tegas

1K 6 0
                                    

PANGERAN JAYAKUSUMA
karya: Herman P
Seri 11

Mendengar ucapan Lukita Wardhani, Pangeran Jayakusuma terperanjat. Memang, Lukita Wardhani mempunyai tempat sendiri di dalam hatinya, di samping Retno Marlangen, Carangsari dan Diah Mustika perwita. Retno Marlangen sudah hilang dari pelukannya. Carangsari sudah menjadi isteri Wirawardhana, sedang Diah Mustika Perwita tak ubah adik-kandungnya sendiri. Kini tinggal Lukita Wardhani yang masih memiliki peribadi tegas.
Dasar ia seorang pemuda yang berpembawaan romantis, langsung saja dapat menyesuaikan diri. Sahutnya dengan suara gugup :
�Lukita Wardhani! Apakah racun jahanam itu belum musnah dari dalam dirimu ?"
Tanpa menunggu perkenan Lukita Wbrdhani, segera ia melompat menghampiri. Itulah watak dan sifat Pangeran Jayakusuma. Dia bisa berkobar-kobar bagaikan api menyala, tetapi dalam detik berikutnya dapat tenang kembali tak ubah permukaan telaga. Karena semuanya itu tergantung belaka kepada sikap seseorang terhadap dirinya. Sebaliknya, Carangsari yang mempunyai kesan sendiri terhadap pemuda itu, terus saja mendamprat:
"Hai, hai, hai tolol! Kata-katamu belum tuntas, tetapi engkau cari kesibukan sendiri. Kau..... kau..... kau....."
Mendengar suara Carangsari, hampir saja Pangeran Jayakusuma memanggilnya dengan �isteriku� seperti yang dilakukannya dulu. Syukur pada detik itu teringatlah dia, bahwa Carangsari kini sudah menjadi nyonya Wirawardhana. Segera ia tertawa lebar sambil memanggil Diah Mustika Perwita :
"Adik kecil, coba kuperiksa keadaanmu !"
Dengan langkah tenang, Diah Mustika Perwita menghampiri dan berdiri di samping Lukita Wardhani Pangeran Jayakusuma tahu, Carangsari menaruh hormat terhadap Diah Mustika Perwita. Ia sengaja memanggilnya untuk mengalihkan kesannya sendiri terhadap Carangsari dan sebaliknya. Sebagai seorang pemuda yang romantis, ia dapat menebak keadaan hati Carangsari. Pastilah Carangsari terbakar rasa cemburunya, karena ia akan menyentuh tubuh Lukita Wardhani. Dahulu iapun pemah berbuat demikian terhadap nyonya yang galak itu. Nyonya yang memiliki pandang mata mirip Retno Marlangen. Apalagi bila sedang dalam keadaan marah dan cemberut. Dahulu ia sengaja menggoda Carangsari agar selalu uring-uringan dani melepaskan rasa rindunya terhadap Retno Marlangen. Kini, kecuali Carangsari sudah menjadi nyonya Wirawardhana, ia sendiri takut membayangkan wajah bibinya yang sangat dicintainya. Itulah sebabnya, peranan Diah Mustika Perwita sangat menentukan. Tetapi dasar watak Carangsari beradat panas dan berani, masih saja ia mengumbar adatnya meskipun agak kurang. Teriaknya :
"Tolol ! Guruku sudah menolong mereka berdua. Masakan sampai gagal ?"
Diingatkan tentang hadirnya Ki Ageng Cakrabhuwana, Pangeran Jayakusuma merandek, terhadap orang tua itu, ia merasa hutang budi. Bahkan hutang hidup. Andaikata orang tua itu tidak menolongnya, ia sudah berada di dalam baka. Maka dengan agak segan ia berpaling kepada Ki Ageng Cakrabhuwana. Tetapi pada saat itu Ki Ageng Cakrabhuwana berkata kepada Carangsari dan Diah Mustika Perwita :
�Anakku, pada saat ini ilmu kepandaian Pangeran Jayakusuma berada di atas diriku. Dia baru dapat kita kalahkan, bila kami kerubut. Otaknya tak usah kalah dengan Ulupi. Kenakalannya sejajar dengan Singkir. Ilmu kepandaiannya melebihi diriku. Dan kesaktiannya kini melebihi Paweling dan Mijil Pinilih. Apa
sebabnya ? Karena dia sudah berhasil memanunggalkan lima unsur ilmu kepandaian kami yang terbagi Itulah Pancasila."
Keterangan Ki Ageng Cakrabhuwana menggirangkan hati Pangeran Jayakusuma. Ia jadi merasa berhutang budi kepada Ulupi, karena gadis itulah yang sesungguhnya menjadi arsiteknya. Meskipun demikian, terhadap orang tua itu ia tetap menaruh hormat. Selagi hendak menyahut, Carangsari mendahuluinya.
"Kenakalannya..... huh ! Tolol, kau memang bocah nakal banget. Dulu kau..... kau....." sampai disini wajahnya menjadi merah sendiri karena teringat kenakalannya Pangeran Jayakusuma tatkala menggelendot kakinya. Diapun sempat melihat kulit tubuhnya sewaktu menyambung tulangnya yang patah.
"Haha ha....." Ki Ageng Cakrabhuwana tertawa geli. Lalu berkata seolah-olah kepada dirinya sendiri : "Siapa yang dapat melihat hati seorang puteri, dialah yang berhak menonton dunia. Dalam hal ini, aku harus berguru kepada Pangeran Jayakusuma."
Ucapan Ki Ageng Cakrabhuwana bagaikan ribuan lebah menyengat tubuh Pangeran Jayakusuma. Itulah suatu peringatan keras baginya. Ia jadi teringat akan janjinya kepada Ki Ageng Mail Pinilih untuk mencari jenazah Prabasini. Terus saja ia berkata kepada Panglima Wirawardhana:
"Wirawardhana, baiklah sampai disini saja kita berpisah. Pada saat ini, musuh negara sudah berhasil kita lumpuhkan. Maka kita wajib bersyukur kepada Hyang Widdhi Wisesa. Bawalah mereka menghadap ayahanda Baginda."
Peralihan ucapan Pangeran Jayakusuma terasa melompat. Panglima Wirawardhana menjadi gugup. Sahutnya :
"Pangeran sendiri mau ke mana ?"
"Ada yang harus kuselesaikan."
"Apakah pangeran tidak ikut serta menghadap Sri Baginda ?"
"Tidak.�
"Oh begitu ? Kalau boleh bertanya, ke mana lagi pangeran hendak pergi ?"
"Ke perkampungan Nayaka Madu."
"Ah." Panglima Wirawardhana ternganga. "Perkampungan Nayaka Madu sudah kita bakar habis."
"Apa ?" Kini Pangeran Jayakusuma yang terkejut
"Itulah perintah Sang Nayaka Rangga Permana setelah menerima laporan betapa perkampungan Nayaka Madu penuh dengan berbagai racun yang berbahaya."
Alasan dan perintah Perdana Menteri Rangga Permana sebenarnya sangat tepat. Akan tetapi Pangeran Jayakusuma mempunyai kepentingannya sendiri. Kalau perkampungan terbakar habis, berarti jenazah Prabasini ikut terbakar pula. Sementara itu Panglima Wirawardhana melanjutkan keterangannya:
"Itulah sebabnya, kami berhasil menggebah laskar Nayaka Madu. Di luar dugaan Nayaka Madu dan Durgampi terusir pula dari perkampungannya. Hanya saja..........�
"Hanya saja apa ?" potong Pangeran Jayakusuma dengan bernafsu.
"Ada laporan yang masuk..........�
"Laporan apa ?"
"Pada puncak sebatang pohon terlihat sebuah peti mati. Mungkin sekali, itulah tempat penyimpanan senjata tuah Nayaka Madu atau harta kekayaannya yang ingin diselamatkan.........�
"Bukan ! Justru itu yang..........�
"Apakah pangeran mempunyai kepentingan dengan harta itu ?" potong Wirawardhana. "Peti mati itu pasti termasuk benda yang sangat berharga. Namun karena mempertimbangkan bahwa kita harus menangkap kedua jahanam itu, maka untuk sementara hanya kuperintahkan untuk mengamankannya."
"Mengamankan bagaimana ?"
"Sepasukan laskar kuperintahkan untuk memadamkan api yang sekiranya akan membakar batang pohon itu." Wirawardhana memberi keterangan. "Baiklah kita atur begini saja. Aku akan membawa dua tawanan ini pulang ke kotaraya. Biarlah sebagian laskar kami mengawal pangeran memasuki perkampungan itu."
"Tidak usah. Aku bisa pergi sendiri" ujar Pangeran Jayakusuma dengan wajah suram.
"Biarlah aku yang menyertai." Tiba-tiba Lukita Wardhani menengahi.
"Tepat sekali. Laskar Kerajaan akan segera mengenal tuanku puteri Lukita Wardhani." Panglima Wirawardhana membenarkan.
"Akupun akan ikut serta." sambung Diah Mustika Perwita. Mendengar keputusan dua gadis itu, Carangsari jadi kebingungan sendiri. Ia ibarat seekor cacing yang kepanasan di dekar perapian. Menuruti kata hatinya, diapun tidak mau ketinggalan. Tetapi teringat bahwa dirinya kini sudah menjadi nyonya Wirawardhana, tak dapat ia membawa suara hatinya sendiri. Apalagi beradi di depan seluruh laskar kerajaan pimpinan suaminya. Karena tidak mengerti apa yang harus dilakukan, akhirnya hatinya menjadi kesal. Lantas ia berpaling kepada Harya Demung Panular untuk melampiaskan atau tepatnya untuk menyembunyikan rasa penasarannya. Serunya setengah menghardik:
"Panular ! Kau ikut atau tidak ?"
Pertanyaannya mengejutkan Harya Demung Panular. Syukur Ki Ageng Cakrabhuwana yang bijaksana menolong menjawab pertanyaan Carangsari:
"Biarlah dia ikut aku !"
-o0~DewiKZ~0o-
DI SIMPANG JALAN
Karena Lukita Wardhani dan Diah Mustika Perwita belum pulih kembali seperti sediakala, Panglima Wirawardhana segera menyediakan sebuah kereta. Tetapi Pangeran Jayakusuma menolak. Kata pemuda itu :
"Kereta itu lebih penting untuk mengangkut Nayaka Madu dan Durgampi. Kecuali lebih aman, akan menjadi jaminan yang berharga. Ingat, meskipun ilmu kepandaiannya sudah punah dan beberapa sendi tulangnya patah, tetapi ingatannya masih tajam. Bisa saja mereka berbuat sesuatu diluar dugaan. Misalnya berhubungan dengan eyang Wijayarajasa."
"Mengapa tuanku Ratu Wengker dibawa-bawa ?" Wirawardhana minta penjelasan.
"Menurut si tolol, dialah adik-seperguruan kedua durhaka itu." Carangsari menimpali.
"Ah, betulkah itu ?" Wirawardhana tak percaya dan ia menatap wajah Pangeran Jayakusuma.
Terpaksalah Pangeran Jayakusuma mengulangi tutur-kata Ki Ageng Mijil Pilih. Meskipun ringkas, namun memakan waktu juga. Syukur, mereka yang hadir di situ mau mengerti karena keterangan Pangeran Jayakusuma perlu didengar seorang panglima. Sebaliknya bagi Wirawardhana, keterangan Pangeran Jayakusuma tak ubah bagaikan geledek meledak di sianghari bolong. Mustahil karangan Pangeran Jayakusuma adalah isapan
jempol Apalagi semua hadiran tiada yang mencoba membantah. Baik isterinya maupun Lukita Wardhani yang garang, agung dan berwibawa. Namun karena harus didukung dengan bukti yang nyata, di dalam hati ia masih berbimbang-bimbang juga. Sekonyong-konyong terdengarlah suara teriakan kalap.
�Hai.....! Aku sudah bisa! Sudah bisa..... hai coba dengarkan.�
"Akupun sudah hafal"
Yang berteriak kalap adalah Nayaka Madu dan Durgampi Mereka berdua kemudian berseru-seru saling menimpali. Mula-mula Nayaka Madu, kemudian ditimpali Durgampi Dan tanpa menunggu perkenan siapapun, Nayaka Madu dan Durgampi kemudian menyanyi lantang:
Dalam malam sejuk sunyi
Duduklah seorang gadis menganyam bunga
Dia menengadah tangannya terkulai
Tiada dapat memanggil kekasih tiba
Bisiknya : kau tak datang kini aku pergi
Pergi sangat jauh melalui ladang tiada bertepi
Sekarang biarlah kuuntai juga bunga ini
Siapa tahu kekasihku datang mendekap hati
Tapi kehidupan lalu laksana kejapan kilat
Waktu pilu dan masa ria silih berganti
Seumpama piala penuh anggur di hadapanmu
Kenapa tak kau teguk tak kau minum
Apa yang kau tunggu, sayang
Apa yang kau tunggu............
Minumlah pialamu minumlah anggurmu
Minumlah................
Betapapun juga semua orang memuji kecerdasan Nayaka Madu dan Durgampi. Mereka ulet, tabah dan tak mengenal putus asa. Dalam keadaan luka parah masih sanggup mereka berkutat untuk menghafal. Kalau saja tidak memiliki kekerasan hati yang istimewa, siapapun ddakkan mampu. Maka diam-diam, Pangeran Jayakusuma mulai dapat memahami watak, sifat dan semua yang dilakukan Nayaka Madu serta kedua adik-seperguruannya demi memperoleh rahasia Ilmu Sakti Pancasila dan Sasanti Manu. Dimulai dari pengkhianatan mereka terhadap guru sampai membunuh puterinya sendiri.
"Hai bocah edan ! Benar atau tidak bunyi sajak Ilmu Sakti Pancasila ?"
"Hm, apanya yang betul ?" ejek Pangeran Jayakusuma.
"Mengapa tidak betul ?" Nayaka madu terperanjat. Lalu ia mulai menghitung dengan menggerak-gerakkan kesepuluh jari tangannya. Selang beberapa waktu ia meledak: "Bohong! Dusta! Kau mau mempermainkan aku. Semuanya ada 84 kata. Bukankah begitu ?�
Diam-diam Pangeran Jayakusuma memuji ingatannya yang tajam. Jadi sewaktu Pangeran Jayakusuma menyanyikan sajak itu, ia sama sekali tidak terpengaruh oleh indahnya suara dan nada lagunya. Sebaliknya, sambil menghafal ia menghitung pula jumlah kata-katanya. Benar-benar cemerlang otaknya. Sayangnya, kecemerlangan otaknya dipergunakan untuk suatu tujuan yang tidak baik.
�Taruh kata benar, tetapi yang sebagian Amerta." Sahut Pangeran Jayakusuma. Pemuda yang cerdas itu mempunyai dua tujuan. Selain untuk menghancurkan mental Nayaka Madu dan
Durgampi juga untuk mendukung kesaksian yang diperlukan Panglima Wirawardhana.
"Mengapa pada dia ?" teriak Nayaka Madu dan Durgampi dengan berbareng.
Pangeran Jayakusuma tertawa terbahak-bahak. Sahutnya :
"Kalian mengaku pintar, tetapi nyatanya goblok melebihi keledai. Bukankah kalian tahu, bahwa Kuda Amerta adalah Wijayarajasa ? Dan dia adalah kakekku. Dengan sendirinya sudah semestinya aku mempersembahkan terlebih dulu daripada kamu berdua."
"Tidak bisa! Tidak bisa!" teriak Nayaka Madu dengan tubuh bergemetaran. "Meskipun dia kakekmu, tetapi di dalam perguruan dia adalah adikku seperguruan yang termuda. Sewaktu mengerubut guru, dia hanya setengah hati."
"Justru dialah yang menyarankan."
"Ah, yang benar !"
"Benar !" Nayaka Madu terengah-engah. "Baiklah kuakui terus-terang. Terjadinya perang Bubat, memang aku yang menciptakan meskipun pelaksananya dia. Tetapi dalam hal mengkhianati guru, dialah yang menyarankan."
"Kalau begitu, mengapa dia setengah hati ?"
"Dia mengharapkan kami berdua mati di tangan guru. Hm, dia boleh merasa pandai. Dia boleh merasa menjadi penguasa tinggi karena kedudukannya di kalangan istana. Akan tetapi jangan bermimpi bisa mengingusi aku."
Sebenarnya Pangeran Jayakusuma sudah dapat menduga latar belakang lika-liku tipu muslihat mereka bertiga. Masing-masing, meskpun nampaknya bersatu padu tetapi sebenarnya saling curiga-mencurigai. Namun ia berlagak dungu. Katanya minta keterangan:
"Ah, mengapa kakekku mengharapkan kalian berdua mati di tangan gurumu ?"
"Sekiranya kami berdua mati, tentunya semua warisan ilmu sakti guru akan diberikan kepadanya. Pada saat itu, tentunya dia bisa melagui guru. Bahwasanya perbuatannya semata-mata kami paksa. Karma dia murid guru yang termuda, lagipula termasuk keluarga raja, kata-katanya akan didengarkan. Itulah sebabnya, sewaktu dia tinggal menembus punggung guru dengan telak, ia melahan meloncat mundur. Dengan bukti itu pula, alasannya akan dapat meyakinkan guru. Tetapi sekarang..... ha ha ha haaaa..... nyatanya, ilmu Sakti Pancasila sudah kami kuasai Hai! Bukankah justru kami berdua yang berhasil ?"
Setelah berseru demikian, kembali lagi Nayaka Madu tertawa terbahak-bahak. Aneh bunyi suara tertawanya sehingga dapat menggeridikkan bulu kuduk. Itulah bunyi tertawa yang memancarkan perasaan dan pergolakkan hati yang luar biasa hebat. Sedih, duka, bangga, berbesar hati, dendam, penasaran, merasa menang dan rasa putus asa yang bercampur aduk menjadi satu pengucapan. Panglima Wirawardhana terlongong-longong. Inilah suatu kisah yang terlalu hebat baginya. Tak pernah terlintas di dalam benaknya, bahwa peristiwa Bubat yang menggoncangkan keadaan negara sebenarnya adalah hasil pekerti mereka. Tak pernah terlintas pula di dalam benaknya, bahwa Ratu Wengker Wijayarajasa justru memegang peranan penting dalam persekongkolan mereka.
"Ah!" dia mengeluh di dalam hati. "Karena peristiwa Bubat, Mapatih Gajah Mada musnah. Dia tidak hanya dienggani keluarga raja saja, tetapi didakwa menanam benih permusuhan dengan keluarga Raja Pajajaran. Hm, siapa mengira bahwa justru ketiga jahanam ini yang menghancurkan sendi-sendi persatuan bangsa yang dibina Mapatih Gajah Mada dengan telaten dan sungguh-sungguh."
Menuruti kata hatinya, ingin ia memecahkan kepala Nayaka Madu dan Durgampi dengan tangannya sendiri. Syukur pada saat itu, suatu penglihatan jauh merasuk menjadi pertimbangan hati. Mereka berdua sudah tertangkap hidup-hidup. Untuk dapat menyeret Wijayarajasa ke depan meja pengadilan, mereka berdua tidak boleh mati. Dengan kesaksian mereka berdua, raja akan dapat bertindak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Rupanya Pangeran Jayakusuma menghendaki demikian pula. Itulah sebabnya, ia sengaja memanaskan hati mereka berdua. Tentunya dengan maksud agar mereka berdua mampu bertahan sampai dapat di hadapkan kepada Raja untuk diadili. Oleh pengertian dan pertimbangan demikian, ia menahan diri. Perhatiannya kini kembali kepada Pangeran Jayakusuma. Diluar dugaan, Pangeran Jayakusuma berpaling kepadanya sambil berkata: .
"Tentunya Wirawardhana tidak habis mengerti, mengapa mereka masih mengharapkan memperoleh kunonya. Memang, kunci Ilmu sakti Pancasila yang disebut pula dengan Sasanti Manu, selain membuka rahasia harta karun Kebo Anabrang, sebenarnya mempunyai kekuatan gaib. Dahulu, kedua pundak dan kakiku pernah ditembusi rantai. Juga kakang Mijil Pinilih mengalami nasib yang sama. Pada saat itu, musnahlah semua ilmu kepandaiannya. Tetapi berkat ilmu sakti Pancasila, kakang Mijil Pinilih dapat merebut ilmu kepandaiannya kembali. Bahkan lebih hebat. Akupun demikian juga. Bedanya, kakang Mijil Pinilih tidak mempunyai kesempatan untuk memulihkan cacat tubuhnya. Tetapi aku mempunyai kesempatan lebih lama. Dan sekarang.... lihatlah !" berkata demikian, Pangeran Jayakusuma membuka bajunya. Tubuhnya kembali mulus seperti sediakala. Juga kedua kakinya yang dulu ditembusi rantai. Kemudian meneruskan :
"Karena itu, mereka berdua akan berusaha sekuat tenaganya untuk dapat memperoleh kunci yang diinginkannya. Hm......hai Nayaka Madu dan kau Durgampi! Sudah kukatakan tadi, sebagian kuncinya berada di tangan kakekku Wijayarajasa. Dan aku akan
memberikan kunci Sasanti Manu itu kepada kalian berdua, asalkan kakek Wijayarajasa mengijinkan. Karena itu, tinggal kalian berdua saja yang bisa menentukan. Buatlah agar kakek Wijayarajasa mengakui perbuatannya dan mengaku pula sudah mengantongi sebagian kunci Sasanti Manu yang kuberikan kepadanya. Nah, selamat tinggal sampai bertemu kembali. Aku akan mencari jenazah puterimu. Sebab dengan sesungguhnya kuncinya berada padanya."
"Hai, hai! Berada padanya bagaimana ?" teriak Nayaka Madu kalap.

BERSAMBUNG..

Pangeran JayakusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang