WAKTU-WAKTU telah berlalu dengan begitu cepat. Seragam merah putih, putih biru, dan putih abu telah dilalui Burhan dan Duta. Dari SD hingga SMA, prestasi keduanya semakin berkembang pesat. Terakhir, Burhan mampu menjadi siswa dengan peraih nilai Ujian Nasional terbaik se-Kabupaten. Sementara, Duta berada di peringkat ketiga.
Dengan hasil itu, mereka mampu meneruskan perjuangannya ke jenjang yang lebih tinggi dengan beasiswa dari pemerintah. Ummi Salamah sangat tidak menyangka dengan rezeki yang diberikan Allah kepada anak lelaki satu-satunya itu. Burhan pun sudah menyumbangkan banyak piala untuk sekolahnya, dan dari hasil juaranya itu ia berikan kepada Ummi Salamah. Warung kecil itu pun kini diperbesar, bisa untuk tidur beberapa orang di dalamnya.
Minggu depan, Burhan akan pergi ke ibukota. Meneruskan pendidikannya di rantau orang. Sementara, Duta sahabatnya akan meneruskan pendidikannya di kota kembang, Bandung. Mereka pun harus berpisah sementara waktu, kampus mereka berbeda jarak dan tempat, sehingga tidak akan bisa seperti dahulu lagi, selalu bersama kemanapun mereka pergi atau bersekolah. Masa SMA adalah masa-masa terakhir mereka bersama menempuh pendidikan yang begitu berat, susah-senang mereka hadapi bersama dengan ikhlas dan tulus.
Kini, selama beberapa tahun ke depan Burhan dan Duta tidak akan bisa bersama-sama lagi. Namun, persahabatan mereka akan tetap terjalin, sampai akhir hayat.
***
"Bur, hati-hati ya kau di rantau orang. Tetaplah jadi diri kau sendiri, jangan terbawa arus pergaulan ibukota. Berbuat baiklah kepada semua orang, tetaplah rendah hati. Disini, Ummi akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Banggakan Ummi dan adik-adikmu, Bur"
Raut wajah yang begitu tulus terpancar dari wajah Ummi Salamah, bersiap melepas anaknya melanjutkan pendidikan di ibukota. Berjuang di jalan Allah.
"Iya Ummi, Burhan akan selalu menjadi diri Burhan yang sebenarnya. Burhan tak akan pernah mengecewakan Ummi. Burhan akan membuat Ummi bahagia dengan kesuksesan Burhan. Doakan Burhan, Ummi" Mata itu hampir saja mengeluarkan cairan bening, mengungkapkan betapa beratnya Burhan meninggalkan Ummi dan kedua adiknya di kampung.
Ummi Salamah seakan tak rela melepas anaknya ke rantau orang, namun apaboleh buat Burhan harus tetap pergi. Itu semua demi mensejahterakan dan mengangkat derajat keluarga. Sebuah perjalanan yang sangat mulia, berjuang dijalan Allah.
Hana dan Santi hanya menatap haru Abangnya itu. Kedua adik Burhan itu sudah mengerti bagaimana arti perpisahan, walaupun hanya sementara. Namun akan sangat berat melepas lelaki satu-satunya di rumah selama beberapa tahun ke depan. Melepas adik yang masing-masing berumur 11 tahun dan 13 tahun.
Sebelum keberangkatan Burhan ke ibukota, Ummi Salamah sudah mempersiapkan banyak bekal. Buras, bakwan, mie instan, gulai ikan, dan beberapa makanan sudah berada di dalam ransel Burhan.
Di pagi yang ramah itu, Burhan meninggalkan Pasir Angin kampung kelahirannya. Meninggalkan surau, tempat favoritnya di kampung. Juga dengan berat meninggalkan Ummi Salamah, Hana, dan Santi keluarga tercintanya. Demi perjalanan yang mulia, meneruskan pendidikan di jalan Allah dengan tulus dan ikhlas.
Langkah kaki Burhan semakin jauh, Ummi Salamah terus melambaikan tangannya kepada Burhan yang juga semakin melangkahkan kakinya. Menuju ibukota. Hingga perawakan kokohnya itu hilang secara perlahan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Pelangi
SpiritualBurhan adalah seorang anak kampung yang tinggal di sebuah pedesaan di Pulau Sumatera. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adiknya bernama Hana dan Santi. Mereka bertiga adalah anak dari Abi Guntur dan Ummi Salamah. Burhan memiliki seo...