tersenyum sambil memanggut. Dan berkatalah Mustika Perwita menjawab pertanyaan Pangeran Jayakusuma dengan amat singkat:
"Guru."
"Kau maksudkan yang pernah merawat aku di...di..Singasari dulu ?" Pangeran Jayakusuma menegas.
Diah Mustika Perwita mengangguk. Dan benak Pangeran Jayakusuma mendadak terasa jadi penuh. Teringat pulalah ia kepada Ki Ageng Mijil Pinilih. Mereka yang menamakan diri Lawa ijo terdiri dari lima orang. Ki Ageng Cakrabuwana, Ki Ageng Mijil
Pinilih, Ki Ageng Paweling, Ki Ageng Singkir dan Ki Ageng Asma Buana. Orang yang disebut Diah Mustika Perwita menamakan diri Lawa Ijo pula. Dia mengenakan topeng. Mengingat kepandaiannya. Pangeran Jayakusuma tidak menyangsikan lagi bahwa dia salah seorang di antara lima orang yang berhak menyebut diri Lawa Ijo. Hanya siapakah namanya yang benar, sampai kini belum ada keterangan yang jelas.
"Apakah hubungannya dengan kata-kata membubarkan semuanya itu ?" Pangeran Jayakusuma menegas kepada Lukita Wardhani.
"Bukankah keris itu mengingatkan kangmas kepada seseorang yang harus diminta pertanggungjawabannya ?" Lukita Wardhani menjawab dengan pertanyaan pula.
"Kau maksudkan Nayaka Madu ?" Pangeran Jayakusuma menegas.
"Benar. Dan orang yang memberi keris Panubiru kepadaku itu, sudah berhasil menggiring Nayaka Madu ke wilayah ini. Kami semua diharapkan mengadakan penyergapan. Apabila dia sudah terlibat dalam suatu pertarungan, artinya tak dapat lagi ia melarikan diri. Kemudian datanglah gerombolan setan itu. Dan terlibatlah kami semua dalam suatu perkelahian. Kemudian datangilah kangmas. Dan ternyata kangmas adalah kawanan gerombolan iblis itu. Dengan datangnya kangmas, puluhan anjing-anjingku yang kupersiapkan untuk memburu atau melacak Nayaka Madu, mati semua berkat kehebatan kangmas. Dengan begitu, bukankah kangmas yang membubarkan semua rencana besar ini ? karena kami terlibat dalam suatu pertempuran, loloslah Nayaka Madu. Anjing-anjing pelacak tak dapat lagi membantu kita. Entah berapa tahun lagi, kita mempunyai kesempatan sebagus ini."
"Ah!" Pangeran Jayakusuma terperanjat. Wajahnya berubah pucat oleh rasa sesal yang mendalam. Sebab diapun mempunyai kepentingan terhadap Nayaka Madu. Terhadap jahanam itu, ia
mempunyai perhitungan besar yang harus diselesaikan. Tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri saja, tapipun dani menenteramkan arwah Ki Ageng Mijil Pinilih.
Mendadak saja Kebo Dungkul melompat ke depan mereka. Berseru:
"Bukan Pangeran Jayakusuma yang salah. Tetapi kami bertujuh yang tidak mempunyai otak dan mata. Maka biarlah kami bertujuh mencarinya sampai ketemu."
"Hm, apakah kau sanggup ? Apakah penciumanmu melebihi anjing-anjingku yang sudah terlatih ?" ejek Lukita Wardhani dengan hati mendongkol.
Kebo Dungkul tergugu. Sebagai seorang yang banyak makan asam garam tahulah ia, bahwa orang yang disebut Nayaka Madu pastilah bukan sembarang orang. Sekiranya tidak demikian, pastilah Lukita WArdhani bertujuh tidak perlu ikut turun tangan. Tadi sekalian saudara-saudara seperguruannya tidak sanggup berlawan-lawanan. Dia dan Kebo Seta malahan hampir saja mampus di ujung pedang Lukita Wardhani. Sebaliknya Lukita Wardhani bersikap waspada dan berhati-hati menghadapi Nayaka Madu. Tentunya Nayaka Madu manusia luar biasa.
Pangeran Jayakusuma pada saat itu sedang terbenam dalam suatu masalah yang ruwet. Berbagai pikiran berkecamuk di dalam benaknya dan hatinya, sehingga wajahnya kelihatan muram. Terbayanglah berbagai bayangan dan kenangan yang pahit.
Selagi demikian, berkatalah Lukita Wardhani:
"Kangmas, sampai di sini saja kita bertemu. Aku akan mencoba mencari jalan keluar."
Pangeran Jayakusuma yang sedang dikerumuni berbagai pikiran tidak dapat menjawab dengan segera. Ia seperti kehilangan pendengarannya. Sewaktu menegakkan pandangnya,
ia terperanjat. Sebab Lukita Wardhani sudah meninggalkan tempatnya.
"Hai! Ke mana dia ?" serunya bingung.
Pada saat itu, tiba-tiba ia mendengar suara Diah Mustika Perwita mengaduh perahan Ia menoleh dan masih sempat melihat Diah Mustika Perwita roboh pelahan-lahan Untung, sebelah tangannya masih saja dapat menyambarnya sehingga gadis itu tidak sampai roboh di atas tanah.
"Hai, kenapa ?" Pangeran Jayakusuma terkejut. Sebenarnya ia seorang pemuda yang cerdas luar biasa. Dalam sepintas pandang, tentu sudah dapat menebak penyebabnya. Tetapi pada saat itu, hatinya sedang kalut. Ucapan Lukita Wardhani tadi hebat dan dahsyat bagi pendengarannya. Ia merasa bersalah karena merusak rencana besar.
"Kebo Seta! Apakah engkau membawa obat pemunahnya ?" Terdengar suara Kebo Dungkul.
Kebo Seta mengiakan dan dengan setengah gugup mengangsurkan obat pemunah racun Rupanya bubuk racun yang disapu bersih oleh tenaga sakti Pangeran Jayakusuma tersebar ke berbagai penjuru dan sempat tercium Diah Mustika Perwita.
"Pangeran, maafkan keteledoran kami." ujar Kebo Dungkul dengan suara merasa bersalah. "Tetapi obat penawar racun kami sangat manjur."
"Telankan !" Perintah Pangeran Jayakusuma dengan suara masih mengambang.
Benar saja, setelah Diah Mustika Perwita menelan obat penawar Kebo Seta, ia sHiman kembali. Wajahnya merah dadu, karena ia merasa dirinya berada di pelukan Pangeran Jayakusuma. Pelukan itu sendiri, sebenarnya merupakan impian hatinya. Tetapi di depan tujuh orang yang masing-masing memiliki dua buah mata benar-benar membuat hatinya risih.
Maka buru-buru ia menegakkan badannya dan duduk di atas rerumputan. Tiba-tiba pada saat itu nampaklah cahaya biru meledak tinggi di udara. Kemudian pecah bsrcerai-berai bagaikan bola api.
"Itulah dia!" seru Diah Mustika Perwita seraya menudingkan jari telunjuknya ke udara.
"Dia siapa ?" Pangeran Jayakusuma minta keterangan.
"Yang memberi keris kepada kangmas." Diah Mustika Perwita menjawab. "Itulah tanda sandi. Tanda warta yang memberikan isyarat kepada kita di mana Nayaka Madu kini berada."
"Ah!" Pangeran Jayakusuma terperanjat. Sesaat kemudian ia kelihatan heran. "Tetapi kenapa berada di sekitar gubuk ?"
"Gubuk ?" Diah Mustika Perwita tak mengerti. �Gubuk apa?�
"Biara yang berada di atas bukit sebelah utara."
"Biara siapa ?"
"Biara rusah seperti biara itu." jawab Pangeran Jayakusuma. "Adik, apakah engkau dapat melangkahkan kakimu ?"
"Entahlah. Biar kucobanya." sahut Diah Mustika Perwita. Segera ia melangkahkan kakinya, akan tetapi nampak lemah. Pada saat itu Kebo Dungkul berkata:
"Untuk memulihkan kesehatannya memerlukan waktu tiga jam lagi."
"Oh." Pangeran Jayakusuma terhenyak. Mencoba : "Adik, apakah engkau mau kugendong ?"
Terus-terang saja, begitu mendengar kata-kata Pangeran Jayakusuma hati Diah Mustika Perwita tergoncang hebat. Barangkali itulah saat yang dilukiskan para pujangga dengan istilah : tertimbun gunung madu. Memang terhadap pemuda yang berwatak angin-anginan itu, ia merasa diri lebih tua
daripadanya. Tetapi itu dulu. Sekarang kesan Pangeran Jayakusuma adalah lain. Ia lebih matang dan nampak jauh lebih tua. Anehnya, begitu melihat kesan pemuda itu, ia bersedia mengabdikan seluruh hidupnya. Tidak mengherankan bunyi kata-kata pemuda pujaan hatinya itu menggetarkan perasaannya. Hatinya berdebaran. Darahnya mendesir sehingga kuasa membungkam mulutnya. Pada waktu itu terdengar suara Pangeran Jayakusuma lagi yang bernada setengah membujuk:
"Adik, bukankah kau dulu pernah menyuapiku ? Pernah pula mengelap mukaku ?"BERSAMBUNG..