Ibukota

45 0 0
                                    

KERLAP-KERLIP lampu yang begitu indah. Tak pernah sebelumnya dilihat oleh mata sederhana Burhan. Suara klakson mobil terdengar dimana-mana, membuat telinga Burhan tak kuat lama-lama berada di jalanan raya. Berbagai macam kendaraan mewah terhampar di berbagai sudut kota, warna-warnanya pun membuat Burhan ingin membelinya kalau sudah sukses. Untuk mengantarkan Ummi Salamah pergi ke pasar kecamatan, agar tidak perlu lagi menunggu lama-lama mobil pengangkut singkong dan sawit.

Bangunan-bangunan menjulang tinggi, membuat leher Burhan merasa pegal melihat di sepanjang jalanan. Wanita-wanita berpakaian tak sewajarnya, memperlihatkan keindahan tubuh kepada orang lain. Para anak sekolah yang menongkrong dijalan, menghisap sesuatu yang sama sekali tak berguna.

Berbagai pusat perbelanjaan terpampang dimana-mana. Mal-mal besar. Rumah makan besar yang sangat melimpah. Tukang dagang yang ada di setiap sudut jalan. Para supir angkot, metromini, bus kota, taxi, dan berbagai angkutan umum lainnya tersebar di penjuru kota.

Dibalik kemewahan ibukota, Burhan pun melihat banyak anak-anak terlantar. Tidur di pinggir jalan tanpa alas, memprihatinkan. Pengemis-pengemis yang tak tahu malu, meminta-minta meski tubuh masih segar bugar. Para pembersih jalanan, memungut sampah yang dibuang para orang-orang tak bertanggungjawab. Dengan teganya mereka membuang sampah begitu saja, padahal mereka sendiri sadar bahwa sampah bukanlah makhluk hidup yang mempunyai tangan dan kaki untuk membawanya ke tempat sampah.

Para pedagang asongan dan kaki lima yang berlari-lari, dikejar oleh Satpol PP. Banci-banci yang rambut palsunya tertinggal dijalanan, terburu-buru menghindari petugas pengamanan. Pengendara motor dan mobil yang terkena tilang polisi. Banyak sekali petugas polisi yang memberhentikan para pengguna kendaraan yang tak mematuhi peraturan lalu lintas sebagaimana mestinya. Ada pula anak sekolah yang menangis karena ditilang, kemudian menelepon orangtuanya.

Burhan pun melihat banyak tempat ibadah. Mulai dari masjid, gereja, dan sebagainya. Manusianya pun beragam. Tak heran, banyak sekali orang-orang dari seluruh pelosok Nusantara mengadu nasibnya di ibukota. Padahal, masih banyak kota-kota besar selain di ibukota. Bandung, misalnya. Atau mungkin Yogyakarta. Atau di Pulau Sumatera pun tak sedikit mata pencahariannya. Lalu, kenapa orang-orang berbondong-bondong menuju ibukota demi mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya? Ah entahlah, mungkin persepsi orang itu berbeda-beda. Di ibukota mungkin mereka bisa lebih bersemangat.

Burhan terus memandangi keindahan ibukota dibalik jendela bus. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul 9 malam.

"Dari mana Mas?", tanya seorang penumpang disebelahnya yang daritadi memerhatikan Burhan.

"Oh, saya dari Sumatera Pak" Jawab Burhan tanpa menanya balik penumpang itu. Burhan terlalu fokus menikmati pemandangan luar jendela bus.

"Oh, dari Sumatera. Mas baru ya ke Jakarta?" tanya lagi penumpang itu.

"Iya Pak, seumur-umur saya baru kesini"

"Pantas sekali, mau kerja ya Mas?"

"Engga Pak, saya bukan mau kerja. Saya mau kuliah, alhamdulillah Pak saya diberikan rezeki oleh Allah untuk melanjutkan pendidikan di Ibukota" jawab Burhan dengan penuh semangat.

Penumpang itu hanya tersenyum. Lalu kembali melanjutkan kegiatannya memainkan ponsel.

Setelah berlama-lama melihat potret ibukota, Burhan pun terlena lalu tertidur dengan lelap. Kepalanya bersandar di jendela. Burhan terlihat begitu lelah.

***

"Mas, mas, sudah sampai. Silahkan dibawa tas-tasnya", lelaki gempal berkulit putih itu membangunkan Burhan yang sudah terlelap selama kurang lebih 2 jam. Burhan sudah sampai di tempat tujuannya.

"Oh iya, terimakasih Pak" Burhan menyeka keringatnya dengan saputangan. Lalu menguap, dan beranjak dari tempat duduknya.

Burhan membawa barang bawaannya dari kampung. Langkahnya masih terlalu berat, efek dari baru bangun tidur. Ditambah dengan tas Burhan yang juga lumayan berat. Namun Burhan masih bisa membawanya ke luar bus tanpa harus terjatuh.

Udara malam itu sangatlah dingin, Burhan enggan membuka jaketnya. Ia menggendong tas yang besar, terlihat sekali betapa banyak barang dan perlengkapan yang ada di dalamnya. Burhan memutuskan untuk beristirahat sejenak di warung pinggir jalan raya.

Burhan memesan kopi hitam, kesukaannya bersama Duta jika berbincang-bincang di saung sambil bermain congklak atau mengerjakan tugas dari sekolah. Dan juga sambil menyantap beberapa gorengan yang dibuat oleh Ummi Salamah untuk keperluan warungnya.

Sambil meminum kopi, Burhan dimanjakan oleh iringan musik yang diberikan pemilik warung setengah baya itu. Lagu klasik yang begitu menenangkan jiwa. Ditambah kunang-kunang yang beterbangan, warnanya jelas sekali terang karena gelapnya langit malam. Sambil memikirkan Ummi Salamah dan kedua adiknya di kampung. Kalau jam-jam seperti itu; biasanya Ummi Salamah, Hana dan Santi sudah tertidur pulas. Begitupula dengan Burhan. Tetapi jika ada tugas dari sekolah yang menumpuk, Burhan selalu tidur paling akhir. Bisa sampai tengah malam, ditemani alunan merdu dari suara jangkrik, kodok, dan hewan lainnya. Namun jika burung hantu yang bersenandung gelisah, Burhan enggan melanjutkan pekerjaan rumahnya. Ia memilih untuk menyelesaikannya ketika selesai salat Subuh berjamaah di surau.

Bapak pemilik warung yang memakai sarung berwarna biru muda itu nampaknya sudah mengantuk, wajahnya sudah terlihat berat. Matanya sudah lima watt. Namun sepertinya ia sudah biasa dengan keadaan seperti ini, melayani pelanggan dengan baik. Walaupun rasa kantuk yang dilandanya.

Sekitar lima belas menit beristirahat di warung, Burhan memutuskan untuk melanjutkan langkahnya ke tempat tinggal barunya di ibukota. Burhan akan tinggal di kos barunya selama beberapa tahun ke depan. Sampai pendidikannya benar-benar selesai dengan baik dan memuaskan.

"Pak terimakasih, ini uangnya" Burhan menyodorkan selembar uang Rp.10.000 kepada bapak pemilik warung itu dengan senyuman biasanya.

Lalu, bapak pemilik warung langsung mengambil uang kembalian didalam lacinya. Burhan mendapatkan kembalian Rp.5000. Burhan heran, memesan kopi saja harus membayar sebanyak lima ribu rupiah. Berbeda sekali dengan dikampungnya, cukup seribu rupiah sudah bisa menikmati kopi panas. Apalagi di warung Wak Nuni. Lima ribu di kampung bisa pesan segelas kopi, dua buras dan bakwannya. Segitu pun sudah bisa mengganjal perut. Disini, harga kopi pun terasa sangat mahal.

"Assalamualaikum pak, saya duluan" Burhan pun meninggalkan warung itu sambil mengucapkan salam.

Bapak pemilik warung itu membalas salam dari Burhan, lalu kembali masuk ke dalam warungnya melanjutkan mendengarkan alunan musik klasik di radio. Sambil berjaga dan menunggu bila ada pelanggan lagi yang datang ke warungnya.

Langkah Burhan semakin jauh dari warung. Burhan memutuskan untuk berjalan kaki walaupun kondisinya masih sangat lelah. Karena jarak menuju tempat kosnya tidak terlalu jauh. Hitung-hitung menghemat ongkos. Dan juga sebagai sarana olahraga malam, seperti yang ia biasa lakukan bersama Duta jika berangkat ke sekolah. Berjalan kaki sambil menikmati pemandangan alam.

Berjalan malam-malam sendirian disini tidak akan seseram ketika berjalan malam di kampung Pasir Angin. Ketika sudah lewat Isya, jalanan akan sepi. Tidak seperti di kota, masih banyak kendaraan yang lalu-lalang. Ditambah para pedagang makanan atau sekedar remaja-remaja yang menongkrong sambil memadu kasih. Berbeda sekali dengan di kampung.

***

Negeri PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang