sasanti Madu

1.7K 17 0
                                    

PANGERAN JAYAKUSUMA
karya: Herman P
Seri 1

MALAM ITU, udara segar bugar. Bintang-bintang bergetar lembut di angkasa. Awan meniup lembut membawa rangkaian awan putih berarak-arak. Kadangkala menutup cahaya bulan yang menebarkan kesemarakannya di atas bumi. Pangeran Jayakusuma menunggu abu Ki Ageng Mijil Pinilih dengan hati pilu dan khidmat. Pengalamannya bergaul dengan almarhum berkesan dalam baginya. Seumpama tiada bertemu dan berguru padanya, barangkali pada saal ini dia hidup sebagai binatang piaraan yang menderita siksaan batin dan jasmani.
Tatkala matahari timbul di permukaan langit, dengan hati-hati ia mengumpulkan dan membungkus abu jenasah dengan kain pembungkus pakaian pemberian Dandung Gumilar. Setelah dibupgkusnya rapih, bungkusan itu di ikatnya pada punggungnya. Lalu membuat sebuah liang kubur dan mengubur sisa-sisa abu pembakaran. Bersembahlah ia beberapa kali seolah-olah seseorang sedang bersujud kepada Dewata Agung. Dan barulah ia meneruskan perjalanannya.
Kira-kira matahari sepenggalah tingginya, ia memasuki sebuah kota kecil. Segera ia mencari rumah makan dan pemangkas rambut. Setelah itu, membeli dua perangkat pakaian dan berangkat mengarah ke barat. Tiba-tiba hatinya kehilangan arah. Mau ke mana ? Apakah kembali ke Goa Kapakisan ? Mengenangkan goa itu, hatinya jadi pedih bukan main. Malahan ia merasa takut. Takut pada bayangannya sendiri dan rasa sunyi. Karena berbimbang-bimbang, ia menghentikan langkahnya. Selagi demikian, tangannya menyentuh bungkusan abu Ki Ageng Mijil Pinilih. Seketika itu juga, terbangunlah semangat hidupnya. Suatu gumpalan tekat tersembul dalam lubuk hatinya. Berkata kepada dirinya sendiri:
"Goa Kapakisan kini memang merupakan suatu siksaan bagiku. Pastilah aku akan menjadi boneka permainan kenangan lama yang menyakitkan hati. Tetapi aku pernah tersekap di dalam penjara demikian pula. Ah, rasanya di dalam goa jauh lebih baik daripada tersekap di dalam penjara. Baiklah kakang, demi menenteramkan arwahmu aku akan kembali ke Goa Kapakisan untuk menyempurnakan ilmu warisanmu..............�
Memperoleh ketetapan hati demikian, ia jadi bersemangat kembali. Dengan berlari-larian ia mengarah ke Goa Kapakisan. Beberapa hari kemudian, sampailah ia di depan goa. Dan melihat goa itu, benar saja hatinya mulai bergolak hebat, la lantas duduk berjuntai di tepi tebing batu dengan hati pepat. Di goa itulah, ia dahulu bertemu dengan Retno Marlangen dan melepaskan cintanya yang pertama. Sekarang Retno Marlangen tiada lagi di dalam goa itu. Dia hilang, dia lenyap karena terenggut suatu kekuasaan maha dahsyat. Dan bayangan Nayaka Madu tersembul di antara angan-angannya yang keruh. Kemudian muncul pula Pangeran Anden Loano, Ulupi dan akhirnya Ki Ageng Mijil Pinilih :
"Carilah harta itu dan serahkan kepada Ulupi. Kemudian rebutlah Retno Marlangen kembali!"
Mendengar bisikan suara, jantungnya berdegupan. Seketika itu juga semangat juangnya berkobar-kobar bagaikan membakar seluruh sendi-sendi tubuhnya. Terus saja ia memasuki goa Kapakisan. Ces ! Hatinya teresapi perasaan dingin sampai menembus tulang-sumsumnya. Ia memasuki rumahnya sendiri, kini. Melihat dinding goa, ia menggerayangi dan merabanya dengan perasaan damai. Ingin ia mengadukan nasibnya yang buruk. Tetapi tentu saja, dinding goa tidak pandai diajaknya berbicara untuk memuntahkan semua isi hatinya.
Beberapa hari kemudian, mulailah ia memeriksa dinding goa yang terdapat tulisan Ki Ageng Mijil Pinilih. Diantaranya terdapat beberapa kalimat yang berbunyi demikian : "Empat tahun kemudian, kayu dan batu dapat digunakan sebagai pedang.
Kemajuanmu sudah mencapai tataran tanpa senjata melebihi senjata apapun�. la membaca kalimat itu berulang kali dan mencoba menyelami maknanya. Berpikirlah ia di dalam hati : "Dengan bersenjata rantai aku sudah berhasil merobohkan pendekar-pendekar kelas satu, dalam satu gebrakan saja. Apalagi, bila aku menggunakan pedang. Rasanya tiada tandingnya lagi di dunia. Tetapi kakang Mijil Pinilih dapat dirobohkan oleh racun Nayaka Madu. Memang kepandaian Nayaka Madu hebat. Kalau begitu, meskipun aku kelak dapat mewarisi semua kepandaian yang diharapkan kakang Mijil Pinilih, aku harus tetap berwaspada terhadap tipu-muslihat yang menggunakan racun berbahaya. Nayaka Madu memang licik, jahat dan terlalu licin ! Baiklah, biarlah aku bersabat sampai empat tahun lagi sebelum menuntut dendam. Bila kepandaianku sudah maju seperti makna bunyi kalimat kakang Mijil Pinilih, pada waktu itu belum kasep untuk membuat perhitungan dengan Nayaka Madu.�
Setelah memperoleh keputusan demikian, ia keluar goa membuat sebatang pedang kayu. Kemudian mulailah ia berlatih mengikuti petunjuk-petunjuk tulisan dan gambar yang terdapat pada dinding goa. Memang tidak semudah orang mendengarkan petunjuk seorang guru yang dapat berbicara daripada petunjuk seorang guru yang tidak hanya bisu tetapi tidak pandai bergerak pula. Tetapi Jayakusuma selamanya tidak pernah menyerah dengan suatu kenyataan betapa sulitpun. Makin ia menghadapi suatu kesukaran, makin berkobarlah semangat juangnya untuk mengatasi.
"Pedang kayu memang mudah sekali patah." Pikirnya di dalam hati. "Beratnya jauh sekali bila dibandingkan dengan rantai Simagalu. Agaknya hanya terdapat dua jalan. Pertama, aku harus menyelami intipati jurus-jurus sakti yang terdapat dalam kitab sakti Pancasila. Dengan berbekal jurus-jurusnya, aku harus dapat bergerak cepat mendahului gerakan lawan. Dan kedua : himpunan tenaga saktiku harus menemukan salurannya yang
tepat dan cepat. Kakang Mijil Pinilih menganjurkan agar aku memperhatikan petunjuk-petunjuk yang terdapat pada dinding goa ini. Pastilah ada alasannya."
Semenjak hari itu, mulailah ia berlatih jurus-jurus ilmu sakti Pancasila. Hasilnya benar-benar diluar dugaan. Himpunan tenaga saktinya mendadak saja membanjir keluar tanpa rintangan, seolah-olah menemukan salurannya yang tepat. Karena tidak mempunyai kawan berlatih, ia mencebur di dalam arus terusan yang dulu pernah mementalkan tubuh Retno Marlangen. Heran, kini ia bisa bertahan dan bahkan hampir mampu memundurkan arusnya yang deras. Dan tak terasa enam bulan, lewatlah sudah. Selama itu, ilmu pedangnya kini berubah gaya dan bentuknya. Itulah ilmu pedang Pancasila yang tiada taranya di jagad ini. Sebab selain sudah manunggal dalam dirinya, sesungguhnya merupakan perasan dari semua intisari ilmu sakti yang terdapat dalam jagad raya ini.
Suatu hari teringatlah dia kepada buah Klepu Dewadaru.
Segera ia membuka peti penyimpannya dan memakan buah itu setiap tiga hari sekali. Sekarang himpunan tenaga saktinya selalu bergolak setiap kali ia mengadakan gerakan-gerakan sekecil-nyapun.
Dahulu, tatkala ia mencoba-coba merenungi lekak-lekuk garis ilmu sakti tentu ada tenaga perlawanan yang kuat. Kini, sama sekali tidak. Maka timbullah niatnya hendak mulai menyelami gurat-guratan ilmu sakti Carang Gesing dan Bende Mataram.
Tetapi aneh ! Begitu ia merenungi garis-garis lekukannya, seluruh badannya tergetar. Namun ia dapat bertahan dan tak usah sampai dipentalkan. Hanya saja, sewaktu ia menggerakkan pedang kayunya, tiba-tiba angin berderu bergulungan seakan-akan hujan badai melanda bumi. Terdorong oleh rasa girang, ia menyambitkan pedangnya. Sing ! Pedang kayunya menyambar dinding goa. Cres ! Dan batu dinding goa itu ambrol seperti
tergempur tenaga gempa bumi. Sebaliknya pedang kayu itupun patah pula menjadi dua.
"Hai ! Tenagaku !" ia berseru terkejut bercampur girang. "Dengan memiliki tenaga sehebat ini siapa lagi yang dapat menandingi diriku ? Ah ! tak mengherankan apa sebab bunyi ucapan kakang Mijil Pinilih berkesan sombong dan tinggi hati. Katanya, ilmu saktinya dapat menindih semua ilmu sakti Empu Kapakisan. Nyatanya, warisannya memang begini hebat dan dahsyat."
Seperti diingatkan, ia berlari-larian mencari tempat penyimpanan abu Ki Ageng Mijil Pinilih. Berulang kali ia membuat sembah. Lalu berkata berkomat-kamit:
"Kakang ! Tanpa pertolonganmu, pastilah aku tidak mempunyai kepandaian begini tinggi. Kakang, legakan hatimu ! Pastilah aku akan menuntutkan dendam bagimu menggempur kesaktian Patih Madu. Orang itu tidak hanya menjahatimu, tetapi berkhianat kepada negara dan menghancurkan masa depanku pula."
Satu tahun lagi ia berlatih siang dan malam. Sekarang, gerakannya tidak lagi menerbitkan suara mendengung. Bahkan tidak bersuara sama sekali. Akan tetapi bila menghendaki, ia bisa menerbitkan suara deru menderu dahsyat seperti tinggal memijat tombolnya saja. Ringkasnya ia kini dapat menguasai ilmu sakti Pancasila sekehendak hatinya. Mau halus jadi halus. Sebaliknya bila menghendaki kasar, menjadi gumpalan tenaga dahsyat bagaikan badai melanda bumi.
"Tatkala aku melepaskan pedang kayuku, dinding goa ambrol Tetapi pedang kayu, patah menjadi dua. Kalau aku bisa mempertahankan pedang kayuku tetap utuh, barulah aku mendekati kehendak kakang Mijil Pinilih." katanya di dalam ha.
Demikianlah, ia berlatih satu tahun lagi. Karena disibukkan masa latihannya, kenangannya terhadap Retno Marlangen sudah
bisa tersisihkan. Pada suatu hari ia mencoba melemparkan pedang kayunya. Dengan suara mengaung pedang kayunya terbang menabas batu dinding goa. Bres ! Dinding goa ambrol seperti dulu. Hanya kali ini, pedang kayunya tetap utuh. Ia bergembira, namun belum puas juga. Tiga bulan kemudian, setelah dapat melemparkan pedang kayunya dan dapat menabas dinding goa tanpa menerbitkan bunyi, barulah ia berhenti berlatih. Tak usah dikatakan lagi, bahwa ilmu kepandaiannya kini sudah mencapai puncak kemahiran. Ia tidak hanya mengantongi kedahsyatan manunggalnya ilmu sakti Sasanti madu dan Pancasila saja, tapipun dapat menggunakan jurus-jurus sakti warisan Empu Kapakisan yang sama dahsyat dan saktinya.
Keesokan harinya, kembali lagi ia bersujud di depan abu Ki Ageng Mijil Pinilih. Lalu berkata :
"Mari kakang, kita mencari ayunda Prabasini. Aku akan mencari bibi Retno Marlangen. Mulai saat ini, dapatlah aku menuntutkan dendammu. Moga-moga pula aku dapat menemukan harta terpendam atas petunjukmu..........�
Setelah berkata demikian, ia membungkus guci abu Ki Ageng Mijil Pinilih dan dimasukkan ke dalam kantong bajunya. Ia membawa pedang kayu yang tergantung pada dinding goa. Rantai Srinagaluh yang pernah berjasa melindungi dirinya digubatkan di pinggangnya, seolah-olah sebuah ikat pinggang berwarna hitam. Kemudian berangkatlah ia meninggalkan goa Kapakisan.
Waktu itu tahun ketiga pemerintahan Rangga Permana yang menggantikan kedudukan ayahanda Mahapatih Gajah Mada, sebagai perdana Menteri kerajaan Majapahit Negeri berkesan aman sentausa dan rakyat hidup makmur. Di sawah ladang terdengar senandung petani menggarap tanamannya. Kanak-kanak bermain petak dan lumpur meniru pekerti kerbau-kerbau gembalaannya. Wajah mereka cerah. Secerah matahari di
pagihari yang menembus deretan awan berarak-arak. Akan tetapi benarkah suasana negara aman dan sentausa ?
Tidak! Di salah satu sudut wilayah negara masih hidup Nayaka Madu dengan saudara seperguruannya yang sudah semenjak lama merongrong kewibawaan negeri. Untuk sementara mereka hidup sentausa, karena kekuasaannya belum terobohkan. Apalagi Pangeran Jayakusuma tiada lagi berada di wilayah kekuasaannya. Meskipun tentara negeri masih saja mencoba menerobos daerah pertahanannya, tetapi Nayaka Madu selalu dapat mengundurkan atau lari menyembunyikan diri. Karena Markas Besarnya berada dalam suatu tempat yang penuh dengan jebakan-jebakan dan racun-racun berbahaya, lagipula bersembunyi pada suatu tebing yang hanya diketahuinya sendiri, maka tentara negeri tidak berhasil menangkapnya hidup atau mati.

BERSAMBUNG..

Pangeran JayakusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang