PANGERAN JAYAKUSUMA
karya: Herman P
Seri 4Kebo Asem melompat dan berdiri tegak di depan Diah Mustika Perwita. Katanya dengan suara tegas :
"Kebo Seta! Gadis ini, akulah yang membawanya. Janganlah kalian menyakiti apalagi sampai mencelakakan." setelah berkata demikian, ia menoleh kepada Diah Mustika Perwita. Berkata dengan sungguh-sungguh : "Nona, setelah bertemu dengan Pangeran Jayakusuma, dapatkah engkau berjanji akan menutup mulutmu untuk selama-lamanya ? Bila tidak bersedia untuk menutup mulut, lebih baik jangan ikut-serta !"
Hati Diah Mustika Perwita tercekal Pikirnya di dalam hati: "Kebo Seta nampaknya berangasan. Sebaliknya, Kebo Asan berhati jujur dan lapang." la menimbang-nimbang sebentar. Karena ingin bertemu dan bertatap muka dengan Pangeran Jayakusuma, Diah Mustika Perwita lantas saja menjawab :
"Baiklah, aku tidak akan mengabarkan kepada siapapun. Di pihak kalian berjumlah tujuh orang. Apakah Pangeran Jayakusuma tidak mempunyai seorang pembantu ?"
Pertanyaan itu diluar dugaan Kebo Asem. Ia tertawa terbahak-bahak oleh rasa geli. Sahutnya .
"Semenjak tadi, bukankah aku sudah menerangkan bahwa Pangeran Jayakusuma datang padaku dengan seorang diri ?" Dan setelah menyahut demikian, ia mendahului berjalan sambil berteriak : "Hayo kita berangkat! Lebih cepat lebih baik !"
Mereka kemudian melarikan kudanya dengan bejajar. Di sepanjang jalan mereka membungkam mulut. Tiba-tiba Kebo Asem melambatkan jalannya dan menghampiri Diah Mustika Perwita. Katanya berbisik:
"Nona tak usah gelisah ! Meskipun aku berada di pihak saudara-saudaraku, tetapi aku tetap berdoa untuk Pangeran Jayakusuma. Kita bertujuh sebenarnya hanya hendak menguji kemampuan diri sendiri. Sebentar kalau kita bertempur, hendaklah engkau berada di tepi arena sebagai penonton Karena engkau sahabat Pangeran Jayakusuma, besarkan hatinya !"
Diah Mustika Perwita mengangguk dengan rasa terima kasih. Ia mengerti, bahwa di antara mereka hanya Kebo Asem yang berhati jujur. Sedang lainnya berhati kejam dan mau menang sendiri. Demikianlah sambil mengikuti perjalanan mereka, diam-diam Diah Mustika Perwita memikirkan keselamatan Pangeran Jayakusuma. Ia kenal watak dan kepandaian Pangeran itu. Pemuda itu berkepandaian tinggi dan berani. Akalnya banyak pula. Tetapi Retno Marlangen tiada lagi berada di sampingnya. Apakah tidak mempengaruhi semangat tempurnya ? Padahal setiap anggauta Kebo Sapta memiliki kepandaian tinggi. Dapatkah Pangeran Jayakusuma melawan mereka dengan seorang diri ?
"Baiklah Bila dia dalam bahaya, tak boleh aku berpeluk tangan saja." ia memutuskan di dalam hati. Dan oleh keputusan itu, diam-diam ia mempersiapkan senjata bidiknya.
Tak lama kemudian, mereka membelok ke kanan dan menyusur gili-gili sawah ladang yang berlika-liku. Kira-kira sepuluh kilometer lagi, mereka melintasi sebuah nmba raya. Dan mulai dari sini Diah Mustika Perwita tak dapat lagi mengenal jalan pulangnya lagi. Selagi demikian, tiba-tiba kuda mereka berjingkrakan Beberapa di antaranya memutar badannya dan kabur. Kebo Dungkul mencambuk kudanya dan mendahului menegang memasuki gerombol belukar. Teriaknya :
"Hai! Apa sebab kuda-kuda kita menjadi takut ? Hayo terjang�
Kuda mempunyai panca indera yang tajam melebihi manusia. Prarasa naluriahnya jauh lebih peka. Kuda Kebo Dungkul mogok berputar-putar. Tetapi setelah dihajar kalang-kabut, akhirnya binatang itu menegang kedepan. Dan kuda-kuda lainnya segera mengikuti Setelah melalui beberapa puluh meter, tibalah mereka di sebuah padang rumput kira-kira seluas limapuluh meter persegi. Tiba-tiba terdengar suara bentakan lantang :
"Siapa yang berani kurangajar memasuki petak lingkaran Hasta Maruta ?"
Dengan serentak anggauta keluarga Kebo Sapta menahan kendali kudanya. Mereka melihat seorang laki-laki menghadap dengan dua ekor anjing raksasa. Dan melihat kedua anjing kuda-kuda kembali berjingkrakan.
Kebo Dungkul mengangguk hormat dari atas kudanya. Lalu berkata:
"Dengan tak sengaja kami melintasi petak ini. Atas nama keluarga Kebo Sapta, kami minta maal"
"O, jadi kamulah keluarga Kebo Sapta ?" orang itu menegas. "Apakah engkau yang bernama Kebo Dungkul ?"
"Benar," jawab Kebo Dungkul "Kami ingin segera sampai di Smaradewa untuk bertemu dengan Pangeran Jayakusuma.
Sepulangnya dari Smaradewa kami akan singgah kemari untuk menghaturkan maaf sebesar-besarnya."
"Apakah Pangeran Jayakusuma berada di Smaradewa ?" suara orang itu agak berubah.
�Benar. Apakah tuan yang bernama Sura Sampana anak murid Perdana Menteri Rangga Permana ?" Kebo Dungkul menegas.
"Benar." Sura Sampana membenarkan. "Kami bertujuh berada di sini: Singa Nuwuk, Singa Handaka, Kapal Asoka dan tiga orang wanita."
Wajah Kebo Dungkul berubah. Katanya berbisik kepada Kebo Asem:
"Inilah musuh kita yang kukatakan tadi. Tiga wanita dan seorang laki-laki. Tetapi nyatanya jumlah laki-lakinya empat orang. Karena sebentar lagi kita akan bertempur melawan Pangeran Jayakusuma, sebaiknya kita mengalah terhadap mereka demi menyimpan tenaga."
Selagi berbisik demikian, tiba-tiba Sura Sampana berteriak nyaring sambil menoleh ke belakang :
"Tuanku puteri Lukita Wardhani, merekalah Kebo Sapta yang hendak menemui Pangeran Jayakusuma. Mereka berjanji akan balik kembali untuk menghaturkan maaf sebesar-besarnya setelah pulang dari Smaradewa.�
Mendengar bunyi kata-kata Sura Sampana, Kebo Seta yang berangasan mendongkol Berkata di dalam hati:
"Menghaturkan maaf kentutmu ! Kami Kebo Sapta tidak pernah menghaturkan maaf terhadap siapapun. Justru esok atau kelak, kita malahan akan mencoba kepandaian kalian"
Tetapi setiap anggauta Kebo Sapta sadar, bahwa anak murid Rangga Permana tidak boleh dibuat gegabah. Masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi. Untuk melawan mereka, rasanya
masih sanggup. Hanya saja mengingat rencana pertempurannya dengan Pangeran Jayakusuma, mau tak mau mereka harus menahan diri.
Tak lama kemudian terdengar jawaban yang sangat tajam dari kejauhan :
"Minta maaf? Tak usah minta maaf segala. Suruh saja mereka membatalkan niatnya."
Tercekat hati Diah Mustika Perwita mendengar suara tajam itu. Itulah alunan suara yang tak asing lagi baginya. Suara Lukita Wardhani panglima laskar Bhayangkari. Hampir-hampir saja ia berteriak kegirangan. Untung, dia seorang gadis yang cermat dan cerdas. Oleh pertimbangan naluriahnya, segera ia dapat menahan diri. Sebaliknya, seluruh anggauta Kebo Sapta terbakar hatinya begitu mendengar ucapan Lukita Wardhanl Dengan serentak mereka menegakkan kepalanya. Kebo Seta tertawa mendongkol melalui hidungnya. Dengan suara dingin ia berkata :
"Kami Kebo Sapta belum panah meminta-minta maaf kepada siapapun. Kamipun biasa hidup malang-melintang tanpa halangan. Siapa berani menghalang-halangi kami ?" Dan setelah berkata demikian ia menghentakkan kudanya. Kudanya lantas saja melompat menerjang ke depan.
Sura Sampana tentu saja tidak tinggal diam. Ia melepaskan kedua anjingnya yang menyalak dan menggeram tak ubah dua ekor singa. Kuda Kebo Seta diterkamnya. Keruan saja kuda Kebo Seta berjingkrak dan meringkik keras. Namun Kebo Seta ternyata mahir dalam hal menunggang dan menguasai kudanya. Sambil mendekam di atas punggung kudanya, kedua tangannya bergerak. Dan pada saat itu juga, kedua tangannya telah menggenggam dua batang tombak pendek. Dengan serta-merta ia menyambut terkaman kedua anjing Sura Sampana. Anjing yang melompat dari sebelah kiri mengelak ke samping sedang yang datang dari arah kanan berhasil merobek perut kuda. Akan tetapi tombak Kebo Setapun berhasil menikam perutnya pula.
Dengan jungkir balik Kebo Seta turun ke tanah sambil membentak :
"Perlihatkan senjatamu !"
Tombak kirinya diangkat tinggi-tinggi. Sedang tombak kanan menunjuk ke tanah, bersiaga menunggu serangan lawan. Sura Sampana tidak bergerak. Ia hanya tertawa tawar seraya menyahut:
"Hmmm......kau sudah melukai anjingku. Sekarang, meskipun engkau bersedia membatalkan perjalananmu sudah tidak keburu lagi. Kebo Seta! Tinggalkan senjatamu !"
Kebo Seta tercengang. Bagaimana orang itu bisa mengenal namanya ? Bentaknya :
"Menurut pendengaranku, anak murid Rangga Permana selamanya tidak pernah meninggalkan wilayah rumah perguruannya. Mengapa kalian tiba-tiba berada di sini ? Aku memang' Kebo Seta. Dari mana engkau mengenal namaku ?"
"Kami anak murid Perdana Menteri Rangga Permana masakan tidak mengenal nama kalian ? Kalian menyebut diri sebagai keluarga Kebo Sapta, bukan ? Sudah lama guru kami mendengar sepak-terjang kalian yang biadab. Kamu bertujuh berangan-angan hendak mengangkat diri menjadi adipati, bukan ? Hm, hemmm! Mengapa kami berada di sini ? Justru karena kalian Kebetulan sekali malam ini kami bertemu dengan kalian. Dengan begitu, kami tidak perlu susah-payah lagi untuk mencari sarang kalian" bentak Sura Sampana.
Dan setelah membentak demikian, tangan kirinya menyambar dan mencengkeram kedua tombak Kebo Seta. Kebo Seta terkejut bukan main Sama sekali tak diduganya, bahwa Sura Sampana bisa bergerak begitu cepat. Buru-buru ia mengerahkan himpunan tenaga saktinya. Ia menarik kedua tombaknya dengan satu kali hentakkan Tak ! Dan kedua tombaknya patah menjadi empat potong.
Kebo Dungkul yang menyaksikan adu tenaga itu terkesiap hatinya. Tangkai tombak Kebo Seta terbuat dari besi. Tetapi dengan sekali sambar, patahlah tangkainya. Maka dapat dibayangkan betapa hebat tenaga Sura Sampana. Mengingat saudara-saudaranya masih harus menyimpan tenaga untuk menghadapi Pangeran Jayakusuma, segera ia menengahi dengan suara merendah :
"Apakah tadi suara tuanku puteri Lukita Wardhani ? bukankah beliau puteri Perdana Menteri Rangga Permana ? Baiklah, begini saya. Kami akan mengambil jalan memutar. Esok hari kami berjanji akan datang kemari untuk mencoba-coba mengadu kepandaian dengan tuan-tuan sekalian"
"Hmm....." dengus Sura Sampana. "Aku tadi sudah berkata, meskipun kalian kini bersedia membatalkan perjalanan sudah tidak keburu lagi� Dan setelah berkata demikian, ia melemparkan dua potongan tombak yang berada di kedua tangannya. Cap, cap!
Dan kedua potongan tombak itu menancap di pohon.
Kebo Dungkul terkejut. Pikirnya di dalam hati : "Celaka ! Mengapa mereka tidak mengijinkan aku bertujuh melintasi hutan ini atau balik kembali ? Biasanya mereka tidak pernah ke luar wilayah sejauh ini. Sekarang mereka berada disini. Apakah sedang menyembunyikan suatu rahasia besar ?" Setelah berpikir demikian, ia berkata dengan suara nyaring : "Sura Sampana! Meskipun kalian anak murid Perdana Menteri, tetapi hutan dan jalan raya bukan milik kalian. Apakah kalian melarang kami melintasi hutan ini?�
Sura Sampana bersikap tidak mengacuhkan. Teriaknya :
"Lebih baik tutup mulutmu ! Tak ada gunanya kau berbicara berkepanjangan. Pendek kata, hari ini kalian tidak boleh hidup lebih lama lagi."
Berbareng dengan ucapannya, ia melompat menerjang dengan mencengkeramkan kesepuluh jari-jarinya. Sebelum cengkeramannya sampai pada sasarannya, suatu kesiur angin tajam menyerang bergulungan. Itulah suatu tanda, bahwa ia memiliki ilmu sakti yang tidak rendah.
Kebo Seta yang berada di depan Kebo Dungkul melompat ke samping sambil menyodokkan sisa tombaknya yang masih berada dalam genggamannya. Sura Sampana hendak menangkap ujung tangkainya seperti yang dilakukannya sebentar tadi Tiba-tiba saja matanya melihat berkelebatnya sebatang tongkat baja sebesar telur ayam dari samping, itulah serangan Kebo Reksa yang datang menolong saudaranya. Cepat Sura Sampana menangkiskan lengannya seraya menyambar ujung tongkat. Tetapi sebelum kelima jarinya mencengkeram penuh-penuh mendadak lengannya terasa panas. Buru-buru ia melepaskan cengkeramannya. Dengan mengerahkan himpunan tenaga saktinya ia memukul dengan pergelangan tangannya. Syukur, ia bisa bergerak luar biasa cepat. Sekiranya tidak demikian, dadanya pasti sudah kena tertikam ujung tongkat. Katanya di dalam hati : "Ih ! Tata kerja saudara seperguruan Kebo Sapta benar-benar hebat Pantaslah mereka berangan-angan mendirikan suatu kekuasaan."
Karena lawan bersenjata tongkat baja, segera ia mengeluarkan senjata andalannya pula. Itulah sepasang rantai yang berujung bola bergigi. Masing-masing mempunyai berat timbangan melebihi sepuluh kilogram. Warna bola giginya kuning kemilau, sehingga dapat terlihat jelas pada malam hari.
Dalam pada itu Kapal Asoka, Singa Nuwuk dan Singa Handaka muncul pula dari balik gerumbul belukar. Segera mereka terlibat dalam suatu pertempuran seru. Mereka memperoleh lawan yang setanding. Kapal Asoka melawan Kebo Landoh. Sedang Singa Nuwuk dan Singa Handaka melawan Kebo Langking dan Kebo Jenar. Masing-masing menggunakan senjata andalannya.
Kapal Asoka bersenjata perisai dengan bindi. Dan Kebo Landoh melawannya dengan sepasang golok. Singa Nuwuk yang berlawan-lawanan dengan Kebo Langking, bersenjata perisai dengan rantai cemeti. Sedang Kebo Langking bersenjata sepasang penggada baja putih. Singa Handaka lain pula senjatanya. Ia berperisai dan bersenjata martil. Tak usah dikatakan lagi, bahwa ia bertenaga besar. Dan Kebo Jenar melawannya dengan cempuling dan tali terbuat dari urat kerbau yang ulat luar biasa.
Dengan demikian, di pihak Kebo Sapta masih tiga orang yang belum masuk dalam arena. Merekalah Kebo Dungkul, Kebo Seta dan Kebo Asem. Kebo Seta sudah kehilangan senjata andalannya. Tetapi segera ia mengeluarkan senjata tombak lagi, akan tetapi kali ini berbentuk garpu perak. Dengan pandang penasaran ia mengikuti pertempuran yang berjalan makin lama makin sengit.
Singa Handaka yang bersenjata martil benar-benar bertenaga besar. Cempuling Kebo Jenar tak berdaya menghadapi perisai bajanya. Selangkah demi selangkah, ia kena diundurkan. Menyaksikan hal itu, Kebo Seta yang berangasan tak dapat lagi menahan diri. Segera ia melompat maju sambil menusukkan tombak garpunya. Tetapi belum lagi tiba pada sasarannya, berkelabatlah sesosok bayangan bersenjata sebatang pedang. Bayangan itu menangkis tusukan tombak garpunya dengan tepat sekali. Keruan saja Kebo Seta terperanjat, la mundur dengan menajamkan penglihatannya. Ternyata bayangan itu seorang wanita setengah umur. Dialah Rara Sindura, murid ketujuh Rangga Permana yang ahli dalam hal ilmu pedang. Dan begitu berhadap-hadapan, kedua-duanya lantas saja bertempur dengan sangat serunya.
Sekarang di pihak Kebo Sapta tinggal dua orang saja yang belum mempemlah tandingnya. Kebo Dungkul dan Kebo Asem. Tiba-tiba muncullah seorang gadis cantik luar biasa. Gadis itu
bertangan kosong dan berdiri bersender pada sebatang pohon. Dengan tenang, pandang matanya mengikuti pertempuran seru itu. Diah Mustika Perwita segera mengenal siapa dia. Dialah Lukita Wardhani puteri Rangga Permana.
Ditinjau dari jumlah anggautanya, pihak Kebo Sapta lebih unggul. Artinya lebih banyak jumlahnya. Akan tetapi anak murid Rangga Permana mempunyai andalan lain lagi. itulah anjing-anjing pemburu yang berjumlah puluhan ekor. Melihat majikannya bertempur, binatang-binatang itu menggeram dan menyalak ramai. Mereka siap menerkam apabila sudah mendapat perintah.
Kebo Sela yang melayani ilmu pedang Rara Sindura, beberapa kali mencuri pandang untuk memperoleh penglihatan yang lebih luas. melihat ratusan mata anjing pemburu yang berwarna hijau kemilau, bulu kuduknya menggeridik. Pikirnya : "Jika anjing-anjing itu ikut memasuki gelanggang terpaksalah aku meledakkan asap beracunku. Lebih baik aku disebut setan kampungan daripada mati konyol dirobek-robek gigi anjing."
Sampai mendekati fajar hari, mereka masih saja bertempur dengan serunya. Masing-masing pihak tiada yang kalah atau menang. Melawan Singa Handaka yang bertenaga raksasa, Kebo Jenar tidak berani mengadu kekerasan Cempulingnya segera dipindahkan ke tangan kiri. Sedang tangan kanannya mulai menyerang dengan tambang. Dengan begitu, ia dapat melawan daya tenaga besar Singa Handaka dalam jarak jauh. Beberapa kali lingkaran tambangnya hampir saja menjerat leher Singa Handaka. Tetapi apabila Singa Handaka hendak melibatkan perisainya atau martilnya agar tergubat erat, buru-buru Kebo Jenar menarik kembali. Sebab apabila sampai menggubat senjata lawan, ia sadar akan akibatnya. Tenaga Singa Handaka mungkin dapat memutuskan tambangnya. Dengan demikian, meskipun memperoleh kesempatan untuk mengalutkan hati lawan, ia tidak berani terlalu mendesak.
Tatkala udara timur mulai bercahaya, Sura Sampana yang bersenjata rantai bola mulai berada di atas angin Kena dicecar terus-menerus, permainan tongkat baja Kebo Rekta mulai kalut. Melihat hal itu, Kebo Asem segera membantu. Ia bersenjata kapak. Tetapi Sura Sampana benar-benar tangguh. Memang, dia adalah murid Rangga permana yang tertua. Kecuali pandai menggunakan senjata andalannya, pukulan-pukulannya cepat bagaikan kilat pula. Setiap kali terdesak lawan, tiba-tiba saja dapat balik menyerang dengan bertubi-tubi. Kebo Asem yang bertenaga besar segera berteriak-teriak seperti geledek. Dan Kebo Rektapun mengimbangi dengan tertawa terbahak-bahak. Jelaslah maksud mereka berdua. Mereka bermaksud mengalutkan pemusatan Sura Sampana. Namun Sura Sampana tak dapat dijebak begitu mudah. Ia berkelahi dengan hati mantap. Meskipun sudah berkelahi begam-jam lamanya, himpunan tenaga saktinya tiada kendor sedikitpun.
Kebo Dungkul tahu, pihaknya menghadapi bahaya besar. Sekarang tinggal dirinya seorang yang belum turun gelanggang. Tetapi di sana masih berdiri Lukita Wardhani. Gadis cantik itu masih bersandar pada sebatang pohon. Sedang di sekitar gelanggang pertempuran, anjing-anjing pemburu makin lama makin nampak beringas. Maka terpaksalah ia berseru kepada Kebo Seta:
"Apa boleh buat! Kebo Seta, lepaskan saja senjata pemunah-mu ! Sebentar aku akan membantumu."
Tentu saja Rara Sindura tidak membiarkan musuhnya mundur seenaknya untuk memperoleh kesempatan melepaskan senjata pemunah. Gesit ia melompat memburu sambil menikamkan pedangnya. Tetapi pada saat itu. Kebo Dungkul yang bersenjata tongkat panjang segera menghadangnya. Terpaksalah Rara Sindura mengelak ke samping. Dan pada detik itu melesatlah semacam bola mengarah padanya, pedangnya dikibaskan. Tak!!..
bola itu kena dipukulnya pecah. Tetapi mendadak saja di depannya terpencar segumpal asap yang menyelubunginya.
"Celaka !" Rara Sindura mengeluh di dalam hati. Ia tahu, itulah bubuk beracun. Cepat ia menahan nafas. Tetapi Kapal Asoka yang berada di dekatnya mendadak roboh terjengkang. Pendekar itu sedang bertempur mati-matian melawan Kebo Landoh yang bersenjata sepasang golok, sehingga tidak melihat datangnya bahaya. Tahu-tahu ia mencium bau amis. Kepalanya pening dan nganya pengang. Dan dengan tak dikehendaki sendiri, ia roboh terguling kehilangan tenaga.
"Hai !" Diah Mustika Perwita berseru terkejut "Mengapa kalian menggunakan bubuk beracun ?"
Melihat Kapal Asoka roboh terjengkang, Rara Sindura kaget bukan kepalang. Tetapi tak dapat ia berbuat sesuatu karena terlibat tongkat Kebo Dungkul. Sekonyong-konyong melesatlah Lukita Wardhani masuk ke dalam gelanggang dengan pedang terhunus.
Bentaknya:
"Biadab! Jangan ganggu dia! Siapa yang berani mengganggu anak murid Rangga Permana tak akan kuampuni."
Tentu saja Kebo Seta tidak sudi kehilangan kesempatan sebagus itu. Sebab apabila dia dapat menawan salah seorang musuhnya, bisa dijadikan sandera yang berguna. Paling tidak dapat menekan agar anjing-anjing pemburu itu jangan ikut menyerbu. Itulah sebabnya dia membalas ancaman Lukita Wardhani dengan membentak pula :
"Kau bubarkan dulu anjing-anjing piaraanmu! Dan segera aku membebaskan rekanmu."
Lukita Wardhani membungkam mulutnya. Tak sudi ia melayani musuhnya. Tetapi kedua alisnya berdiri tegak. Tiba-tiba saja ia sudah berada di depan Kebo Seta. Pedangnya berkelebat. Keruan
saja Kebo Seta terkejut. Sama sekali tak diduganya bahwa Lukita Wardhani memiliki kecepatan melebihi kejapan kilat. Untung, Kebo Dungkul tidak tinggal diam. Dengan tongkatnya yang panjang ia menyapu dari samping
"Ayunda ! Awas tongkat !" seru Diah Mustika Perwita memperingatkan.
Lukita Wbidhani mengangguk, la tersenyum. Katanya :
"Adik ! Kau baik-baik sap, bukan ? Tetaplah di tempatmu ! Biarlah kubereskan dulu kawanan iblis ini..........�
Lukita Wardhani adalah pewaris ilmu sakti Ratu Jiwani. Ilmu pedangnya tak terlawan semenjak beberapa tahun yang lalu. Dengan suatu gerakan kilat, tiba-tiba saja tongkat Kebo Dungkul dan tombak garpu Kebo Seta tergempur miring. Pada detik itu pula, ujung pedangnya menikam.
"Hai!" Kebo Dungkul dan Kebo Seta berseru kaget. Dengan berbareng mereka melesat mundur. Namun Lukita Wardhani tidak membiarkan kedua musuhnya bernafas. Sekali tangannya bergerak, tombak garpu Kebo Seta terpental dari genggamannya.
Dadanya lantas saja tak terlindung lagi. Keruan saja Kebo Dungkul menjadi gugup. Dengan mati-matian ia mencoba melindungi.
"Hm." Lukita Wardhani mendengus. "Mempunyai kepandaian cakar ayam begini saja, sudah berani berangan-angan menjadi adipati. Benar-benar memalukan."
Setelah berkata demikian, Lukita Wardhani mendesak. Tetapi betapapun juga, Kebo Dungkul bertujuh bukan tokoh-tokoh sembarangan kalau tidak, mustahil mereka berani berangan-angan hendak mendirikan semacam kadipaten otonom yang lepas dari pemerintahan Majapahit Dalam seribu kerepotannya, masih bisa Kebo Dungkul dan Kebo Seta menolong diri. Dengan membentak nyaring, Kebo Dungkul memutar tongkatnya.
Kemudian menggempur Lukita Wardhani. Kebo Setapun tidak tinggal diam. Meskipun tidak bersenjata lagi, tetapi ia memiliki senjata beracun. Sekarang bubuk beracun bertebaran bagaikan hujan gerimis.
Lukita Wardhani adalah seorang gadis yang berhati keras. Dalam kerepotan apapun juga, tak sudi ia mengundurkan diri atau bergerak mundur. Kini ia mengandalkan pada kelincahan tubuhnya. Pedangnya berkelebatan bagaikan kilat mengejap-ngejap. Semua semata Kebo Seta disapunya bersih. Lalu menerjang tongkat raja Kjebo Dungkul. Dan pada detik-detik yang menentukan itu tiba-tiba terdengar suara seorang dari luar gelanggang :
"Coba berhenli dulu ! Aku ingin berbicara............�
Sudah barang tentu, mereka yang sedang bertempur mati-matian tidak menggubris suara itu. Sebaliknya Diah Mustika Perwita lantas saja berseru girang :
"Kangmas Jayakusuma..........!"
Waktu itu matahari sudah menebarkan cahayanya di seluruh angkasa. Suasana sekitar gelanggang terang-benderang. Ternyata gelanggang itu bukan berada di tengah hutan. Tetapi di atas bukit dalam halaman biara rusak yang sangat luas. Biara apa ini ? Tentunya tiada penghuninya. Kalau tidak, masakan seorangpun tiada menampakkan diri. Memang biara itu sudah ratusan tahun ditinggalkan penghuninya. Dahulu, Raja Erlangga pernah bermarkas di biara itu sewaktu hendak merebut tahta kerjaannya kembali dari penguasa Sriwijaya. Kemudian pecahlah perang antara sekte-sekte Agama Syiwa dan Buddha. Di halaman itu pula kedua belah pihak menentukan kalah atau menang seperti yang terjadi sekarang ini antara pihak Kebo Sapta dan Lukita Wardhani.BERSAMBUNG..