"Jadi ini yang kau lakukan selama saya berada di New York?" kata seorang wanita yang umurnya aku taksir sekitar 40 an.
"Dia siapa?" bisikku ke arah Adit. Adit tidak meresponku sama sekali. Dia terdiam dan pandangannya tertuju tajam ke arah wanita tua itu.
"Dia mamanya Adit," bisik Tio padaku. Aku terdiam dan hanya melihat ke arah Adit dan mamanya secara bergantian.
Mereka berdua tampak saling menghembuskan hawa dingin. Bukankah, seharusnya hubungan Ibu dan anak tidak seperti ini? Apa yang salah disini? Pandanganku ku alihkan ke seluruh anggota band. Semuanya tampak terdiam.
"Maaf nyonya, Adit disini karena saya yang meminta," kata Tio. Dia tampak berkharisma. Sekarang aku tahu kenapa Tio yang menjadi leader dari band ini.
Mama Adit berjalan dengan gayanya yang anggun -mm, tapi menurutku itu sedikit congkak- menuju ke arah kami. Dia berdiri tepat di depan Adit sambil tersenyum simpul.
"Saya tahu, Tio. Saya tahu kalau kau yang menariknya menuju masa depan yang suram," katanya dengan nada yang dingin. Sepertinya aku tahu dari mana anak ini mendapatkan sifat otoriternya.
"Maaf," kata Tio dengan suara yang rendah.
Aku benci terjebak dalam suasana yang seperti ini. Aku bingung harus berbuat seperti apa. Semua orang terdiam di sini. Hawa dingin entah berasal dari malam atau dari aura Adit dan mamanya.
"Aku yang ingin datang ke sini sendiri," kata Adit dengan ekspresi dinginnya.
"Ayo pulang!" kata mamanya dengan sedikit membentak lalu menarik Adit.
Bagus sekali! Adit pulang dengan mamanya. Lalu bagaimana caraku pulang? Aku tidak mungkin ikut dengan Tio dkk. Aku sungkan dengan mereka. Aku melihat ke arah jam tanganku. Angkot sudah tidak ada kalau jam segini.
Adit terus berjalan mengikuti mamanya tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Baiklah sepertinya aku harus merepotkan satu orang agar aku bisa pulang. Aku pun mengambil ponselku di sakuku.
"Def jemput aku di romantic cafe," pesanku pada Defri. Sebelum aku menekan tombol send, aku memastikan keadaan Adit. Entah kenapa aku merasa cemas dan berharap Adit kembali. Tapi sepertinya percuma, Adit pun masuk ke dalam mobil mamanya dan mereka berlalu begitu saja. Aku pun langsung memencet tombol send.
"Huaaa!! Kaki gue gemeteran nih. Sumpah tuh nenek-nenek. Itulah kenapa gue ragu ngedeketin Adit," kata Vindi.
"Sudahlah Vin, lo nyerah aja," kata Robi. Hmm, sepertinya anak ini menyukai Vindi.
Pandanganku ku alihkan pada Tio. Dia masih terdiam tidak bergeming. Pasti kejadian tadi membuatnya shock. Aku mengabaikan, Vindi dan Robi yang sedang berdebat.
Aku menggenggam tangan Tio. Aku pernah mendengar, hal yang paling bisa menenangkan orang adalah dengan cara menggenggam tangan orang itu. Karena hal itu akan membuat orang tersebut merasa masih ada orang lain di sisinya.
"Bukankah Adit yang bilang dia yang memilih ini? Jangan menyalahkan dirimu sendiri," kataku. Tio menoleh ke arahku lalu tersenyum.
"Adit beruntung," kata Tio. Aku pun melepaskan genggamanku setelah yakin perasaan Tio lebih tenang sekarang.
"Terus lo pulangnya gimana?" tanya Tio. Aku pun refleks melihat ponselku. Barangkali sudah ada balasan dari Defri.
"Ntar dijemput temen kok. Kalian duluan aja," kataku ketika melihat balasan dari Defri.
Mereka semua pun pamit dan berlalu meninggalkanku sendiri. Hufft aku harus menunggu nih. Defri kan super duper lelet.
****

KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend
Fiksi RemajaSesungguhnya mencintai seorang penjahat kelas kakap sekali pun jauh lebih baik dari pada mencintai sahabat sendiri. Kau akan sadar betapa jahatnya seorang penjahat, dan kau akan sadar betapa sempurnanya sahabat. Sehingga, mencintai seorang sahabat a...