"Hai, Nef," aku menoleh, mendapati Dean tengah berdiri di samping bangku taman.
Aku tak mempedulikannya, hanya duduk dengan pandangan lurus melihat lapangan bola.
"Sombong banget sih," ucapnya lagi.
Kali ini dia duduk di sebelahku, menatapku dengan penuh senyuman mencurigakan.
Kampret, dia mau ngapain sih disini? Ganggu aja. Aretha kemana pula, belom selesai di perpus?
Fausta demam, dan dia pengen bubur ayam. Makanya aku mau nitip sama si Aretha. Suruh dia beli di luar asrama gitu.
Berhubung aku masih dalam masa hukuman, aku gabisa keluar area sekolah dan asrama. Hih.
Apalagi pas aku dan Fausta nabok para satpam asrama pas kita mau balik ke tubuh masing-masing. Tambah ketat penjagaannya.
"Bengong aja."
Suara Dean yang begitu dekat membuatku menoleh padanya, melihatnya yang tengah tertawa kecil.
Ini menyeramkan.
"Suka-suka gue lah," ucapku ketus.
"Galak banget sih," sahutnya, disusul dengan siulan panjang.
Aku menatap Dean dalam diam. Memikirkan apa yang sebenarnya dia inginkan. Dan sepertinya ada sesuatu diantara dia dan Fausta.
"Apa?" tanyanya, saat menyadari aku menatapnya tanpa berkedip.
"Lo itu sebenernya siapa? Mau lo apa?" aku balik bertanya padanya.
Dia tersenyum miring, "gue benci sama Fausta."
"Kenapa? Fausta kan baik. Dia gak pernah nyakitin siapapun," aku menatapnya tajam dengan nada sedingin mungkin.
Dean tersenyum lagi, kali ini terlihat begitu menyeramkan di mataku. Suer. Rasanya pengen kabur aja.
Aku ingat perkataan Aretha tadi pagi, dan saat ini aku setuju untuk jauh-jauh darinya.
"Gue gak bisa nyakitin Fausta," ujarnya.
Aku tersenyum senang, tetapi mataku membesar saat Dean memilin ujung rambutku.
"Tapi elo-lah yang bakalan nyakitin Fausta. Perlahan, tapi pasti," bisiknya.
Aku menepis tangannya dengan kasar. "Gue gak akan nyakitin Fausta."
Dean terlihat kaget karna tindakanku, tapi kemudian ia tertawa keras. "Pernah denger gak, orang yang paling disayang adalah orang yang bakal nyakitin lo paling dalam?"
Aku menggertakkan gigi, tak sadar jika tanganku sudah beralih meremas kerah seragamnya.
"Whoa! Santai!" dia menaikkan kedua tangannya lalu tertawa.
Kuhirup napas, agar tenang. Astaga. Kulepaskan tanganku dari kerah bajunya. Tenang, Nefa.
Sama Dean ternyata bisa mancing emosi ya? Apa maksudnya dia bilang gitu?
"Yok, gue balik duluan ya! Ati-ati loh, jangan sampe nyakitin Fausta."
Dean menepuk pundakku perlahan, meninggalkan aku yang dalam keadaan mengepul kayak nasi yang baru mateng.
"Lo ngapain sama Dean?"
Dagu Arden yang nemplok di pundakku membuatku tersentak kaget, tanganku refleks nabok mukanya.
"Jir! Sakit!" ujar Arden.
"Makanya jangan kayak set—aw!" aku menjerit, saat bokongku mencium tanah.
Entah bagaimana aku bisa terjatuh dengan posisi seperti ini.
Aku meringis karna posisiku yang gak enak banget buat diliat. Tubuh di bawah dan kedua kaki berada di atas bangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[F4] Luckiest Snowfall
Teen Fiction*Kisah anak-anak dari cerita Sparkly Butterflies & Because I Love You!* Panggil gue Nefa, gue hobi bolos kelas dan selalu kena sial dimanapun kapanpun. Banyak yang bilang itu bakat turunan, karna Mama gue yang hobi nyungsep dari bocah. Fausta, cowok...