enam

1.4K 7 0
                                    

PANGERAN JAYAKUSUMA
karya: Herman P
Seri 6

Diah Mustika Perwita menatap wajahnya. Kemudian mengangguk pelahan. Dan melihat anggukan Diah Mustika Perwita, wajah Pangeran Jayakusuma kelihatan girang. Terus saja ia menggendongnya dan dibawanya lari. Ia mengarah kepada cahaya biru yang sebentar tadi mengejap di angkasa. Kebo Dungkul dan sekalian saudara-seperguruannya tidak ketinggalan. Akan tetapi langkah Pangeran Jayakusuma terlalu cepat dan hebat. Walaupun menggendong Diah Mustika Perwita sama sekali tidak terasa mengurangi kecepatannya. Padahal Kebo Dungkul bertujuh bukan manusia sembarangan. Namun sebentar saja, mereka sudah kehilangan bayangan pemuda itu.
Pangeran Jayakusuma sendiri sebenarnya tidak bermaksud memamerkan kepandaiannya. Ia terkejut sewaktu melihat cahaya biru itu yang meledak di sebelah utara. Bukankah Lukita Wardhani dan anak murid Rangga Permana mengarah ke utara pula ? Kalau mereka sampai kepergok Nayaka Madu, bisa celaka.
Lukita Wardhani boleh pandai dua kali lipat lagi, namun menghadapi Nayaka Madu yang licin bagaikan iblis, dia bukan tandingannya. Malahan Ki Ageng Mijil Pinilih sendiri terpedaya kelicinannya. Tidak mengherankan, Pangeran Jayakusuma sangat mengkhawatirkan keselamatannya. Apalagi ia tadi merasa salah. Kalau sampai tidak dapat melindungi, rasanya hidup tujuh kali di dunia belum dapat menebus dosanya.
Beberapa saat kemudian, sampailah ia di sebuah biara rusak yang berada di atas bukit Biara itu kecil saja, mirip sebuah gubuk. Barangkali pada jaman dulu tempat seorang pertapa mengasingkan diri. Segera Pangeran Jayakusuma membawa Diah Mustika Perwita memasuki biara itu, lalu didudukkan di atas sebuah meja yang terbuat dari batu.
"Bagaimana perasaanmu ?"
Diah Mustika Perwita tersenyum lebar penuh terima-kasih. Sahutnya:
"Sebentar lagi aku akan pulih kembali. Hm, kangmas kelihatan gembira. Apa yang sudah terjadi ?"
�Apa yang sudah terjadi ?� Pangeran Jayakusuma mengulang tak mengerti.
"Rupanya ayunda Lukita Wardhani bersikap lunak terhadap kangmas." ujar Diah Mustika Perwita menggoda.
"Lantas mengapa ?"
"Bagaimana perasaan kangmas setelah bertemu kembali dengan ayunda Lukita Wardhani ?"
�Bagaimana perasaanku ?� Pangeran Jayakusuma berkomat-kamit. Sedetik kemudian ia tertawa geli, karena dapat menebak maksud Diah Mustika Perwita. Ah, gadis itu sedang menggelitik hatinya. Karena gadis itu berbuat demikian, iapun lalu menjawab:
"Aku ini orang buangan. Orang yang bernasib buruk. Sebaliknya dia puteri seorang Perdana Menteri yang menentukan nasib negara dan bangsa."
Diah Mustika Perwita bukan Retno Marlangen. Namun sedikit banyak mengenal kata hati Pangeran Jayakusuma. Semenjak belasan tahun, pemuda itu sudah terpaksa meninggalkan kehidupan dalam istana. Itulah sebabnya hatinya biasa bebas. Biasa hidup bebas dan tidak sudi terikat oleh macam aturan apapun. Apalagi ia kini kehilangan Retno Marlangen yang merupakan cahaya hidupnya. Tentunya terhadap kehidupan ini baginya terasa hambar tak ubah masakan tanpa garam.
Selagi demikian, tiba-tiba terdengar suara langkah orang yang berilmu tinggi. Pangeran Jayakusuma menghampiri dinding dan melongokkan kepalanya. Nampaklah dua orang laki-laki menghampiri biara. Yang berjalan di sebelah kiri seorang berperawakan tinggi besar dan lainnya bertubuh pendek kegemuk-gemukan. Mereka mengenakan pakaian pendeta.
Yang berperawakan tinggi besar membawa sebatang tongkat. Melihat tongkat itu, hati Pangeran Jayakusuma tercekat. Itulah tongkat Ki Raganata. Teringatlah dia, sewaktu Ki Raganata mengadu kepandaian dengan Kebo Talutak. Setelah mereka berdua meninggal, tongkat itu diletakkannya di sisi jenasah Ki Raganata. Sekarang, mengapa bisa berada di tangan orang itu ? Pangeran Jayakusuma heran. Timbullah rasa curiganya. Segera ia berkata pelahan kepada Diah Mustika Perwita :
"Sst ! kau rebahlah di atas pembaringan dalam kamar itu. Berpura-puralah sakit hebat. Dua orang itu mencurigakan."
Diah Mustika Perwita segera memasuki kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan. Itulah pembaringan Pangeran Jayakusuma yang sama sekali tiada beralas tikar, kecuali setumpuk jerami kering yang berserakan. Pangeran Jayakusuma sendiri kemudian memoles wajah, lengan dan kakinya dengan abu api. Buru-buru ia mengotori pakaiannya dengan rumput kering, seakan-akan seorang pemburu. Setelah itu ia ke luar biara menggeliatkan badannya. Dan begitu melihat siapa yang datang, ia terkejut Sebab yang berperawakan tinggi besar itu adalah Durgampi. Lainnya Kulisadara, salah seorang anggauta pendekar Bukit Gombak. Syukur, wajahnya telah dipoles dengan abu api, sehingga dirinya sendiri saja tidak segera mengenalnya.
Kulisadara yang berperawakan kegemuk-gemukan itu tertawa lebar seraya berkata dengan membungkuk hormat:
"Kami berdua adalah pendeta-pendeta tua yang sedang melakukan dharma igama. Di tengah jalan, kami diserang hujan dan rasa kantuk. Kami mohon pertolongan tuanku untuk sebentar berteduh di sini."
"Janganlah paman pendeta memanggilku dengan sebutan tuanku. Panggillah aku rekan, saudara atau anda." jawab Pangeran Jayakusuma bersandiwara. "Aku hanya seorang pemburu. Sama-sama kebetulan berteduh di sini. Silahkan !"
Kulisadara memanggut-manggutkan kepala seraya menghaturkan rasa terima kasih beberapa kali. Pangeran Jayakusuma mengawaskan Durgampi yang membawa longkat Ki Raganata. Hatinya berdebar-debar, khawatir akan dikenal. Ia pernah mengadu kepandaian dengan Durgampi. Meskipun kini tak perlu takut, namun cahaya biru yang tadi meledak di udara masih merupakan teka-teki besar baginya, la merasa pasti, bahwa mereka berdua hanyalah merupakan kelinci percobaan. Kalau perlu dikorbankan oleh seseorang yang jauh lebih penting kedudukannya. Oleh pikiran itu, cepat-cepat ia mengambil dua paha kijang bakar sisa kemarin dan menghidangkannya kepada mereka berdua.
"Paman berdua hendaklah jangan menolak hidangan kami yang kasar ini." katanya. "Hari masih terhitung pagi benar. Kukira semalam-malaman, paman berdua mengarungi keluasan alam yang dingin dan basah. Daging ini sangat tepat untuk pemanas badan, pada pagihari berhawa dingin. Sebentar bila jebakanku yang kupasang semalam bisa berhasil, akan segera kubawakan hasil buruanku. Siapa tahu, mungkin mendapat dua atau tiga ekor kancil atau seekor harimau raksasa. Baiklah paman berdua beristirahat saja di sini. Tapi cuma lantai tanpa tikar. Maaf aku tak dapat menemani lebih lanjut. Hampir semalam penuh akupun bergadang di luar."
Kulisadara mengangguk. Menyahut dengan wajah girang :
"Terima kasih, nak."
Pangeran Jayakusuma hendak masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba Durgampi berkata menegor:
"Hai! Kau tadi berkata sama-sama kebetulan berteduh di sini. Apa maksudmu ?"
Ditegur demikian, hati Pangeran Jayakusuma tercekat. Tetapi dasar seorang pemuda yang berakal banyak, segera ia menjawab:
"Aku berburu dengan isteriku. Terus-terang saja kami berdua sepasang penganten baru. Sang isteri tidak mau kutinggal di rumah. Nah, ini akibatnya. Ia sakit, karena tidak tahan hawa pegunungan. Apakah paman mau melihat ? Silahkan !"
Benar-benar Durgampi mengikuti Pangeran Jayakusuma masuk ke dalam. Sebentar saja ia menjengukkan kepalanya dan melihat Diah Mustika Perwita tidur mengungkurkan pintu. Dia tidur di atas sebuah pembaringan yang tidak bertikar pula. Pikirnya, benar-benar isteri seorang pemburu yang sedang sakit di pemburuan. Kalau tidak masakan mau tidur di atas pembaringan tanpa tikar. Oleh pikiran itu, ia mengangguk dan balik kembali ke tempatnya.
Sementara itu. Pangeran Jayakusuma masuk ke dalam kamar tanpa segan-segan lagi. Kemudian berkata setengah nyaring kepada Diah Mustika Perwita :
"Bagaimana batukmu ?"
"Agak mendingan Hanya saja nafasku masih terasa sesak." jawab Diah Mustika Perwita. Selama hidupnya baru kali itu, ia bermain sandiwara. Sandiwara yang keterlaluan baginya. Sebab ia seorang gadis yang suci. Kini harus bermain sandiwara sebagai sepasang suami-isteri. Untung, karena sebentar tadi ia benar-benar menghirup racun, suaranya terdengar lemah dan agak parau.
Pelahan-lahan Pangeran Jayakusuma menutup pintu. Lalu merebahkan diri di sampingnya. Ih ! Bulu roma Diah Mustika Perwita meremang. Hatinya berdebar-debar. Selagi dalam keadaan demikian, Pangeran Jayakusuma berbisik :
"Mereka Durgampi dan Kulisadara."
Mendengar Pangeran Jayakusuma menyebut nama Durgampi, buyarlah kesan hati yang bukan-bukan. Dengan berbisik pula segera minta keterangan :
"Siapa Kulisadara ?"
"Dialah salah seorang pendekar Bukit Gombak. Menurut kakang Mijil Pinilih, dia termasuk seorang pendekar berbahaya yang merongrong kewibawaan pemerintah. Karena itu, kita berdua wajib berhati-hati. Sebab mereka berdua pandai melakukan tipu-muslihat yang tidak terduga. Melawan tombak secara berhadap-hadapan jauh lebih mudah daripada menghadapi panah dari balik belukar."
Syukur, baik Durgampi maupun Kulisadara tidak menaruh curiga terhadap Pangeran Jayakusuma. Mereka percaya, Pangeran Jayakusuma adalah seorang pemburu yang berteduh di biara rusak itu dengan istehnya. Kalau tidak, mustahil pembaringannya hanya bertikar jerami awut-awutan. Karena itu, mereka tidak perlu berwaspada. Lalu berbicara dengan leluasa. Sambil mengunyah paha kijang bakar, berkatalah Durgampi:
"Tak salah lagi. Cahaya biru yang meledak di udara tadi berada di sekitar tempat ini. Itulah cahaya sandi kakang Nayaka Madu. Apakah dia sedang mengalami kesulitan ?"
"Ah, siapa yang dapat melawan kakang Nayaka Madu." ujar Kulisadara. "Jangan lagi begundal-begundal Rangga Permana, Gajah Mada dulu tidak dapat melawannya."
"Benar. Tetapi engkau jangan lupa ! Kita dulu pernah menumbuk batu tatkala melawan Pangeran Jayakusuma. Kita hampir mampus dibuatnya." Durgampi mengingatkan temannya. Kemudian ia tertawa lebar.
Mendengar percakapan mereka, teringatlah Pangeran Jayakusuma kepada pengalamannya yang lalu. Dengan mati-matian ia bertempur menghadapi keroyokan anak-buah Nayaka Madu. Di antaranya terdapat mereka berdua. Teringat akan hal itu, terkenang pulalah ia kepada Ki Ageng Mijil Pinilih. Suara Ki Ageng Mijil Pinilih sewaktu menceritakan sepak-terjang anak murid Ki Agastya, mengiang-iang kembali dalam
pendengarannya. Mendadak saja ia benci dan muak terhadap mereka berdua. Katanya di dalam hati :
"Kakang Mijil Pinilih keburu mati, sebelum dapat melaksanakan pesan Ki Agastya untuk membunuh ketiga muridnya. Sebaliknya aku berjanji kepada kakang Mijil Pinilih untuk membalaskan dendam. Biarlah kedua orang itu kubinasakan saja agar arwah kakang Mijil Pinilih tenteram dan damai di alam baka."
Pada saat itu ia mendengar Durgampi berkata tawar kepada Kulisadara:
"Kulisadara, bila engkau berhasil mendaratkan laskar Andalas kemari, pangkat dan jabatan apakah yang bakal kau pinta dari kakang Nayaka Madu ?"
"Sebenarnya aku dijanjikan untuk menempati kedudukan semacam Raja Muda Aditiawarman. Tetapi aku sudah biasa hidup menjadi orang alim. Pangkat dan kedudukan tidak begitu menarik hatiku lagi. Cukuplah sudah, apabila aku sudah bisa membebaskan pulau Andalas dari ketamakan Mapatih Gajah Mada. Aku ingin melihat Minangkabau hidup merdeka. Hidup di atas kakinya sendiri." jawab Kulisadara. Ia berbicara dengan suara sungguh-sungguh. Akan tetapi nada suaranya melagukan kebanggaan dan kesombongan hatinya.
"Bagus!" seru Durgampi mengamini. "Kau seorang pendekar sejati. Perkenankan aku memberi selamat kepadamu."
"Selama beberapa tahun ini, kau berjasa pula terhadap rekan Nayaka Madu." ujar Kulisadara. "Pasti engkau diberi pangkat dan kedudukan pula yang tak kalah mulianya. Apabila engkau salah seorang saudara-seperguruannya."
"Memangku pangkat dan jabatan, bukan angan-anganku." Durgampi menyahut cepat. "Aku hanya ingin meminjam tenagamu."
"Meminjam tenagaku ? Maksudmu untuk memasuki goa Kapakisan seperti yang sering kau katakan ?"
"Benar." kata Durgampi. "Bukankah Kitab Pancasila berada di dalam goa itu ?"
"Itulah keterangan si bangsat Mijil Pinilih." Kulisadara menggerutu. "Benar tidaknya hanya setan yang tahu. Katanya sudah berada di tangan Raganata dan Kebo Talutak."
Semenjak Kulisadara menyebut-nyebut nama goa Kapakisan, hati Pangeran Jayakusuma tergetar. Kini dia bahkan memaki Ki Ageng Mijil Pinilih sebagai bangsat. Tak mengherankan hati pemuda itu panas bagaikan terbakar. Sekarang tidak ragu-ragu lagi ia, untuk membinasakan mereka berdua. Apalagi mereka menginginkan Kitab Pancasila warisan Ki Agastya.
"Aku mendengar kabar, bahwa engkau pernah membaca kitab sakti itu. Selamat, selamat!" seru Durgampi.
"Bohong ! Dusta ! Melihat saja belum pernah." bantah Kulisadara dengan sungguh-sungguh.
Tetapi Pangeran Jayakusuma sudah kenal Durgampi yang amat licin dan licik. Rupanya ia menaruh curiga kepada Kulisadara. Dan sekali menaruh curiga, ia tidakkan mau sudah. Dengan pandang mata berapi-api Durgampi menatap wajah Kulisadara. Dan kena pandang demikian, Kulisadara jadi risih sendiri. Mendadak berkata mengalihkan pembicaraan :
"Apakah cuma ada sekeping paha ini saja ? Biarlah aku masuk hutan. Sambil menunggu kedatangan kakang Nayaka Madu, alangkah nyaman bila bisa menangkap seekor atau dua ekor kelinci."
Tanpa menunggu persetujuan Durgampi, Kulisadara mengambil segumpal daging. Kemudian membuka pintu dan berjalan ke luar biara. Pangeran Jayakusuma mengintip dari celah dinding yang retak. Ia melihat Durgampi ke luar pula
sambil memegang tongkat Ki Raganata erat-erat. Pada saat itu pula tangan kirinya mengeluarkan Alugara. Itulah senjata andalannya yang disegani lawan dan kawan semenjak jaman mudanya. Dengan hati-hati Durgampi memasang pendengarannya. Kulisadara mengarah ke jurusan barat Sebentar saja tubuhnya sudah menghilang dibalik belukar hutan Durgampi segera menyusul dengan mengikuti tapak kakinya.
Pangeran Jayakusuma berpaling kepada Diah Mustika Perwita. Ia tersenyum geli. Lalu berkata :
"Jika mereka saling membunuh, tidak perlu lagi aku repot-repot Munurut pendapatku, Durgampi menang setingkat dari-pada Kulisadara."
Diah Mustika Perwita belum mengenal mereka dan apa yang mereka bicarakan tadi. Siapakah orang yang disebut-sebut dengan nama Mijil Pinilih ? Tetapi sebagai seorang wanita ia memiliki naluri untuk pandai mengikuti pembicaraan orang. Demikian pula terhadap ucapan Pangeran Jayakusuma. Katanya dengan mengikuti bunyi perasaannya:
"Paling benar, apabila mereka berdua jangan kembali ke sini lagi. Aku tak senang mereka berdua berada di sini."
"Benar." ujar Pangeran Jayakusuma. "Biarlah aku melihat mereka."
�Aku ikut" tiba-tiba Diah Mustika Perwita bangkit dari tempat tidurnya.
"Jangan! Kesehatanmu baru saja pulih. Meskipun sudah bisa bergerak dengan leluasa, akan tetapi engkau belum dapat mengerahkan tenaga" Pangeran Jayakusuma mencegah.
Diah Mustika Perwita menundukkan kepalanya. Terhadap Pangeran Jayakusuma ia sayang sekali sampai ke dasar hatinya. Sebenarnya wajib ia patuh padanya. Tetapi ia seorang gadis yang
cerdas pula. Katanya mencoba membangkitkan pertimbangan Pangeran Jayakusuma:
"Memang aku belum kenal Kulisadara. Sebaliknya aku pernah mendengar nama Durgampi. Bukankah dia dulu muncul di gelanggang aku kepandaian ? Kabarnya ia seorang yang licin dan pandai beriikir. Bagaimana kalau dia justru sedang menaruh curiga terhadap kita berdua ? Ia kini sengaja memancing kangmas untuk kemudian balik kemari dengan diam-diam. Bukankah aku tidak berdaya membuat perlawanan ?"
Alasan Diah Mustika Perwita masuk akal. Kemungkinan demikian, memang bisa terjadi. Pangeran Jayakusuma jadi berbimbang-bimbang. Setelah sekian tahun berpisah dari Retno Marlangen, sebenarnya hatinya kini mulai dekat terhadap gadis-gadis yang bersahabat dengannya. Maka berkatalah ia :
"Benar juga. Kemungkinan begitu bisa terjadi. Baiklah, kau ikut!"
Selagi mereka berdua melangkah ke ambang pintu, tiba-tiba terdengar suara orang meraung kesakitan. Hati mereka tercekal Itulah suara erang Kulisadara yang menyayatkan hati.
"Memang ilmu kepandaian Kulisadara berada di bawah Durgampi�, pikir Pangeran Jayakusuma. "Akan tetapi kalau roboh begitu cepat, sungguh mengherankan." Dan memperoleh pikiran demikian, ia jadi gelisah. Terus saja ia menggendong Diah Mustika Perwita dan dibawanya berlalu dengan cepaL Ia perlu berhati-hati menghadapi Durgampi yang licin. Ki Ageng Mijil Pinilih dulu berpesan, bahwa menghadapi kepandaian anakmurid Agastya tidak terlalu sukar. Hanya saja harus berjaga-jaga terhadap tipu-muslihat serta kelicinannya.
Tak lama kemudian, ia melihat tiga bayangan berlari-lari ke jurusan timur dengan kecepatan luar biasa. Dengan sekali melihat, tahulah Pangeran Jayakusuma bahwa ketiga orang itu termasuk pendekar-pendekar kelas satu. Mula-mula Pangeran
Jayakusuma mengira, bahwa mereka bertiga adalah Durgampi, Kulisadara dan Nayaka Madu. Tetapi setelah diamat-amati, ia teringat sesuatu. Maka dengan pelahan-lahan ia menurunkan Diah Mustika Perwita ke tanah. Kemudian dengan memeluk pinggangnya ia lari dengan kencang tak ubah berkelebatnya bayangan iblis.
Tiga bayangan di depannya itu ternyata sedang kejar-mengejar. Yang seorang berusaha kabur dan yang dua orang mengejarnya. Pangeran Jayakusuma menghimpun semangatnya, lalu mengejar mereka bertiga makin cepat Diah Mustika Perwita merasa seperti berada di tengah udara. Setelah berlari-larian serintasan dengan bantuan cahaya matahari, Pangeran Jayakusuma segera mengenal mereka semua. Yang dikejar adalah Lukita Wardhani. Sedangkan yang mengejar Nayaka Madu dan Durgampi. Dan melihat Nayaka Madu, hatinya berdenyut Itulah musuhnya yang sesungguhnya. Musuh peribadi dan musuh Ki Ageng Mijil Pinilih dan musuh negara.
Sekonyong-konyong Durgampi menimpukkan Alugaranya berbareng dengan tongkat Ki Raganata yang berbentuk seperti pelatuk burung di ujungnya. Dengan melompat tinggi di udara, Lukita Wardhani menangkiskan pedangnya. Memang itulah termasuk siasat Durgampi untuk menghambat lari Lukita Wardhani. Karena menangkiskan pedangnya, dengan sendirinya langkah Lukita Wardhani terhambat satu langkah Kesempatanitu dipergunakan Nayaka Madu sebaik-baiknya. Dengan kecepatan kilat ia menikamkan pedangnya yang berbentuk seperti gegap. Itulah pedang Nayaka Madu yang dahulu pernah melumpuhkan kegesitan Pangeran Jayakusuma.
Lukita Wardhani murid tunggal Ratu Jiwani. Ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Selama berkelana dalam arena kehidupan, belum pernah terkalahkan oleh siapapun. Karena itu hatinya selalu besar dan tidak pernah gentar menghadapi lawan. Tetapi kali ini, ia menumbuk batu. Nayaka Madu dan Durgampi
adalah murid Ki Agastya, adik-seperguruan Empu Kapakisan. Melawan salah seorangnya, mungkin ia masih bisa dapat bertahan dua atau tigaratus jurus. Sebaliknya dikerubut dua orang, ia kerepotan.
Menghadapi tikaman Nayaka Madu, Lukita Wardhani terpaksa menangkis dengan tangannya. Menyaksikan hal itu, Pangeran Jayakusuma dan Diah Mustika Perwita memekik tertahan. Tetapi aneh ! Nayaka Madu ternyata tidak berani menyambut pukulan Lukita Wardhani. Dia mengelak ke samping sambil menarik pedangnya. Pada saat itu, Durgampi sedang menyambar tongkat Ki Raganata yang terpental oleh tangkisan Lukita Wardhani sebentar tadi. Kemudian dengan menenteng penggada Alugaranya, segera ia merangsak membantu pengepungan.
Lukita Wardhani mendongkol. Serunya :
"Bagus perbuatan kamu, ya ! Kalian memancing aku dengan cahaya birumu. Di mana Ki Ageng Cakra Bhuwana ?"
Pangeran Jayakusuma terkejut mendengar kata-kata Lukita Wardhani yang menyebut-nyebut nama Ki Ageng Cakrabhuwana. Menurut keterangan Ki Ageng Mijil Pinilih, Ki Ageng Cakrabhuwana berhak menyematkan nama Lawa Ijo. Bahkan Ki Ageng Cakrabhuwana dinyatakan sebagai kakaknya seperguruan yang tertua. Dalam pada itu Nayaka Madu dan Durgampi tertawa terbahak-bahak. Sekarang tahulah Pangeran Jayakusuma, bahwa cahaya biru yang meledak di angkasa adalah perbuatan mereka berdua. Memang Nayaka Madu seorang yang maha licin. Apa saja bisa dilakukan demi mencapai tujuannya.
"Haha........sebelum membunuh gurunya, bukankah harus membabat muridnya dulu." ajar Nayaka Madu di antara tertawanya. "Kau tak usah gelisah! Kawan-kawanmu semua sudah memperoleh tandingnya masing-masing."
"Hm, masakan segampang itu ?" bentak Lukita Wardhani.
"Mengapa tidak ?" Nayaka Madu balik membentak. "Hari ini, orang tua itu berhasil mengusir aku dari pesanggrahan. Bagus. perbuatannya. Tetapi sudah di luar batas. Di dalam pesanggrahan memang aku merasa sulit untuk melawannya. Tetapi di sini aku bersedia mengadu kepandaian"
"Apakah kau sanggup ?" ejek Lukita Wardhani. Kemudian tertawa nyaring. Berkata lagi : "Apakah kau kira aku tidak mengenal akal bulusmu ? Engkau sudah menebari racun jahat di sekitar wilayah ini, bukan ?"
"Setan !" maki Nayaka Madu. "Jangan mengumbar mulut seenakmu. Lihat!" Dan dengan menggerung wajahnya berubah menyeramkan Dengan pedang gergajinya ia menikamkan pedangnya.

BERSAMBUNG..

Pangeran JayakusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang