13. Kecupan Ringan

54.3K 3K 135
                                    

Nefa's POV
"YES!" teriakku senang sembari meninju udara dengan kepalan tangan.

Punya kaki panjang memang menguntungkan banget yaa! Ck. Pantesan aja Fausta gampang banget lompat waktu itu. Ternyata begini rasanya.

"Wah lo keren banget, bisa lolos dari dua satpam itu," aku tersentak kaget saat sadar ternyata bukan hanya aku seorang di atap Asrama Putri ini.

Dean?

 "Lo ngapain disini?" tanyaku menyelidik.

Aku memperhatikan dia yang berjalan mendekat dan berhenti tepat di hadapanku. Tangannya bersidekap, lalu dia bersandar di pembatas atap.

"Gue penasaran aja sih sebenernya elo siapa," tanya Dean.

Aku mengepalkan tangan. Sebenernya dia siapa sih? Mau dia apa, lebih tepatnya?

"Mau lo apa sebenernya?" tanyaku akhirnya.

Dean memandang arah belakangku, senyumnya yang mengembang membuatku ingin menoleh ke arah pandangnya. Belum aku menoleh, ternyata suara Fausta terdengar.

"Nef, lo nunggu lama ya? Ayo buruan," ujar Fausta.

Aku menoleh, dan saat itu juga aku melihat raut kaget dan khawatir di wajahnya. Dengan cepat dia menarik tanganku dan langsung berdiri di hadapanku.

"Lo mau apa?" tanya Fausta.

Dean mengedikkan bahunya sekilas lalu menggeleng, "gue gada niatan jahat kok. Cuma penasaran aja sebenernya siapa jodoh lo itu," jedanya. "Ternyata Nefa?" ucap Dean.

Dia kenal aku?

Tiba-tiba aku teringat tujuan awal kami ke atap, mataku langsung melirik jam yang ternyata tinggal lima menit lagi waktu kita harus bertukar.

Dengan keras aku menarik tangan Fausta. "Ta, buruan. Udah mau jam dua belas," kataku panik.

Fausta melirikku sekilas, lalu menggeram kearah Dean. "Jangan ganggu gue dan Nefa."

Dean terkekeh lalu menatap Fausta tajam, "pikiran lo selalu mudah gue baca, Ta."

Tak mempedulikan Dean yang masih berada disamping kami, aku menarik Fausta ke dalam pelukan dan berbisik, "ayo pikirin hal menyenangkan yang pernah kita lalui bersama."

Dalam pelukanku, Fausta mengangguk, lalu tangannya melingkar di sekitar pinggangku. Beginikah rasanya menjadi seorang pria? Ada perasaan harus melindungi karna dia yang begitu kecil dan rapuh.

Aku menutup mata, membayangkan pertama kali kita bertemu saat berumur lima tahun. Saat itu adalah saat yang paling menyenangkan.

Kubuka mataku perlahan, dan mendapati Dean yang masih memperhatikan kami. Tanpa kusangka, dari dalam bandul kristal kembar kami keluar cahaya yang sangat terang, memaksaku untuk memenjamkan mata dan memeluk Fausta dengan erat.

Kemudian yang terjadi adalah aku merasa terlempar tetapi tidak terasa sakit.

"Nef?" pelukan Fausta merenggang, membuatku disergap oleh rasa dingin yang sangat.

"Hatchii!" aku bersin, lalu melepaskan pelukan.

"Dingin—eh? Kita udah balik!" tambahku seraya memegang lengan, rambut lalu memeluk Fausta.

"Jadi kalian bisa kembali ke tubuh masing-masing jika berpelukan ya?"

Kita lupa akan kehadiran Dean untuk sesaat. Aku melepaskan diri dari pelukan Fausta dan menatap Dean dengan bingung.

"Lo itu jelangkung ya? Kenapa datang tak dijemput pulang tak diantar?" ujarku yang langsung dihadiahi jitakan pelan dari Fausta.

"Duh, apaan sih Ta," kukerutkan kening sembari mengusap kepala.

[F4] Luckiest SnowfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang