Dean's POV
Lima belas menit setelah masuk ke dalam Gua Karang. Tepat di sebelahku, ada Mia yang sedang memperhatikan dinding Gua Karang yang sudah berumur ratusan tahun. Mia melirikku dengan ragu dari ujung matanya. Saat mata kami bertemu, pandangannya kembali liar."Udah sih, gak usah sok-sokan gak liat gue gitu deh," ujarku.
Mia mendelik, "siapa yang liatin elo coba?"
Aku terkekeh pelan, begini-lah Mia yang kukenal. Suka tidak mengakui tindakannya, padahal hal itu yang membuatnya manis. Ah, seandainya saat itu aku tak egois padanya. Aku menghela napas pelan, tanpa kusadar tanganku menggenggamnya erat.
"Gak usah cari kesempatan dalam kesempitan deh ya!" tegurnya.
Aku tertawa kecil, "siapa si—"
"Whops, sorry. SENGAJA."
Hampir saja aku terjungkal, untungnya keseimbanganku bagus. Yang barusan menabrakku itu Aretha, sodara Nefa yang punya kemampuan untuk baca kejadian masa lalu. Dia hebat, pintar, tapi dia takkan bisa menembus pikiranku. Aku lebih hebat darinya.
"Lo kenapa buru-buru sih Reth? Gamau menikmati kebersamaan kita?" tanya Kevin dengan gaya centil.
Tu cowok udah kayak tante girang aja deh, centil abis sama Aretha.
"Anjir anjir anjir! Setan alas setan alas! KECOAK, DEAN! KECOAK!"
Mia berteriak heboh sambil berlompatan dan memeluk lenganku dengan erat. Aku ikut memperhatikan telunjuknya yang mengarah ke dekat kakinya. Disana ada beberapa kecoak tengah berlarian manis, semanis gula.
"Yaelah, masih takut aja lo," ujarku geli.
"Nih, liat, cara matiinnya kayak gini," aku melangkah dan langsung menginjak salah satunya yang akan terbang. Dan, mejret. Yaks. Langsung gepeng gitu. Semoga arwahmu diterima di sisi-Nya, amiin.
"JIJIK, KAMPRET!" umpatnya sebal.
Aku berlari-lari dan melompat, menginjak satu per satu kecoak yang ternyata banyak sekali disini. Sedangkan Mia, dia melompat dan sesekali memukul bahuku dengan keras. Anjir, kekuatannya men..
Setelah beberapa menit kami perang dengan kecoak, suasana kembali hening. Dengan wajah datar, aku menatap keempat pasang mata yang memandangku dengan ekspresi yang berbeda.
"Kalian ngapain sih?" celetuk Kevin.
"Pacaran kok di dalem Gua," tambah Aretha.
Mendengar itu, Mia langsung berlari dan menjepit leher Aretha. "Apa lo bilang?! Pacaran?!! Lo gak liat tadi ada pasukan kecoak disana?! Gue berasa mau mati tau gak! Ketiban sial gue kalo sama Dean!!"
Lah, kenapa gue yang disalahin gini sih, batinku.
Aretha tertawa terbahak, menjauhkan tangan Mia yang berada di lehernya. "Menjauhlah dariku, wahai wanita!"
"Dean kan pacar gue."
Sahutan Nefa membuat kami semua terdiam menatapnya yang mengerutkan kening sekian centi. Sebenarnya aku tak tega memanipulasi pikiran Nefa. Tapi hanya ini yang bisa membuat hati Fausta tersayat.
"Lo pacaran sama Dean? Sejak kapan? Bukannya lo lebih deket sama Fausta ya? Kok--"
"Cerewet," Aretha menutup mulut Kevin dengan kasar. Khawatir gue bibirnya jadi bengkak, kasian. Merana sekali dia.
"Ayo, jalan lagi," Fausta bersuara, ia menarik lembut tangan Nefa. Aku hanya diam menatap sejoli itu. Mereka cocok satu sama lain.
Aretha dan Kevin mengikuti langkah Fausta, dan Mia kembali berdiri di sampingku. Tanpa mendapat izin darinya, aku langsung mengamit tangannya dan menggenggamnya erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[F4] Luckiest Snowfall
Jugendliteratur*Kisah anak-anak dari cerita Sparkly Butterflies & Because I Love You!* Panggil gue Nefa, gue hobi bolos kelas dan selalu kena sial dimanapun kapanpun. Banyak yang bilang itu bakat turunan, karna Mama gue yang hobi nyungsep dari bocah. Fausta, cowok...