" LIHATLAH PELANGI itu, betapa indahnya ia. Setengah melingkar di tengah-tengah hamparan tanaman hijau yang luas, terbentuk karena proses alam juga berkat kuasa dan ijin Tuhan semesta alam. Warnanya kontras dan beragam, yang membuatnya menjadi semakin indah nan cantik. Aku ingin menikmati hidup ini seperti pelangi itu kawan, hidup dengan keberagaman yang akan membuat hari-hari kita lebih berwarna seperti perpaduan warna pelangi, hamparan sawah, dan langit biru itu. Sungguh benar-benar Mulia Allah itu..."
Dengan mata yang melongo, lelaki bernama Burhan itu mengungkapkan betapa indahnya pelangi di tengah sawah kepada sahabat karibnya, Duta.
"Hei Burhan, kenapa kau tiba-tiba sok puitis begini, apa kau sedang jatuh cinta, hah? Umur masih 12 tahun, sudah berani pacar-pacaran kau, Bur!", Duta dengan lirikan mata kanannya meledek Burhan.
" Sok tahu kau, Dut! Siapa juga yang sedang jatuh cinta? Aku benar-benar menikmati keindahan alam ini, jarang sekali aku melihat pelangi di tengah-tengah sawah seperti hari ini, Dut", balas Burhan dengan mata yang masih melongo.
"Ah kau terlalu berlebihan Bur, aku sering melihat pelangi seperti ini di tempat nenekku di kota Provinsi. Nanti ku ajak kau ke sana kalau ada waktu, tapi ayo sekarang kita harus cepat-cepat pergi dari sini, Pak Kiyai Rojak nanti mencari kita!", Duta buru-buru menyeret Burhan dari saung kokoh pinggir sawah itu. Saung yang selalu menjadi tempat bagi mereka berbincang soal apapun dan tempat mereka belajar bersama. Dan saung itu pun sering dipakai oleh anak-anak kampung untuk bermain congklak, petak umpet, dan juga beberapa permainan tradisional lainnya.
"Kau janji ya Dut, padaku? Kau akan menjadi sahabatku yang paling baik sedunia kalau benar-benar membawaku ke rumah nenekmu di kota Provinsi", ucap Burhan sambil memakaikan sandal jepitnya.
Duta menghiraukan perkataan Burhan itu dan langsung memasangkan kopiah di kepalanya.
Hari menjelang Magrib, mereka harus segera menuju surau untuk mengaji. Hari itu mereka akan di tes surah Al-Mulk yang pembacaannya harus dengan fasih dan lancar. Semua anak pengajian pun harus menghafal artinya dengan baik dan benar. Pak Kiyai Rojak, guru mengaji mereka tidak ingin anak-anaknya tersesat dalam dunia yang fana. Selain bisa menghafal ayat-ayat dalam Al-Qur'an, mereka juga harus bisa mengerti isi kandungannya.
Burhan dan Duta pun tergopoh-gopoh berlari menuju surau, takut terlambat. Karena jika satu kali terlambat, akan timbul keterlambatan yang lainnya.
***
Empat tahun silam, badai ganas menerpa kampung Pasir Angin. Rumah-rumah roboh diterjang angin, banyak anak-anak yang hilang ataupun anak-anak yang kehilangan orangtuanya. Para orangtua histeris karena kehilangan anak tercintanya. Walaupun sebagian orangtua mendapati anaknya, anak mereka sudah tak bernafas lagi. Begitu pula ada anak yang selamat namun tidak dengan ibu atau ayahnya atau pula kehilangan keduanya. Namun mereka harus menerima takdir Tuhan dengan segenap keikhlasan dihatinya.
Burhan, adalah salah satu korban yang kehilangan ayahanda tercintanya. Abi, adalah panggilan sayang Burhan kepada ayahnya itu. Saat itu, Burhan masih berumur 8 tahun, duduk di kelas 2 Sekolah Dasar. Adik Burhan yang bernama Santi dan Hana, mereka masing-masing berumur 1 dan 3 tahun. Sebuah peristiwa yang tak akan pernah dilupakan warga kampung Pasir Angin sampai kapanpun.
***
Saat itu, Abi Guntur (ayahanda Burhan dan kedua adiknya) hendak pergi ke sawah pagi-pagi buta tak seperti hari-hari biasanya. Itu semua ia lakukan demi Burhan yang ingin segera dibelikan sepatu baru untuk sekolah, sepatu lamanya sudah bolong entah digigit tikus atau rayap. Memang di rumah Burhan sangat banyak sekali tikus dan rayapnya. Burhan yang masih berumur 8 tahun setiap hari merengek meminta dibelikan sepatu baru walaupun keadaan ekonomi keluarganya sedang tidak stabil karena cuaca buruk yang menunda hasil panen di sawah. Burhan tak peduli tangisnya didengar dan dilihat oleh kedua adiknya yang masih belia. Yang terpenting ia harus mendapatkan sepatu baru.
"Mi, Abi berangkat dulu, Abi mau mengecek sawah, siapa tahu hari ini cuacanya bagus, mudah-mudahan sawah kita juga bagus..." Abi Guntur membuka pintu rumah yang terbuat dari bambu itu, menuju sawah.
"Masih pagi Bi, apa engga nanti agak siangan aja?" Ummi Salamah (ibu dari Burhan dan kedua adiknya) mengikuti langkah Abi Guntur dari belakang.
"Engga, sekarang aja Mi, ini juga kan demi Burhan, sepatunya udah jelek, kasian dia nanti malu sama temen-temen sekolahnya", Abi Guntur memakai sepatu karetnya.
"Tapi Ummi belum masak Bi, apa mau Ummi beliin gorengan dulu di warung Wak Nuni?", Ummi Salamah menawarkan makanan di warung Wak Nuni kepada suaminya itu. Setiap pagi Wak Nuni selalu menyediakan gorengan yang lezat, harganya pun murah. Tak heran jika sebelum waktu dhuha habis, gorengan Wak Nuni juga sudah ludes dibeli pelanggannya.
"Gak usah Mi, Abi gak lapar. Assalamualaikum Mi, jaga anak-anak ya Abi berangkat dulu", Abi Guntur meninggalkan rumahnya. Dan hari itu merupakan hari terakhirnya di rumahnya, Abi Guntur harus menerima takdir bahwa ia harus meninggalkan keluarga kecilnya akibat keganasan alam. Dan tentu, itu sudah menjadi takdir Tuhan yang tak bisa di hindari sedikit pun.
Ummi Salamah pun menutup pintu rumah. Sementara Burhan, Hana, dan Santi masih tertidur dengan pulas. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa hari itu akan menjadi hari yang tak akan pernah terlupakan seumur hidup mereka.
***
Magrib telah usai. Burhan, Duta dan anak-anak pengajian lainnya telah melaksanakan salat Magrib berjamaah yang di pimpin Pak Kiyai Rojak. Dan saatnya, pengajian pun dimulai dengan agenda bulanan tes surah Al-Mulk beserta artinya. Namun sepanjang perjalanan ke surau, Burhan terus melukiskan indahnya pelangi itu di langit dengan kuas mayanya. Sungguh indah, katanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Pelangi
SpiritualBurhan adalah seorang anak kampung yang tinggal di sebuah pedesaan di Pulau Sumatera. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adiknya bernama Hana dan Santi. Mereka bertiga adalah anak dari Abi Guntur dan Ummi Salamah. Burhan memiliki seo...