digoda

1.1K 5 0
                                    

PANGERAN JAYAKUSUMA
karya: Herman P
Seri 10

Dengan telaten dan dibumbui lebih menarik lagi, ia mengulangi kisah percintaan antara Ki Ageng Mijil Pinilih dan Prabasini serta angan-angan Nayaka Madu hendak mendirikan negara baru manakala sudah berhasil memperoleh kitab sakti dan sandi-sandi untuk menemukan harta-benda Kebo Anabrang. Mereka semua mengikuti penuturan Pangeran Jayakusuma dengan sungguh-sungguh. Hanya Lukita Wardhani seorang yang tidak. Ia cukup menghentikan perhatiannya tatkala Pangeran Jayakusuma mengucapkan rela melepaskan Retno Marlangen.
Pernyataan itu berarti dan bermakna sangat besar baginya, lak terasa ia mengamat-amati wajah Pangeran Jayakusuma yang masih saja ganteng. Bedanya, kini nampak matang. Lebih tenang dan lebih sabar, meskipun sifatnya yang nakal masih saja muncul di sana-sini.
Dalam pada itu, Kebo Dungkul dan sekalian saudaranya mulai memaki dan mengutuk lagi. Mereka sendiri terkenal sebagai kawanan pendekar yang kejam. Akan tetapi dibandingkan dengan tingkah laku Nayaka Madu tiada seperempatnya. Sebab selama hidupnya, belum pernah mereka menyiksa lawan begitu kejam dan mengerikan. Lain lagi kesan yang tersimpan dalam perbendaharaan hati Diah Mustika Perwita yang lembut. Ia merasakan betapa hebat penderitaan Pangeran Jayakusuma. Tak terasa ia meneteskan air mata. Lebih-lebih sewaktu mendengarkan kisah percintaan Ki Ageng Mijil Pinilih yang suci mumi. Air matanya mengalir deras membasahi kedua pipinya.
"Nayaka Madu !" seru Pangeran Jayakusuma mengakhiri cerita Ki Ageng Mijil Pinilih dan pengalamannya sendiri. "Aku kau racun dengan Racun Cacar Kuning dan kau jebloskan dalam penjara, atas anjuran Ulupi, bukan ? Kau tidak berani menyiksa aku terlalu berat, karma mendengar pertimbangannya. Dia tentunya berkata kepadamu, bahwa diriku dapat kau jadikan semacam jaminan keselamatanmu manakala kekuasaanmu roboh juga oleh gempuran laskar Majapahit. Tetapi benarkah demikian maksud Ulupi ? O, tidak ! Sebab kecuali bermaksud melindungi jiwaku, dia mempunyai rencana yang lebih besar. Kau tahu ?"
Nayaka Madu membungkam. Ia benar-benar merasa sudah habis semua kebisaannya. Bahkan tiba-tiba saja merasa menjadi manusia tolol setolol-tololnya. Karena apa yang dikatakan Pangeran Jayakusuma, benar belaka. Memang Ulupi memegang kunci peranannya.
"Baiklah kujelaskan saja agar engkau tidak penasaran terhadapnya. Yang perlu kau ketahui, sampai saat ini Ulupi masih
hidup dalam keadaan segar-bugar. Hanya di mana dia kini berada, hanya Ki Ageng Cakrabhuwana yang tahu. Itulah orangnya!" Kata Pangeran Jayakusuma seraya menunjuk Ki Ageng Cakrabhuwana. "Ki Ageng, apakah benar kata-kataku ini?"
Ki Ageng Cakrabhuwana tidak menjawab. Dia hanya mengangguk membenarkan.
"Nah, kau puas ?" ejek Pangeran Jayakusuma. "Sekarang kukabarkan betapa besar maksud dan tujuannya. Dia memang seorang gadis istimewa yang dianugerahi Hyang Widdhi otak luar biasa hebatnya. Dia dapat membaca keadaan hati orang seperti membaca hatinya sendiri. Dia tahu, Ki Ageng Mijil Pinilih rela mati demi kekasihnya. Prabasini demikian pula. Akhirnya kedua-duanya akan mati dan benar-benar mati. Karena itu, aku harus menggantikan dan meneruskan tugasnya. Perhitungannya tepat sekali. Ki Ageng Mijil Pinilih mewariskan Ilmu sakti Pancasila dan Sasanti Manu kepadaku."
"Huh, siapa sudi mempercayai bualanmu !" Tiba-tiba Durgampi membentak.
Pangeran Jayakusuma tercengang sejenak, lalu tertawa. Katanya :
"Ooo akhirnya engkau mau membuka mulutmu juga. Bagus! Nah dengarkan baik-baik ! Ah, lebih baik tidak saja."
"Mengapa ?" Nayaka Madu bernafsu.
"Kau tadi bukankah sudah merasakan gempuranku yang menggunakan sebagian tenaga sakti Ilmu Pancasila dan Sasanti Manu ?�
"Tidak !" Nayaka Madu membantah. "Memang engkau menggunakan himpunan tenaganya, akan tetapi kau menggunakan Godhakumara."
"Eh, dari mana kau ketahui ?" Pangeran Jayakusuma kini balik menjadi heran.
"Bukankah Durgampi pernah kau ingusi dengan ilmu murahan itu ?"
Pangeran Jayakusuma tertawa. Rupanya Durgampi melaporkan pengalamannya yang pahit di gelanggang Kapatihan kepada sang kakak. Tetapi melihat Nayaka Madu bernafsu, diam-diam Pangeran Jayakusuma girang. Katanya :
"Baiklah akan kukatakan padamu. Tetapi kita saling tukar."
"Saling tukar bagaimana ?"
Pangeran Jayakusuma menatap wajah Nayaka Madu. Menyahut:
"Kau katakan dengan sebenarnya, di mana tulang-belulang puterimu kini berada."
"Jangan kau sebut-sebut lagi anak busuk itu!" bentak Nayaka Madu.
"Kalau begitu, kau akan mati penasaran. Biarlah sampai disini saja.�
Wajah Nayaka Madu berubah. Dan pada saat itu terdengar Durgampi berkata:
"Kakang ! Mendengar bunyi kitab sakti Pancasila yang sudah menghabiskan umur kita, berarti kita sudah mencapai tujuan. Matipun rasanya puas."
Whjah Nayaka Madu kelihatan bertambah tegang. Lalu lemas dan kuyu dengan tiba-tiba. Akhirnya berkata dengan suara lemah:
"Benar..... berarti kita berhasil. Berarti usaha dan daya upaya kita tidak sia-sia. Baiklah, peti itu masih tetap berada di tempatnya karena tiada seorangpun yang akan berani menyentuhnya. Kaupun jangan sampai membuka tutupnya."
"Aku justru ingin membuka penutupnya, karena puterimu itu pasti akan meninggalkan sesuatu sebelum ajalnya tiba."
Nayaka Madu tidak menyahut. Pandang matanya nampak suram. Ia seperti tidak berada di tempatnya. Tak usah dikatakan lagi. Wajahnya murung. Emaknya kosong. Hatinya pepat.
"Kau tebari racun jahat sekitar peti puterimu itu, bukan ?" Pangeran Jayakusuma mendengus. "Hebat akalmu. Kau sempat membunuh bakal menantumu pula, karena memeluk peti matinya. Tetapi aku datang bukan untuk memeluk peti mati Atau. apakah engkau mempunyai akal yang lain lagi ? Baiklah, maka akan kubakar dulu semuanya ya semuanya sebelum menyentuh peti mati Prabasini. Karena aku hanya..........�
"Hanya apa ?" Nayaka Madu tersentak dari rasa pedihnya.
"Kau tak perlu tahu, karena pada saat itu engkau sudah mati" sahut Pangeran Jayakusuma dengan mata berkilat-kilat. Kemudian ia menyanyikan sebuah sajak. Ia seorang pemuda yang pandai menyanyi, karma suaranya merdu manis mengasyikkan pendengaran. Diah Mustika Perwita dulu pernah terpesona mendengar suara emasnya. Juga kali ini.
Dalam malam sejuk sunyi
Dalam malam sejuk sunyi
Duduklah seorang gadis menganyam bunga
Dia menengadah tangannya terkulai
Tiada dapat memanggil kekasih tiba
Bisiknya : Kau tak datang kini aku pergi
Pergi sangat jauh melalui ladang tiada bertepi
Sekarang biadab kuuntai juga bunga ini
Siapa tahu kekasihku datang mendekap hati
Tapi kehidupan lalu laksana kejapan kilat
Waktu pilu dan masa ria silih berganti
Seumpama piala penuh anggur di hadapanmu
Kenapa tak kau teguk tak kau minum
Apa yang kau tunggu, sayang
Apa yang kau tunggu............
Minumlah pialamu minumlah anggurmu
Minumlah
Itulah bait kunci rahasia tentang harta terpendam yang tersusun sebagai kisah percintaan yang gagal. Luapan rasa Prabasini kepada sang perjual bunga Ki Ageng Mail Pinilih. Hafalkanlah ! Tetapi seumpama kau hafalpun, tiada gunanya. Karena kuncinya berada di dalam dada puterimu Prabasini. Lihatlah, karena puterimu kau perlakukan seperti binatang piaraan, ia membawa kuncinya ke liang kubur. Kau bisa apa sekarang ?"
Terpukul hati nurani Nayaka Madu. Seperti yang diketahuinya, Panglima Kebo Anabrang pada jaman Raja Kertanegara, berhasil mengalahkan laskar Cina dan pulang dengan membawa harta rampasan yang tak ternilai lagi harganya. Tatkala memasuki perairan Andalas, ia berlabuh di dermaga Kerajaan Darmacraya. Sambil memperbaiki kapalnya, Panglima Kebo Anabrang
melakukan perampasan harta kekayaan tanah kerajaan. Malahan ia dapat memerintahkan panguasa wilayah lada Sungai Dareh, agar datang padanya dengan membawa upeti. Maka harta kekayaan yang dapat dibawanya pulang ke Kediri, bertambah-tambah jumlahnya. Tetapi sewaktu hendak mempersembahkan harta rampasan itu, ternyata telah terjadi suatu perubahan besar di dalam negeri. Raja Kertanegara terbunuh oleh Jayakatwang. Dengan tergesa-gesa, Panglima Kebo Anabrang menyembunyikan harta rampasannya itu. Dan semenjak itu, harta yang tidak terhitung jumlahnya, hilang tiada kabarnya. Aria Ranggalawe, Nambi dan Sora pernah berusaha mencarinya. Namun tidak berhasil. Menurut tetamu-tetamu dari seberang, rahasia tempat penyimpanan harta itu berada pada halaman-halaman kitab sendhi di antara bait-bait Ilmu Pancasila yang berada di tangan Empu Kapakisan. Itulah sebabnya, Nayaka Madu pernah menyuruh Durgampi dan Keswari menyelidiki goa Kapakisan. Sekarang ternyata berada di tangan Pangeran Jayakusuma yang secara kebetulan menjadi cucu-murid Empu Kapakisan
Tak mengherankan, begitu mendengar bunyi bait sajak Pangeran Jayakusuma, tergetarlah hati Nayaka Madu dan Durgampi. Sebab mereka berdua pernah mewarisi dua atau tiga jurus ilmu sakti itu dari gurunya, Ki Agastya. Bunyi baitnya terdapat di salah satu kalimat sajak yang dinyanyikan Pangeran Jayakusuma. Maka hilanglah semua kesangsiannya. Sebaliknya mereka berdua nampak berkomat-kamit mencoba menirukan dan menghafalkan. Akan tetapi tentu saja tidak mudah dapat menghafal empat bait sajak dengan sekali mendengar. Meskipun banyak akal dan terhitung orang pandai, telapi otak mereka kalah encer bila dibandingkan dengan Pangeran Jayakusuma yang dapat menghafal dengan sekali melihat atau sekali mendengarkan. Keringat mereka membersit membasahi dahi, demikian kedua lengannya. Tidak lama kemudian dahinya berkerut-kerut dan tiba-tiba tertawa lebar manakala merasa
sudah bisa menghafal satu deret kalimat Tetapi karena sisa-sisa mantra Godhakumara masih melekat dalam dirinya, lambat-laun mereka jadi gendeng. Sebentar berkerut-kerut seperti orang kesakitan dan sebentar lagi tertawa terbahak-bahak oleh rasa puas.
Para penonton ikut menjadi tegang pula. Mereka tidak bernafsu untuk menghafalkan akan tetapi tertarik kepada kesan wajah Nayaka Madu dan Duigampi. Sebab di dalam hal ini merdca tidak tahu-menahu tentang latar belakang Ilmu Sakti Pancasila dan Sasanti Manu. Seketika itu juga suasana di sekitar gelanggang pertempuran itu menjadi sunyi-senyap. Selagi demikian terdengar suara kejutan :
"Eh tolol! Kau bisa menyanyi juga..........�
Pangeran Jayakusuma tercekat hatinya. Suara itu termasuk salah satu suara yang ikut dirindukannya di lubuk hatinya. Ia menoleh dan benar saja. Yang berseru adalah Carangsari yang kini sudah menjadi nyonya Wirawardhana.
Melihat Carangsari, Pangeran Jayakusuma jadi teringat riwayat pertemuannya. Tak mengherankan kenakalannya kumat dengan sendirinya. Terus saja ia menyapa dengan suara riang :
�Eh, nyonya penganten baru ! Kau berada di sini pula? Mana mempelai prianya.�
Wajah Carangsari menjadi merah jambu. Menuruti kata hati dan adatnya, ingin saja ia menggaplok si nakal itu. Tetapi melihat hadirnya Lukita Wardhani dan penonton-penonton lainnya, ia agak segan. Namun masih saja ia mendamprat:
"Jelas sekali mereka yang membuatmu menderita hebat. Mengapa masih sudi menyanyi bagi mereka ? Apa sih keuntungannya ?"
"Dalam hal ini tidak ada perhitungan untung rugi." jawab Pangeran Jayakusuma seperti gayanya yang sudah-sudah.
"Kalau begitu, apakah engkau gendeng ?"
"Bukan, bukan aku yang gendeng, merekalah yang gendeng."
"Ya betul. Tetapi apa sih untungnya kau menyanyi untuk mereka ?"
"Mudah saja jawabannya, nyonya. Biar mereka gendeng."
"Tolol ! Kenapa kau memanggilku dengan nyonya....... nyonya.......nyonya........�
Pangeran Jayakusuma tertawa lebar sambil menggaplok kepalanya. Sahutnya:
"Ah ya..... dasar aku tolol ! Tetapi bukankah engkau kini sudah menjadi nyonya seorang panglima perang ?"
"Tolol ! Apakah mulutmu perlu kusumbat ?" Kedua mata Carangsari melotot
Pangeran Jayakusuma tertawa terbahak-bahak. Lalu mengalihkan pembicaraan:
"Aku ingin tahu, apakah mereka bisa menghafal bait-bait sajakku yang istimewa itu."
"Apakah mereka punya otak atau tidak ?"
"Tentu saja. Kenapa ?"
"Kau sendiri, bagaimana ?"
"Aku sih orang tolol"
"Orang tololpun mempunyai otak."
"Betul. Tetapi otak kerbau."
"Iddiiih...... " Carangsari mendongkol. Ia teringat betapa Pangeran Jayakusuma menggodanya dengan seekor kerbau di biara dulu.
Pangeran Jayakusuma tahu, Carangsari galak semenjak jaman gadisnya. Justru demikian, seringkali ia mengenangkannya.
Bahkan sewaktu berada dalam sekapan Nayaka Madu. Carangsari mempunyai tempat tersendiri di dalam hatinya seperti Diah Mustika Perwita dan Lukita Wardhani. Diah Mustika Perwita seorang gadis yang lembut. Terhadap dirinya, gadis itu sangat menaruh perhatian dan telaten pula. Perilakunya lembut, malahan tiada bedanya dengan seorang kakak baginya. Sebaliknya, Lukita Wardhani lebih galak daripada Carangsari. Selain galak, otaknya cerdas, kepandaiannya tinggi dan peribadinya agung. Terhadap Lukita Wardhani tidak berani Pangeran Jayakusuma main sembarangan. Ia menaruh hormat dan sedikit takut. Beda dengan Carangsari. Meskipun galak, masih berani ia mempermainkan.
Selagi demikian, ia mendengar Nayaka Madu berseru bangga kepada adik seperguruannya Durgampi:
"Janapati, apakah kau sudah hafal ?"
"Kau sendiri bagaimana ?"
"Lumayan. Coba dengarkan ! Dalam malam seorang gadis menganyam bunga..........�
"Salah ! Kurang duduklah."
"Masakan begitu ? Coba ucapkan !"
"Duduklah malam sejuk sunyi.........."
"Hohaaa ha haa.........." Nayaka Madu tertawa terbahak-bahak. "Bukan begitu! Bukan begitu! Dalam malam seorang....."
"Harus ada malam sejuk sunyi." Durgampi memotong.
"Oh begitu ?" Nayaka Madu mengennyitkan dahinya. "Dalam malam sejuk sunyi... begitu ?"
"Rasanya kaya begitu." Durgampi ragu-ragu. "Coba tambahkan duduklah..........-
"Dalam malam sejuk sunyi duduklah seorang gadis menganyam bunga..... begitu ?"
"Ya ya ya..... rasanya begitu !" seru Durgampi membenarkan. Mendengar pembenaran Durgampi, wajah Nayaka Madu memancarkan rasa bahagia yang tak terlukiskan. Kedua tangan dan kakinya ingin berjingkrak hendak menandak-nandak. Tiba-tiba saja ia menjerit kesakitan : " dddooooo.........h, mana pangeran bangsat itu..........-
Pangeran Jayakusuma tidak menyahut. Carangsari jadi penasaran melihat wajah Nayaka Madu yang memancarkan rasa bahagia. Menegas kepada Pangeran Jayakusuma :
"Eh tolol ! Apakah memang benar begitu ?"
Pangeran Jayakusuma mengangguk membenarkan. Melihat anggukan pembenaran Jayakusuma, hati Carangsari tercekat. Serunya tertahan :
"Kalau mereka sampai hafal bukankah...........�
"Jangan khawatir ! Taruhkata mereka hafal, tiada gunanya sama sekali," Pangeran Jayakusuma menenangkan. "Sebab kunci sambungannya berada di Prabasini"
"O begitu ?" Carangsari terhibur. "Kau sendiri bagaimana ?"
"Secara kebetulan kakang Mijil Pinilih menjelaskan semuanya kepadaku.�
"Kalau kau sudah memahami, apa perlu mencari mayat Prabasini ?�
"Dalam saat-saat terakhir, kakang Mijil Pinilih minta agar abunya ditanam bersama abu Prabasini. Begitu pula harapan Prabasini." Pangeran Jayakusuma menjelaskan.
"Pantas, kau mengancam akan membakar semuanya. Kiranya kau hanya membutuhkan abu tulang-belulang Prabasini." Carangsari mulai mengerti .Tetapi tatkala ia menyebutkan tulang-belulang Prabasini, hatinya terharu sehingga suaranya terdengar agak menggeletar. Memang, dari luar ia kelihatan galak. Namun hatinya sesungguhnya hati seorang wanita sejati. Artinya halus, lembut dan penuh keibuan. "Di mana kini abu kakang Mijil Pinilih ?" Carangsari menirukan Pangeran Jayakusuma yang menyebut kakang Mijil Pinilih.
Selagi Pangeran Jayakusuma hendak menjawab, sekonyong-konyong terdengar suara sorak sorai dan suara langkah puluhan orang mengarah ke tempat mereka berada. Pangeran Jayakusuma memalingkan kepalanya. Pada saat itu terdengar suara Lukita Wkrdhani untuk yang pertama kalinya :
"Ooooh.... selamat, selamat !" Pangeran Jayakusuma mengucapkan selamat kepada Carangsari.
Mendengar ucapan selamat Pangeran Jayakusuma, wajah Carangsari berubah-ubah. Kandang bersemu merah, kadang memancarkan rasa berbahagia. Pada saat itu, timbullah pikiran Pangeran Jayakusuma untuk membuat sepasang mempelai baru itu bertambah berbahagia. Pikirnya : "Kiranya Panglima Wirawardhana yang menyerbu perkampungan Nayaka Madu, sehingga membuat Nayaka Madu dan Durgampi melarikan diri. Rupanya mereka berdua kena hadang Lukita Wardhani. Sekaiang sudah kupukul roboh. Kalau mereka berdua kini kuhadiahkan kepada Wirawardhana, bukankah kedudukannya akan jadi lebih mantap dalam pemerintahan ? Ia tidak usah kalah lagi dibandingkan dengan jasa Panglima Angragani" Memperoleh pikiran demikian, hatinya jadi girang.
Sebentar saja lapangan sekitar petak hutan itu, sudah penuh dengan laskar kerajaan yang segera berhenti dengan teratur setelah melihat Lukita Wkrdhani. Dari jauh terdengar derap kuda bergemuruh. Tidak lama kemudian muncul tiga pasukan berkuda
yang membawa panji-panji kebesaran: Seorang pemuda yang mengenakan busana kebesaran panglima perang berada di bawah kibaran panji-panji laskar kerajaan. Dialah Panglima Wirawardhana yang gagah dan ganteng. Dengan pandang mata yang tajam ia menyapukan penglihatannya. Tatkala melihat Carangsari berada di antara orang-orang yang mengerumuni Nayaka Madu dan Durgampi, ia berseru tertahan menyatakan rasa herannya. Perlahan-lahan ia menghampiri. Lalu menegor sambil melompat dari kudanya.
"Apakah adik ikut membantu tuanku puteri Lukita Wardhani mengejar Nayaka Madu dan Durgampi yang melarikan diri ke arah hutan ini ?"
"Ya. Bahkan atas pertolongan dan bantuannya, kita akhirnya dapat membekuk dua jahanam itu." Pangeran Jayakusuma mendahului Carangsari menjawab pertanyaan Wirawardhana.
Mula-mula Panglima Wirawardhana perlu mengenal siapa yang menjawab pertanyaannya. Begitu mengenal wajah Pangeran Jayakusuma, wajahnya segera berubah. Terhadap pemuda itu, ia merasa berhutang budi sedalam-dalamnya. Pertama, oleh jasa pemuda itu, kedudukan Panglima Panji Angragani yang diperebutkan orang jatuh sebagai durian runtuh kepadanya. Kedua, gara-gara kenakalan dan akalnya ia dapat mempersunting Carangsari yang cantik dan berkepandaian tinggi. Ketiga, selain kepandaiannya maha tinggi, Pangeran Jayakusuma pantas menjadi majikannya karena diapun putera Sri Baginda. Itulah sebabnya begitu mengenal siapa pemuda yang memoles wajahnya, segera ia menghampiri seraya membungkuk hormat. Serunya dengan gembira:
�Pangeran! Ah, kalau pangeran berada di sini semuanya akan menjadi beres. Nayaka Madu dan Durgampi boleh mempunyai sayap. Akan tetapi bertemu dengan pangeran, mereka berdua bisa apa ?�
Meskipun putera raja, Pangeran Jayakusuma biasa hidup di luar istana semenjak kanak-kanak. Jiwanya sudah terlanjur bebas, bahkan membenci adat-istiadat dan tata-tertib pergaulan yang dirasakan berlebihan. Namun dasar otaknya cerdas luar biasa, pada detik itu ia dapat memahami makna ucapan Panglima Wirawardhana. Beberapa tahun yang lalu, dia tidak menggunakan sebutan apapun terhadapnya. Kini mendadak sontak memanggilnya dengan sebutan pangeran. Tentunya berhubungan erat dengan kedudukannya sebagai seorang panglima perang.
Memperoleh pikiran demikian, Pangeran Jayakusuma menyahut:
"Bukan, bukan ! Semuanya ini berkat rejekimu yang besar. Kedua orang itu layak menjadi tawananmu." sampai disini ia berhenti sejenak. Dengan langkah panjang ia menghampiri Lukita Wardhani. Katanya setengah berbisik kepada Lukita Wardhani:
"Wardhani ! Apakah engkau setuju bila kedua jahanam itu kita hadiahkan kepada Wirawardhana sebagai hadiah perkawinannya ?"
Pangeran Jayakusuma mempunyai alasannya sendiri. Ia menyaksikan sendiri, betapa gigih Lukita Wardhani ingin menangkap Nayaka Madu dan Durgampi hidup atau mati. Ia malahan kena dilukai. Menurut pantasnya, mereka berdua layak dipersembahkan kepada Lukita Wardhani. Teringat betapa tinggi hati gadis itu, ia merasa ketelanjuran menuruti kata hatinya sendiri. Karena itu, ia perlu meminta persetujuannya dengan hati kebat-kebit.
Lukita Wardhani belum pulih kesehatannya, walaupun racun Nayaka Madu dan Durgampi sudah dapat dimusnahkan Ki Ageng Cakrabhuwana. Wajahnya pucat namun masih saja ia nampak agung dan berwibawa. Mendengar kata-kata Pangeran Jayakusuma, Lukita Wardhani menyahut dengan suara dingin :
"Kedua orang itu, engkau sendiri yang menawannya. Kau berikan kepada siapapun adalah hakmu."
Ucapan Lukita Wardhani tidak sedap dalam pendengaran siapapun. Namun mereka yang sudah mengenal watak Lukita Wbrdhani tahu, bahwa gadis itu sudah bersikap mengalah kepada Pangeran Jayakusuma. Sebaliknya Pangeran Jayakusuma yang berwatak panas bagaikan bara api, tidak mau mengerti. Memang ia seorang pemuda yang tiba-tiba bisa mengalah bila diperlakukan dengan lemah lembut. Sebaliknya mendadak sontak bisa berkepala batu dan keras hati, apabila dilawan dengan kekerasan. Ucapan Lukita wardhani bagi pendengarannya dinilainya terlalu berlebihan. Maklum, selamanya Retno Marlangen memperlakukannya dengan lemah lembut dan penuh pengertian. Maka dengan sedikit menyindir ia menjawab :
"Oh begitu ? Kalau begitu biarlah kuhadiahkan kepadamu."
"Hadiah ? Siapa yang mengharapkan hadiah darimu ?"
"Eh, apakah salah ? Ah ya, aku salah ucap. Mestinya, kupersembahkan ke duli tuanku puteri."
Lukita Wardhani tahu benar, mulut Pangeran Jayakusuma jahil bukan main. Kalau dilawan makin menjadi-jadi. Karena sudah biasa hidup bebas, ia dapat berbicara seenaknya sendiri terhadap siapapun. Ia menyaksikan sendiri betapa pemuda itu mempermainkan Ganggeng Kanyut, Keswari, Durgampi, Narasinga dan lain-lainnya, dengan mulut dan pekertinya. Menuruti kata hatinya, ingin ia mendampratnya sesengit-sengit-nya. Mendadak saja teringatlah dia, bahwa pemuda itu habis menderita batin yang begitu hebat. Menurut tutur katanya sendiri, Pemuda itu rela kehilangan Retno Marlangen setelah berkenalan dengan Ki Ageng Mijil Pinilih. Peribadi Prabasini ternyata menang jauh bila dibandingkan dengan Retno Marlangen. Pernyataan itu bermakna besar bagi dirinya. Pada detik itu pula, ia bersedia mengalah terhadap Pangeran Jayakusuma. Apa alasannya, hanya dia seorang yang tahu
dengan tepat Terus saja ia mengubah nada suara dan sikapnya. Jawabnya dengan lemah lembut:
"Kangmas, racun Pacar Kuning terlalu hebat bagiku. Maka tak perlulah kangmas memikirkan tentang hadiah."

BERSAMBUNG..

Pangeran JayakusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang