Aku masih terdiam menatap buku paket fisika di atas meja. Sesekali memandang keluar jendela. Entah kenapa aku berharap Fausta akan terjun lagi seperti saat itu.
Plakk.
Aku meringis kesakitan saat sadar ada sesuatu yang menghantam jidatku.
"Nefa! Jangan harap kamu bisa mikir cara buat kabur dari kelas saya, ya!" ujar Pak Hendri seraya menaikkan kacamatanya ke atas batang hidungnya.
Ehm, informasi aja sih ya. Idungnya Pak Hendri itu pesek jadi suka turun gitu deh kacamatanya. Kayak main perosotan.
"Saya gada niatan kabur kok Pak. Kan mau ujian, jadi tobat dulu," ujarku seraya mengusap jidatku yang agak memerah.
Pak Hendri menghela napas frustasi dan kembali menghadap papan tulis. Saat aku akan kembali menatap jendela, Aretha memberikan tatapan laser.
Belajar lo yang bener, jangan kepikiran Fausta mulu.
Aku melongo kaget melihat dia yang merentangkan kertas dengan tulisan itu ke arahku. Astaga. Dia kan duduk paling depan, otomatis anak sekelas pada noleh ke Nefa yang cantik jelita ini. Kepo noh, kepo.
Aku melirik Pak Hendri dan segera menuliskan balasan untuk Aretha yang masih sibuk menatapku dengan wajah datar.
Gue gak mikirin Fausta! Urusin noh si Kevin. Dia ngajakin elo nge-date kan? Mampus!
Mata Aretha langsung membesar dan dia menunduk, kembali menuliskan sesuatu. Tepat setelah dia akan merentangkan jawabannya, aku menghadap ke arah jendela. Dan itu membuat Aretha kesal setengah hidup.
"Nefa, coba kamu jawab pertanyaan di papan tulis ini," ucapan Pak Hendri membuatku menoleh.
"Satu nomer aja ya Pak?" cengiran khas-ku terbit tanpa diminta.
Pak Hendri menggangguk setuju, "yauda buruan. Nomer satu ya."
Aku mengangguk dan berjalan ke depan dengan senyum mengembang di wajahku. Baru saja akan mengambil spidol untuk menuliskan jawaban, pintu kelas terbuka.
"Maaf Pak saya telat!" ujar Nenden.
Aku menaikkan sebelah alis dan kembali fokua pada pertanyaan. Eh? Ini apaan yah?
"Yauda, cepat kamu kerjakan nomer dua ya!" titah Pak Hendri sambil duduk di atas meja. Haduh, tau deh yang guru. Berkuasa di kelas.
"Hai, Nefa," sapa Nenden setelah dia siap dengan spidol di tangannya, berdiri tepat di sampingku.
Tanpa menoleh, aku berbicara sambil mencoba mencocokkan rumus yang pas untuk soal ini. "Tumben lo masuk. Kamar lo kena angin topan?"
Mendengus kesal, Nenden menginjak kakiku di tengah pengerjaan soal. "Gak usah sok lucu lo."
Aku mengedikkan bahu lalu membalas menginjak kakinya yang terbungkus sepatu putih sama persis denganku.
"Gak usah sok deket sama Fausta," ujarku.
Dia mendelik dan kembali menginjak kakiku, "gue emang deket sama di—"
"AWW!!" teriakan kami berdua menggema di seantero kelas karna Pak Hendri yang menjewer telingaku dan Nenden dengan kedua tangannya.
"Selesaikan soal dari Bapak atau kalian berdiri di lorong sampai jam pelajaran Bapak beres?" ancamnya.
Kami mengangguk dengan cepat lalu kembali menyelesaikan soal setelah Pak Hendri melepaskan tangannya.
Ini menyebalkan. Yang deket sama Fausta kan aku? Bukan Nenden! Buktinya.. Cowok itu memintaku untuk jangan dekat dengan cowok lain.
Aih, mengingatnya saja membuat wajahku terasa panas.
KAMU SEDANG MEMBACA
[F4] Luckiest Snowfall
Ficção Adolescente*Kisah anak-anak dari cerita Sparkly Butterflies & Because I Love You!* Panggil gue Nefa, gue hobi bolos kelas dan selalu kena sial dimanapun kapanpun. Banyak yang bilang itu bakat turunan, karna Mama gue yang hobi nyungsep dari bocah. Fausta, cowok...