laku

878 6 1
                                    

PANGERAN JAYAKUSUMA
karya: Herman P
Seri 3

Waktu itu matahari sudah tenggelam dengan diam-diam. Suasana alam cepat sekali menjadi gelap. Tak mengherankan suara seruan itu berkesan menyeramkan layak disebut suara hantu.
"Kebu Dungkul, Kebo Landoh, Kebo Langking, kebo Rekta, Kebo Jenar dan Kebo Seta sudah datang. Hoeeee Kebo Asemmmmm..... kenapa sampai sekarang kau belum datang juga? Apa yang kau tunggu ?".
Seruan itu terdengar halus nyaring dan terputus-putus. Meskipun demikian tiap patah kata-katanya terdengar jelas dan tegas sekali. Kesannya aneh sehingga menyeramkan. Dan mendengar seruan itu, Kebo Asem kelihatan terkejut Tidak
sempat ia menanggapi ejekan Gajor Lawang Pamokswa. Mendadak saja dengan membentak, ia melompat tinggi dan menghantam pohon sebesar dua pelukan tangan manusia yang berada dibelakangnya. Dan kena pukulannya, batang pohon itu retak dan roboh dengan suara bergemuruh. Sekarang mereka percaya, bahwa Kebo Asem benar-benar memiliki tenaga yang dahsyat sekali.
"Kalungkung !" seru Lembu Jenar. "Orang itu benar-benar bertenaga luar biasa dahsyatnya. Hai, bagaimana engkau Jagor ? Kau bilang apa ? Kalau dia sampai mengagumi tenaga Pangeran Jayakusuma, maka bisa dibayangkan betapa hebatnya putera raja itu...............�
Diah Carangsari, Harya Demung Panular dan Diah Mustika Perwita adalah murid Ki Pandan Tunggaldewa. Sudah barang tentu mereka mengenal perangai dan sepak terjang orang-orang yang berkepandaian tinggi. Tetapi menyaksikan seorang dapat merobohkan sebatang pohon sebesar dua pelukan tangan manusia dengan satu kali pukulan saja, baru untuk pertama kali itu mereka saksikan. Mau tak mau, mereka tertegun terlongong-longong.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar gemuruh robohnya sisa batang pohon dari arah belakangnya. Begitu hebat gempuran tenaga yang memukul pohon itu, sehingga kepingannya berhamburan mengenai mereka yang berada disekitarnya. Selagi mereka terperanjat, kebo Asem sudah berdiri kembali di tempatnya semula. Tidak perlu diterangkan lagi, yang memukul sisa pohon yang berdidi tegak bagaikan kaki raksasa itu adalah Kebo Asem.
Pada waktu itu, kepandaian Diah Carangsah, Harya Demung Panular dan Diah Mustika Perwita dapat dibandingkan dengan kepandaiannya dahulu tatkala masih berada di rumah perguruan. Setelah beberapa tahun merantau, mereka bertemu dengan seorang pandai yang bersedia menjadi guru mereka. Orang itu
menyebut diri sebagai Lawa Ijo. Dan oleh bimbingan orang yang menamakan diri Lawa Ijo, ilmu sakti mereka maju pesat. Namun melihat tenaga Kebo Asem yang luar biasa, mereka terperanjat sampai paras mukanya menjadi pucat. Khawatir adik seperguruannya akan dicelakai Kebo Asem, buru-buru Diah Carangsari melompat turun dari kudanya hendak melindungi Harya Demung Panular dan Diah Mustika Perwita yang masih bercokol di atas kudanya.
Kebo Asem tertawa lebar. Katanya kepada Diah Carangsari: �Kami sebenarnya tujuh saudara. Kami semua dalah teman Pangeran Jayakusuma. Dari Pangeran Jayakusuma kami kenal siapa nyonya sebenarnya. Semasa masih gadis, nyonya bernama Diah Carangsari, bukan ? Kini engkau sudah menjadi nyonya Wira Wardhana. Perkenankan aku mengangguk hormat padamu."
Wajah Diah Carangsari berubah, la kelihatan tidak senang. Hal itu disebabkan oleh kesan pergaulannya dengan Pangeran Jayakusuma yang mempunyai kenang-kenangannya sendiri. Meskipun hanya bergaul beberapa hari saja, tetapi kesannya sangat mendalam, la kena dipermainkan bocah nakal itu. Kemudian ditinggalkan begitu saja di markas perwira Wira Wardhana. la terpaksa menyerah kepada perawatan Wira Wardhana. Akan tetapi hatinya, sebenarnya berontak. Itulah sebabnya, masih dapal ia bergerak bebas untuk bertemu kembali dengan Pangeran Jayakusuma di dekat kota Singasari. Kemudian pemuda itu hilang tiada kabarnya. Oleh hilangnya pemuda itu, ia bergaul dengan Wira Wardhana lagi. Akhirnya oleh pertimbangan-pertimbangan tertentu, ia menerima lamaran Wira Wardhana. Dan dua bulan yang lalu, ia menjadi nyonya Wira Wardhana yang menggantikan kedudukan Panglima Panji Angragani. Sebaliknya, sebagaimana Pangeran Jayakusuma mengetahui dirinya sudah menjadi nyonya Wira Wardhana ? Pemuda itu sebenarnya hanya main tebak saja.
Dasar otaknya cerdas dan pandai membaca keadaan, ternyata tebakannya tepat sekali.
"Kau berkata, aku nyonya Wira Wardhana. Kalau benar, engkau mau apa ?" sahutnya kepada Kebo Asem.
Mendengar pengakuan Diah Carangsari, Lembu Jenar, Gajor Lawan Pamokswa, nenek Kajoran dan Kalungkung berubah wajahnya. Bukankah mereka tadi membandingkan Panglima Wira Wardhana dengan Panglima Panji Angragani ? Meskipun mereka tidak menyebut nama Wira Wardhana, tetapi siapapun akan tahu maksudnya. Dan melihat kesan nyonya Wira Wardhana yang galak itu, jantung mereka berdegupan.
Kebo Asem tertawa perlahan. Berkata :
"Kalau kalian ingin bertemu dengan Pangeran Jayakusuma, ikutilah kami ! Kami bertujuh teman bermain Pangeran Jayakusuma."
"Ah, bagus !" seru Diah Mustika Perwita. "Mari kita berangkat!"
"Jangan terburu nafsu ! Kita belum mengenal siapa mereka." Carangsari memperingatkan.
"Masakan ada bahayanya ?" Diah Mustika Perwita heran.
"Bersikap berhati-hati dan berwaspada tiada buruknya�. Gajor sikasar menimbrung. "Orang itu mengaku teman bermain Pangeran Jayakusuma. Lalu memamerkan kekuatannya Pohon yang tidak berdosa dipukulnya roboh. Padahal pohon ini sudah berusia puluhan tahun. Mungkin lebih ! Apakah perbuatan begitu membuat ruginya sesama makhluk hidup ?"
Kebo Asem menyeringai. Sahutnya :
"Hm, apakah engkau manusia baik pula ? Coba buka penutup kepalamu ! Bukankah telingamu hilang sebelah ?"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba ia menghantam telapak tangannya. Suatu gumpalan tenaga menghantam dada Gajor. Orang kasar itu terhuyung mundur sampai membentur sisa batang pohon yang tinggal setinggi orang. Wajahnya pucat dan ia roboh dengan perlahan
Carangsari terkejut. Ia tahu, kepandaian Kebo Asem berada di atasnya. Akan tetapi hal itu bukan alasan baginya untuk takut. Memang selamanya ia tidak mengenal takut. Katanya kepada Kebo Asem :
"Berangkatlah engkau lebih dulu ! Kami bertiga akan mengikutimu dari jauh."
Sebelum Kebo Asem menjawab ucapan Diah Carangsari, terdengar seruan kembali yang datang seperti angin menyusup gumpalan awan :
"Kebo Asem ! Kami sudah siap berangkat. Mengapa engkau belum datang juga ?"
Seperti tadi, seruan itu dikirimkan dari jarak jauh. Meskipun demikian terdengar jelas sekali. Dan mendengar seruan itu. Kebo Asem melompat tinggi sambil menyambar tangan Diah Mustika Perwita. Berkata :
"Mari kita berangkat !"
"Hai !" teriak Diah Carangsari terperanjat. Ia mencoba menghalangi dengan menyambar lengan Diah Mustika Perwita. Tetapi gerakan Kebo Asem lebih cepai dan lebih gesit. Tahu-tahu mereka berdua sudah melesat jauh. Memang Diah Mustika Perwita tidak berusah menolak, ia bahkan seperti menyetujui. Karena itu sewaktu dibawa lari Kebo Asem, ia ikut lari pula.
"Penular !" teriak Diah Carangsari sambil melompat ke atas kudanya. "Bawa kuda adikmu !" Ia mendahului berangkat mengejar. Tetapi pada saat itu, Diah Mustika Perwita dan Kebo Asem sudah tiba di bawah bukit dan mengarah ke timur laut.
Dengan menggandeng tangan Diah Mustika Perwita, berkatalah Kebo Asem :
"Nona benar-benar engkau seorang gadis yang berani dan tabah."
Diah Mustika Perwita tidak menjawab. Ia hanya bersenyum sambil mengimbangi langkah Kebo Asem yang lari makin lama makin cepat. Tidak mengherankan, sebentar saja mereka berdua sudah memasuki hutan belantara. Dan begitu berada di tengah hutan, Kebo Asem tidak segan-segan lagi. Ia seperti merasa berada di tengah kebun rumahnya sendiri Terus saja ia lari dengan mengerahkan seluruh kebisaannya. Terpaksalah Diah Mustika Perwita mengimbangi lagi. Meskipun kalah tenaga, akan tetapi kalau hanya mengadu lari, ia tak usah takut bakal tersengal-sengal nafasnya.
Menyaksikan kepandaian Diah Mustika Perwita yang dapat mengimbangi langkah larinya, Kebo Asem tertawa senang. Serunya:
"Nona ! Kau adalah sahabat Pangeran Jayakusuma. Pastilah memiliki keistimewaan tertentu. Marilah kita berlomba !"
Diah Mustika Perwita berbimbang-bimbang. Dapatkah ia mengimbanginya ? Tadi ia sempat menyaksikan ketangguhannya. Ilmu kepandaiannya berada diatasnya. Tetapi ia pernah menjadi murid orang bertopeng yang mengaku bernama Lawa Ijo. Meskipun belum pernah ia mencoba warisan ilmu saktinya, namun tiada alasannya untuk menolak tantangan Kebo Asem. Selagi demikian, Kebo Asem sudah tancap gas dengan menarik tangannya dan dibawanya lari seakan-akan terbang. Karena belum siap sepenuhnya, hampir-hampir Diah Mustika Perwita terserimpet kakinya. Syukur, ia dapat menggeserkan kaki kirinya ke samping. Dan barulah ia dapat menancapkan kakinya teguh-teguh. Di luar kemauannya sendiri, langkah itu justru yang dikehendaki ilmu rahasia ajaran Lawa Ijo yang pernah dipelajarinya.
Oleh langkah yang tidak disengaja itu tetapi sesungguhnya tepat sekali, mendadak saja ia menyelonong ke depan mendahului Kebo Asem, sehingga tangannya terlepas dari genggamannya. Keruan saja hatinya girang bukan main.
�Berhasil! Berhasil!"
Ia berteriak di dalan hatinya. Itulah untuk yang pertama kaitnya ia menggunakan ilmu sakti ajaran gurunya yang baru. Hanya saja, karena belum terlatih masak-masak ia harus mencurahkan seluruh perhatiannya sehingga tidak berani berpikir yang lain.
Sebentar tadi, sewaktu mula-mula dibawa lari Kebo Asem, ia menggunakan ilmu lari ajaran Ki Pandan Tunggaldewa. Ilmu ajaran Ki Pandan Tunggaldewa berpokok pada ketahanan jasmani. Dan begitu ia menggunakan ilmu ajaran Lawa Ijo, genggaman tangan Kebo Asem tergetar. Kesempatan itu dipergunakan Diah Mustika Perwita untuk membebaskan tangannya. Maka kedua orang itu kini sejajar larinya. Begitu cepat mereka berian, sehingga pohon-pohon yang tumbuh di seberang-me-nyeberang jalan setapak di tengah hutan seakan-akan melewati dirinya bagaikan terbang.
Waktu Diah Mustika Perwita memperoleh ilmu sakti dari Lawa Ijo, tak terpikir olehnya bahwa pada suatu kali ia akan berlomba lari dengan seseorang. Kini sekali sudah menggunakan ilmu sakti ajaran Lawa Ijo ia lari bagaikan anak panah terlepas dari. gendewanya. Hanya saja ia belum mahir benar, sehingga kcepatan berlarinya mungkin sekali masih jauh seperti yang diharapkan gurunya. Meskipun demikian, ia bisa mendahului Kebo Asem. Keruan saja Kebo Asem terkejut. Segera ia mengerahkan seluruh tenaganya habis-habisan untuk mengejar. Sekali dua kali ia berhasil menjajarinya. Tetapi apabila ayal sedikit saja, Diah Mustika Perwita sudah mendahuluinya kembali. Diam-diam Kebo Asem kagum kepada kegesitan gadis itu.
Pikirnya, benar-benar sahabat Pangeran Jayakusuma memiliki keistimewaannya masing-masing.
Demikianlah, beberapa kali ia mencoba mengejar dan mendahuluinya. Ia tahu, untuk memenangkan perlombaan lari itu, dia akan berhasil manakala dalam jarak jauh. Sebab dalam hal mengadu tenaga, pastilah dia lebih unggul. Sebaliknya dalam jarak dekat, ia tidak mempunyai harapan. Oleh pertimbangan itu, ia tertawa terbahak-bahak dan menghentikan langkahnya. Kemudian duduk di atas sebuah batu yang berada di bawah sebatang pohon rindang. Serunya :
"Nona, aku benar-benar menyerah kalah padamu. Semua handai-taulan Pangeran Jayakusuma ternyata berkepandaian tinggi. Maka sudah sewajarnya aku berbesar hati, karena akupun termasuk sahabatnya pula."
Diah Mustika Perwita menghentikan larinya, la berbalik menghampiri Kebo Asem dengan tersenyum. Selagi demikian, terdengar suara tertawa di kejauhan. Dengan cepat sekali orang yang tertawa itu sudah berada di depan mereka berdua. Kata orang-orang itu:
"Kebo Asem ! Mengapa terlambat datang ? Apakah engkau belum berhasil mencari berita perembesan ? Hai, siapa dia ? Cantik sungguh bocah ini�.
"Dia sahabat Pangeran Jayakusuma. Namanya Diah Mustika Perwita. Dia kubawa serta kemari karena ingin bertemu dengan Pangeran Jayakusuma� sahut Kebo Asem sama sekali ia tidak mau menerangkan istilah perembesan yang diucapkan orang itu.
"Sahabat Pangeran Jayakusuma ? Apakah dia salah seorang penasehat Perdana Menteri Rangga Permana ?" orang itu menegas.
Belum lagi Kebo Asem sempat menjawab, terdengar suara orang di balik bukit
"Sekarang hampir larut malam. Hayo pulang !"
Setelah suara itu lenyap dari pendengaran, muncullah tujuh ekor kuda dari balik bukit. Dua ekor kuda, tiada penunggangnya. Dan melihat kuda-kuda itu, Diah Mustika Perwita jadi teringat kepada kudanya sendiri. Tetapi ia tidak sempat berpikir berkepanjangan, karena perhatiannya tertarik kepada bentuk tubuh kelima orang yang bercokol di atas kudanya-masing-masing.
Kebo Asem segera menyambut seekor kuda yang diberikan temannya kepadanya. Tetapi kemudian ia menyerahkan kuda itu kepada Diah Mustika Perwita sambil berkata :
"Nona, naiklah! Mereka semua adalah saudara-saudaraku. Ini Kebo DungkuL Dan itu Kebo Landoh......dan yang lainnya Kebo Langking, Kebo Seta, Kebo Rekta dan Kebo Jenar."
Diah Mustika Perwita menerima perkenalan itu dengan anggukan pendek. Diam-diam ia mencoba memperhatikan raut muka mereka masing-masing. Tetapi karena tirai malam di tengah hutan amat pekat, dia hanya dapat melihat bentuk tubuhnya.. Dalam pada itu, terdengarlah Kebo Dungkul berkata kepada Kebo Asem:
"Adik ! Kami berenam sengaja menyusulmu karena sebentar lagi kita bakal menghadapi empat orang musuh yang tangguh. Selain ahli mengadu gemak*), merekapun bermaksud mencoba kepandaian kita. "
(*Gemak adalah sejenis, dapat di adu, tetapi ada aturannya yang unik. Gemak nama jenis burung betina. Yang jantan namanya Bence. Bila sedang diadu, penonton harus bertolak pinggang. Sebab sekali penonton bergerak, gemak itu menjadi takut dan tidak dapat diadu lagi)
"Siapa musuh kita ?" Kebo Asem minta keterangan.
"Tiga wanita dan seorang laki-laki." jawab Kebo DungkuL "Entahlah, kalau mereka menyembunyikan teman-temannya. Laki-laki itu berperawakan tinggi kurus. Umurnya kira-kira empatpuluh lima tahun, tetapi tingkah lakunya kasar dan kurang-ajar."
"Hm, melawan empat orang musuh saja, mengapa harus menunggu kedatanganku ?" tegur Kebo Asem. .
"Ketiga wanita itu berkepandaian tinggi. Begitulah kabar yang kami terima."
"O, begitu ? Baik, mari kita sambut" ajar Kebo Asem dengan tertawa.
Kebo Dungkul tertawa terbahak pula. Sekonyong-konyong mengalihkan pembicaraan :
"Dengan kedatanganmu, hatiku mantap. Sekarang yang sangat perlu kita atur adalah menentukan siasat melawan Pangeran Jayakusuma. Apakah engkau masih mengotot, bahwa dia seorang satria yang benar-benar memiliki kepandaian di atas kemampuan kita bertujuh ?"
Mendengar Kebo Dungkul menyebut nama Pangeran Jayakusuma hati Diah Mustika Perwita tercekat. Ucapan itu sama sekali tidak diduganya Sebenarnya, mereka musuh atau kawan Pangeran Jayakusuma ? Sementara itu Kebo Asem menyahut:
�Eh, apakah kakang masih menyangsikan keteranganku ? Aku hanya dapat menambah keteranganku begini. Memang belum pernah aku berkelahi mengadu kepandaian dengan dia. Tetapi dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan kepandaiannya yang sangat tinggi."
"Kakang !" kata Kebo Langking yang berperawakan tinggi kurus kepada Kebo Asan. "Coba ulangi lagi bagaimana mula-mula engkau berkenalan dengan dia !"
"Masakan harus seringkali aku mengulangi laporanku?� sahut Kebo Asem setengah mengeluh. "Aku sedang berburu dan bertempur melawan harimau. Lalu aku melihat tenaganya yang besar dan kemampuannya yang mengagumkan. Pikirku, terhadap manusia begitu barulah kita pantas mengabdikan diri. Dengan begitu, kita bertujuh jadi mempunyai seorang pemimpin. Tidak sepati sekarang ini. Kita ini seumpama seekor ular tidak mempunyai kepala."
�Ohoooo......tidak mudah kita menyerah kalah untuk menjadi budaknya." Kebo Seia merimbun "Sebenarnya apa senjata yahg dipergunakan ? Kepandaian apa pula yang pernah diperlihatkan kepadamu ?"
"Kulihat ia sama sekali tidak bersenjata apapun. Tetapi sekali tangannya mengibas, perut harimau itu ambrol." sahut Kebo Asem dengan bersemangat. "Tatkala aku memburu harimau, seluruh tenagaku telah kukerahkan untuk mengejarnya. Tetapi dengan sekali benserak, tiba-tiba saja Pangeran Jayakusuma sudah mendahului diriku dan terus menghantam binatang yang dipilihnya. Bukankah hal itu mengagumkan ?"
Kebo Seta diam berenung-renung. Lalu berkata dengan menarik nafas:
"Rupanya orang itu benar-benar berkepandaian tinggi. Kukira dia memiliki mantra sakti seperti Calon Arang. Tetapi kita bertujuh, masakan tidak bisa mengalahkannya ? Baiknya kita atur begini saja. Dua orang menyerang dari depan Aku dan kakang Kebo Asem dari samping. Dan tiga orang dari belakang. Di kerubut demikian, masakan kita tak dapat mengambil jiwanya ?"
"Mengapa engkau mengusulkan suatu keroyokan ?" Kebo Asem minta penjelasan
"Ini demi mempertahankan pamor rumah perguruan Kebo Sapta." Ujar Kebo Seta. "Kami bertujuh yang disebut Kebo Sapta
masakan akan membiarkan diri menjadi budak orang yang kurang pantas kita sebut majikan ?"
Kebo Asem melemparkan pandang kepada Kebo Dungkul yang menundukkan kepalanya semenjak tadi. Ia minta keputusan kakaknya yang tertua itu. Karena Kebo Dungkul tidak segera membuka mulutnya, nafas kuda mereka terdengar nyata.
"Pangeran Jayakusuma adalah ahli waris Empu Kapakisan Kukira apa yang dikatakan dinda Kebo Asem tidak terlalu berlebihan." Akhirnya Kebo Dungkul membuka suaranya dengan sungguh-sungguh. "Aku dan dinda Kebo Asem akan menyerang dari depan. kebo Rekta dan Kebo Langking biarlah dari samping. Dan kau Kebo Landoh, carilah kesempatan untuk melepaskan senjata bidikmu yang beracun. Sedang Kebo Seta dan Kebo Jenar menyerang dari belakang. Pakailah senjata panjang dengan sasaran rendah. Dengan siasat maju mundur, pastilah akan menga-lutkan hatinya. Semenjak kita bertujuh mengangkat saudara dan bersumpah sehidup semati untuk mendirikan kekuasaan, inilah untuk yang pertama kalinya kita melawan musuh dengan berbareng. Sekiranya tidak berhasil, janganlah kita bercita-cita lagi mendirikan semacam kekuasaan. Lebih baik kita menjadi budaknya...............�
Diah Mustika Perwita mengerutkan kening. Sekarang barulah jelas baginya. Sebagai seorang gadis yang cerdas dan cermat segera ia dapat meraba latar belakangnya. Rupanya mereka bertujuh sudah semenjak lama tidak terkalahkan oleh siapapun. Lalu bercita-cita hendak mendirikan semacam pemerintahan. Syukur bisa seluas wilayah Kadipaten. Percaya kepada kepandaian sendiri, pastilah mereka akan berhasil mencapai angan-angannya. Mendadak kebo Asem bertemu dengan Pangeran Jayakusuma yang memiliki kepandaian di atas mereka, mendengar tutur-kata Kebo Asem tentang kegagahan Pangeran Jayakusuma, mereka bersepakat untuk menguji diri. Hal ini bakal merupakan suatu penataran yang menentukan. Bila berhasil mereka akan segera mewujudkan cita-citanya dengan, mengumumkan berdirinya sebuah Kadipaten baru yang otonom. Bila tidak berhasil, memang lebih baik kita menjadi budaknya."
"Biar bagaimana mereka ini berwatak satria." pikir Diah Mustika Perwita. Selagi berpikir demikian, tiba-tiba Kebo Langking berkata:
"Kakang Kebo Dungkul ! Meskipun Pangeran Jayakusuma cukup tangguh, aku percaya dia pasti terjungkal di tangan kita bertujuh. Hanya saja, mengingat dia seorang Pangeran, tentunya raja tidak akan tinggal diam. Bagaimana baiknya ?"
"Mudah saja." sahut Kebo Seta dengan cepat. "Kalau kita sudah berhasil membunuh Pangeran Jayakusuma, kita singkirkan saja perempuan ini. Dengan menyingkirkan perempuan ini, tidak ada saksi lagi dalam peristiwa pertempuran nanti."

BERSAMBUNG..

Pangeran JayakusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang